Rabu, 5 November 2025

Khutbah Jumat 17 Oktober 2025: Peran Penting Kiai Pesantren dalam Membangun Peradaban Islam

Naskah khutbah Jumat 17 Oktober 2025 tentang Kiai Pesantren untuk merenungi peran penting seorang kiai pesantren dalam membangun peradaban Islam.

Surya/Purwanto
TEKS KHUTBAH JUMAT - Umat muslim melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Jami Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (15/3/2024). Naskah khutbah Jumat 17 Oktober 2025 tentang Kiai Pesantren untuk merenungi peran penting seorang kiai pesantren dalam membangun peradaban Islam. 

TRIBUNNEWS.COM - Dalam khutbah Jumat hari ini, 17 Oktober 2025, para jamaah diajak untuk merenungi peran penting seorang kiai pesantren dalam membangun peradaban Islam di tengah masyarakat. 

Khutbah yang disampaikan dengan penuh hikmah dan keteduhan ini menyoroti bagaimana seorang kiai bukan hanya menjadi pengajar ilmu agama, tetapi juga menjadi pemimpin spiritual, pendidik, dan penggerak sosial yang berakar kuat dalam tradisi pesantren.

Kiai pesantren adalah sosok yang memiliki pesantren sebagai pusat pembelajaran Islam. Ia dihormati bukan semata karena gelarnya, tetapi karena ilmu dan dedikasinya dalam mendidik santri serta membina masyarakat. 

Di beberapa daerah seperti Jombang, istilah kiai bahkan digunakan untuk menyebut guru ngaji atau imam masjid yang memiliki pengetahuan keislaman lebih dalam. 

Tradisi kekiaian di Jawa bersifat terbuka dan meritokratis, di mana pengakuan masyarakat menjadi penentu utama status seorang kiai.

Khutbah juga menekankan bahwa untuk menjadi kiai, seseorang harus memiliki dua modal utama: ilmu keagamaan yang diakui dan kemampuan membangun pesantren sebagai wadah pendidikan.

Sejarah mencatat bahwa banyak kiai Jawa dahulu belajar di Mekah selama bertahun-tahun sebelum mendirikan pesantren di tanah air. 

Pesantren yang mereka bangun menjadi tempat pengabdian, tempat santri belajar secara gratis, bahkan mendapatkan makan dan kebutuhan hidup dari hasil perjuangan sang kiai.

Melalui pesantren, kiai berinteraksi dengan santri, orang tua, dan masyarakat luas. 

Ia menjadi perantara dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan, dan sering kali menjadi tokoh yang dipercaya untuk menjelaskan kebijakan pemerintah kepada masyarakat. 

Pendidikan di pesantren pun berkembang, dari pengajaran kitab kuning hingga madrasah formal dan perguruan tinggi Islam.

Baca juga: Santri dan Lulusan Pesantren di Tangsel Siap Tandatangani Petisi Perlindungan Kehormatan Pesantren

Khutbah hari ini juga mengangkat kisah inspiratif dari pesantren-pesantren di berbagai daerah, seperti Kempek di Cirebon yang dikenal dengan langgam bacaan Qur’annya, serta pesantren tarekat di Banten yang menerapkan syarat spiritual ketat bagi santrinya. 

Ditekankan pula bahwa proses belajar Al-Qur’an secara fasih membutuhkan kesabaran dan ketekunan luar biasa, bahkan untuk satu surat seperti Al-Fatihah bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Di akhir khutbah, jamaah diajak untuk meneladani perjuangan para kiai seperti KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng dan Kiai Ma’shum Lasem yang rela hidup sederhana demi mendidik santri. 

Tanpa santri, kiai ibarat raja tanpa rakyat. Semakin banyak santri yang berhasil dan mendirikan pesantren baru, semakin besar pula pengaruh dan keberkahan seorang kiai dalam masyarakat.

Khutbah Jumat ini menjadi pengingat bahwa pendidikan Islam yang berakar dari pesantren adalah fondasi penting dalam membentuk generasi berilmu, berakhlak, dan berdaya. 

Kiai pesantren bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga pembawa cahaya ilmu dan keteladanan di tengah zaman yang terus berubah.

