Imparsial Soroti Fenomena Normalisasi Peran Militer di Institusi Sipil
Imparsial menyoroti bagaimana adanya semacam normalisasi peran militer di ranah sipil yang berpotensi mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Imparsial menyoroti bagaimana adanya semacam normalisasi peran militer di ranah sipil yang berpotensi mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Diketahui, Imparsial adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia yang fokus pada pengawasan dan penyelidikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Didirikan pada 25 Juni 2002 oleh sejumlah aktivis HAM ternama, termasuk Munir, Todung Mulya Lubis, dan lainnya, Imparsial bertujuan untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan hak bagi semua warga negara.
Direktur Imparsial Ardi Manto menyebut fenomena itu sebagai bagian dari proses rekonsolidasi militerisme yang kini mulai tampak di berbagai sektor pemerintahan.
"Kita melihat ada jarak yang semakin jauh antara kebijakan publik dengan persoalan nyata di masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah menguatnya kembali peran militer dalam ruang-ruang sipil,” kata Ardi dalam Seminar Nasional bertema Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi di Gedung Nusantara II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok, dikutip Kamis (9/10/2025).
Pihaknya mencatat meningkatnya jumlah prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil jumlahnya lebih dari 4 ribu.
Baca juga: Direktur Imparsial Ardi Manto akan Laporkan Dugaan Teror dan Intimidasi ke Polda Metro Jaya
Berdasarkan data Pusat Penerangan TNI per Februari 2025, terdapat 4.472 personel militer aktif yang menempati posisi di lembaga sipil.
"Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi TNI dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Mereka tetap memiliki loyalitas ganda, baik kepada atasannya di lembaga sipil maupun kepada institusi militernya. Ini berpotensi mengganggu independensi birokrasi sipil,” kata Ardi.
Ardi menambahkan, revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia yang memperluas jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI dari 10 menjadi 14 lembaga turut memperkuat gejala rekonsolidasi militerisme.
Selain itu, Ardi menyoroti penguatan struktur komando teritorial yang kini turut mengurusi bidang-bidang nonmiliter, seperti ketahanan pangan dan perikanan.
Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari perluasan peran militer yang tidak sejalan dengan prinsip reformasi.
"Rencana pembentukan ratusan batalion teritorial hingga tahun 2029 menunjukkan arah yang berbahaya bagi demokrasi. Alih-alih memperkuat kontrol sipil terhadap militer, negara justru memperluas jangkauan militer ke ranah yang bukan tugas utamanya,” tambahnya.
Baca juga: Imparsial Desak Pengelolaan Tabungan Wajib Perumahan Prajurit TNI AD Diaudit
Ardi juga menyesalkan minimnya kritik publik terhadap fenomena ini. Menurutnya, para elite politik dan legislator yang tugasnya mengawasi tidak melakukan fungsinya.
"Yang bersuara paling keras itu justru kelompok sipil dan akademisi, bukan elite politik. Padahal, seharusnya merekalah yang paling peka terhadap gejala kemunduran demokrasi ini,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua ILPS Indonesia Helda Khasmy menjelaskan bahwa negara lebih memilih memperkuat industri militer dibanding memperbaiki kondisi rakyat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.