Selengkapnya berikut naskah khutbah Jumat 17 Oktober 2025 tentang Kiai Pesantren merujuk Buku Khutbah Jumat Pesantren, terbitan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Tahun 2015.

Khutbah Jumat 17 Oktober 2025: Kiai Pesantren

الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهُ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجْلِسِ فَأَفْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُرُوا فَانشُرُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَت وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hadirin yang berbahagia

Apa persyaratan menjadi kiai pesantren? Apa perannya di tengah masyarakat? Kiai pesantren adalah kiai yang memiliki pesantren. Mereka dipandang sebagai kiai yang lebih tinggi derajatnya. Istilah kiai sendiri bermakna luas. 

Di Jombang misalnya, kiai bukan hanya panggilan bagi orang yang menjalankan pesantren, tetapi juga diterapkan pada guru ngaji dan atau imam masjid yang memiliki pengetahuan keislaman yang lebih dibandingkan dengan warga yang lain.

Pada masa lalu, kiai Jawa terkenal belajar di Mekah selama bertahun-tahun sebelum akhirnya disebut kiai. Selain itu juga seorang kiai hampir selalu menyediakan pusat pembelajaran, yakni pesantren yang dibangun dengan uangnya sendiri, yang tentunya membutuhkan modal yang cukup banyak.

Dengan kata lain, ada dua modal seseorang untuk menjadi kiai, bila bukan berasal dari keturunan kiai. Pertama, modal ilmu keagamaan yang diakui masyarakat. Kedua, modal uang atau relasi untuk membangun pesantren, tempat dimana ia secara intensif mengajarkan ilmu yang dimilikinya.

Menarik untuk dicatat bahwa di Jawa kekiaian itu bersifat terbuka, dalam arti ia dibentuk dalam pola yang lebih berorientasi pada prestasi. 

Pengangkatan kiai di daerah-daerah berdasarkan pengakuan masyarakat. Sepanjang seseorang mempunyai pengetahuan Islam yang luas maka anggota masyarakat akan dengan mudah mengakuinya sebagai seorang kiai

Di samping itu, di Jawa struktur kekiaian tidak bersifat hirarkis. Seorang imam, misalnya, tidak mesti selalu lebih tinggi kedudukannya daripada seorang ustadz. 

Seorang anggota MUI tingkat kabupaten tidak otomatis lebih dihormati daripada seorang ustadz di desa jika ternyata yang terakhir lebih banyak mengetahui Islam daripada yang pertama.

Pesantren merupakan lembaga penting yang terkait dengan kekiaian seseorang. Sebab, melalui pesantrenlah kiai berhubungan dengan para santri dan masyarakat sekitarnya. 

Pesantren juga menghubungkan kiai dengan para orang tua santri dimana mereka secara psikologis merasa berhutang budi kepada kiai dikarenakan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan gratis di pesantren. Hingga sekarang, pendidikan di pesantren tradisional masih menerapkan pendidikan gratis. 

Bahkan, beberapa pesantren malah membantu dan memberdayakan santri yang kurang mampu, sehingga bukan hanya mendapatkan pendidikan secara gratis, namun juga mendapatkan kebutuhan makan dan minum secara gratis pula.

Kiai kadang-kadang juga memainkan peran perantara dalam menyampaikan pesan-pesan pemerintah tentang pembangunan kepada masyarakat, dan masyarakat dapat lebih mudah menerima program pemerintah bila dikemukakan oleh kiai

Adapun pusat perhatian kiai pesantren ialah mengajar di pesantren untuk meningkatkan sumber daya masyarakat melalui pendidikan. 

Ketika orang tua mengirimkan anak-anaknya kepada seorang kiai maka secara tidak langsung mereka juga mengakui bahwa kiai itu adalah orang yang patut untuk diikuti dan seorang pengajar yang tepat untuk mengembangkan pengetahuan Islam.

Hadirin yang berbahagia

Dalam pesantren setidaknya ada tiga unsur. Pertama, kiai yang merupakan unsur pokok yang membangun sistem pesantren. Dapat dikatakan, pesantren itu tergantung kiainya, baik dalam hal pendidikan maupun manajemen. 

Kiai yang ahli qiraat akan secara otomatis mengajarkan pengetahuan tersebut sehingga pesantrennya dikenal sebagai pesantren qiraat. Kiai yang akrab dengan dunia tasawuf akan mengajarkan ilmu dan praktek tasawuf sehingga pesantrennya akan dikenal sebagai pesantren tasawuf.

Salah satu pesantren di Banten, misalnya, lebih mirip dengan pesantren tarekat dimana yang diperbolehkan menginap menjadi santri haruslah memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu, di antaranya: pertama, mereka harus berpuasa 11 hari yang buka dan sahurnya hanya dengan air putih.

Kedua, mengambil makan dari kebun sendiri. Dan ketiga, tidak makan dari sesuatu yang tidak diketahui kehalalannya. 

Seorang teman yang pernah mesantren di sana menceritakan pengalamannya. Menurutnya puasa tersebut semacam latihan kepercayaan, bahwa yang mengenyangkan sesunggguhnya Allah, bukan makanan. 

la sendiri merasa aneh mengapa walaupun buka dan sahurnya hanya air putih dan tidak makan selainnya, tetapi tubuhnya tetap sehat dan segar. Setelah berzikir ia merasa "kenyang" dan di hari ke sepuluh ia masih bisa push up sebanyak 20 kali.

Di daerah Cirebon, pesantren Kempek terkenal dengan ngaji Qur'annya yang fashih, sehingga langgamnya dikenal sebagai kempekan. 

Di pesantren Babakan Ciwaringin, cara baca Al-Qur'annya juga disebut kempekan, karena mengikuti gaya yang ada di Kempek. Untuk membaca huruf 'ain, seseorang harus membuka mulutnya lebar-lebar dan dapat dimasuki empat jari yang dijejerkan secara lurus. 

Tarqiq dan tafhim (tipis dan tebalnya) bacaan harus benar-benar jelas. Makhrajnya harus pas tidak boleh tertukar. Panjang pendeknya bacaan mesti diperhatikan. 

Jangan heran, kalau untuk belajar Al-Fatihah dengan fasih, santri yang mengaji Al-Qur'an setiap hari ba'da shubuh dan ba'da maghrib bisa menghabiskan waktu seminggu sampai tiga bulan. Belajar Al-Fatihah secara fasih membutuhkan waktu 14 kali pertemuan sampai 166 kali pertemuan tatap muka dengan guru. Subhanallah.

Kiai pesantren bukan hanya harus memiliki pengetahuan keislaman yang memadai melalui penguasaan yang baik terhadap kitab-kitab kuning dan lainnya, namun juga perlu memiliki kekuatan mental dan spiritual yang tangguh. 

Pendirian pesantren merupakan perjuangan yang berat. Pesantren Tebuireng yang terkenal, pada saat awal berdirinya di tahun 1899 hanya mempunyai 8 santri yang dibimbing oleh KH. Hasyim Asy'ari dan tempat yang digunakan hanya seluas 9 meter. 

Dalam waktu sekitar sepuluh tahun (tahun 1910) jumlah santrinya meningkat menjadi sekitar 200 orang. Dan tahun 2000-an, ketika Dr. Endang Turmudi melakukan penelitian, menurut data yang diberikan pesantren, santrinya mencapai 1.526 santri yang tinggal di pesantren Tebuireng di 138 kamar dari 15 asrama. 

Pendidikannya juga semakin variatif, bukan hanya pengajaran kitab kuning, namun juga sudah ada madrasah, MTS, MA, SMP, SMA, Madrasah Al-Huffadz, Jam'iyah, Institut Islam Hasyim Asy'ari, dan bahasa Arab.

Pengalaman yang dialami oleh Kiai Ma'shum Lasem dalam proses pendirian pesantren lebih berat lagi. la dan keluarganya rela makan sehari hanya sekali, karena 26 santrinya mau mesantren bersyarat, yaitu dibiayai makannya. 

Mereka pun diberi makan masing-masing sehari sekali juga. Kalau Kiai Ma'shum tidak berpikir jauh dan tidak lillahi ta'ala, maka barangkali akan memilih membubarkan para santrinya tersebut, sehingga ia dan keluarganya dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara wajar, makan sehari dua atau tiga kali. Benar, kan?

Kedua, para santri yang belajar keislaman kepada kiai. Tanpa santri, kiai akan seperti raja tanpa rakyat. Para santri menjadi penopang pengaruh kiai dalam masyarakat. 

Semakin banyak santri yang berhasil dan mendirikan pesantren di kampungnya, maka kiai tersebut akan semakin dihormati. 

Semakin banyak santrinya yang sukses dalam berbagai bidang, termasuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan, maka kiai pesantren tersebut akan semakin disegani oleh pihak lain. Dapat dikatakan, para santri adalah jaringan kiai.

Pada masa lalu, sekitar tahun 1960-an, menurut Dr. Endang Turmudi, sering terdengar ungkapan yang menghina sekelompok kaum muda Islam yang menghabiskan waktunya untuk belajar di pesantren. Misalkan ada istilah santri budug yang merujuk pada lingkungan yang tidak sehat di sekitar pesantren yang membuat santri akan rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu. 

Pada tahun-tahun tersebut kebanyakan pesantren di Jawa tidak mempunyai listrik karena berada di pedesaan.
 
Santri di pesantren memang tidak terlalu memikirkan hal-hal duniawi, seperti kesehatan, karena hal-hal seperti itu dianggap kurang penting dibandingkan dengan belajar Islam kepada kiai mereka. 

Para santri juga banyak yang berasal dari keluarga yang benar-benar tidak mampu membiayai pendidikan mereka di pesantren. Untuk kebutuhan pokok selama belajar di pesantren, para santri bekerja di ladang kiai atau dipekerjakan oleh kiai dan keluarganya sebagai khadam (pembantu). 

Pesantren At-Tahdib yang terletak di bagian selatan Jombang misalnya disebut pesantren karya karena banyak santrinya yang bekerja untuk membiayai hidup mereka selama nyantri. 

Beberapa santri yang kurang mampu bekerja di ladang kiai dan sebagian bekerja di luar pesantren. Ketiga, pondok, sebuah sistem asrama yang disediakan oleh kiai untuk belajar secara intensif. 

Di pondok pesantren, para santri bukan hanya belajar pengetahuan, namun juga belajar pengamalan. 

Belajar ibadah seperti disiplin shalat berjama'ah, belajar berorganisasi, belajar disiplin shalat malam, duha, membaca Al-Qur'an dan lainnya. 

Belajar akhlak melalui sikap dan perilaku positif kiai yang pantas diteladani, baik dalam bentuk kesabaran, syukur, keikhlasan, kedermawanan, maupun akhlak baik lainnya. Di pesantren bukan hanya terjadi transfer pengetahuan, namun juga transform pengalaman dan pengamalan.

Walaupun ciri pesantren tradisonal adalah sederhana, namun pendidikannya tidaklah sederhana. 

Pelajaran-pelajaran yang diajarkan terdiri dari bahasa Arab dasar dan tata bahasanya hingga hukum Islam, tasawuf, tafsir dan akidah, yang membutuhkan waktu yang lama untuk memahaminya. Lagi pula buku pegangan pesantren adalah kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab, bahkan tanpa harakat. 

Seorang sarjana agama pun bila tidak pernah mesantren akan kesulitan untuk sekedar membacanya dengan benar, apalagi memahami maknanya secara tepat, dan menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Hadirin yang berbahagia

Pesantren diharapkan bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, namun juga keterampilan sebagai bekal hidup bermasyarakat. Sekolah-sekolah formal yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan dewasa ini dipandang gagal mengawal anak didik agar berakhlak baik. 

Tingginya kasus free seks, narkoba, miras dan merebaknya anak-anak SMU yang merokok secara terbuka menimbulkan kekhawatiran. 

Masyarakat memandang bahwa pesantren adalah tempat yang tepat dan telah teruji dalam melahirkan anak-anak yang berperilaku baik. 

Ada kecenderungan, bila pesantren mampu membekali santrinya bukan hanya dengan ilmu-ilmu keislaman, namun juga dengan pengetahuan umum dan keterampilan yang baik, maka pesantren akan menjadi lembaga pendidikan alternatif pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.

Munculnya sekolah berasrama merupakan satu upaya untuk menjawab tantangan tersebut. Semoga uraian ini bermanfaat guna mengisi kehidupan kita ke depan yang lebih baik. Amin.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

(Tribunnews.com/Muhammad Alvian Fakka)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved