Proyek Kereta Cepat
Whoosh dan Utang Rp116 Triliun, Pakar Yakin KPK Sedang Selidiki Dugaan Korupsi, Jokowi Terseret?
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar meyakini, KPK diam-diam sedang adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek Whoosh.
Ringkasan Berita:
- Polemik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh tengah menjadi sorotan lantaran berbuntut utang hingga Rp116 triliun.
- Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar meyakini, saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti tengah menyelidiki dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam proyek tersebut.
- Fickar juga menanggapi dugaan terseretnya nama Mantan Presiden Jokowi dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) saat ini, Luhut Binsar Pandjaitan, terkait sengkarut proyek Whoosh.
TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar meyakini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti tengah menyelidiki adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Hal ini dia sampaikan saat menyoroti adanya pemindahan kebijakan kerjasama proyek kereta cepat itu dari tawaran Jepang ke China.
Fickar menilai, KPK sudah mulai melakukan penyelidikan, apakah pemindahan mitra kerjasama dalam proyek KCJB membawa keuntungan kepada pihak-pihak tertentu.
"Saya kira, penegak hukum termasuk di dalamnya KPK sedang bekerja secara diam-diam menyelidiki apakah memang ada peristiwa pidananya di situ," kata Fickar, saat menjadi narasumber dalam program On Focus, yang diunggah di kanal YouTube Tribunnews, Kamis (23/10/2025).
"Peristiwa pidananya, apakah ada yang diuntungkan atau apakah ada yang mendapat keuntungan dari dalam kebijakan memindahkan pilihan bisnis dari Jepang ke Cina? Nah, itu yang menjadi fokus perhatiannya," tambahnya.
Selanjutnya, Fickar juga menanggapi soal dugaan terseretnya nama Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) saat ini, Luhut Binsar Pandjaitan, terkait sengkarut proyek Whoosh.
Adapun Jokowi dan Luhut kini menjadi tokoh yang dikait-kaitkan oleh publik dengan polemik Whoosh.
Jokowi saat itu sebagai presiden menjadi pengambil keputusan utama, sementara Luhut menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI (MenkoMarves), yang mengawasi investasi asing termasuk kerjasama dengan China.
Bahkan, Luhut ditunjuk sebagai Ketua Komite Proyek KCJB berdasarkan Perpres No. 93 Tahun 2021.
Sehingga, banyak publik yang bertanya-tanya, apakah Jokowi dan Luhut bisa diperiksa terkait proyek Whoosh yang kini berbuntut utang fantastis, terutama setelah rencana kerjasamanya dialihkan dari Jepang ke China.
Menurut Fickar, pertanyaan publik tersebut mengacu pada kedua tokoh itu harus diperiksa.
Baca juga: Whoosh Disebut Karya Terbaik, Yunarto: Relawan Kan Kultuskan Jokowi, Tak Bisa Bicara Objektif
"Yang jadi pertanyaan publik, apakah Pak Jokowi dan Pak Luhut harus diperiksa karena sudah memindahkan kerjasama kereta cepat dari tawaran Jepang ke China," ujar Fickar.
"Maksudnya adalah kedua orang ini diperiksa untuk menelusuri apakah dari pemindahan itu mereka mendapat keuntungan atau tidak, meski sampai hari ini belum terlihat kerugian negaranya?"
"Apakah mereka sebagai pengambil keputusan mendapat keuntungan atau tidak. Nah, hal inilah yang didorong oleh publik."
Alih Kerjasama Whoosh dari Jepang ke China
Sebagai informasi, proyek kereta cepat merupakan gagasan dari Jepang yang muncul pada era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2014-2015.
Saat itu, melalui JICA (Japan International Cooperation Agency), Jepang sudah melakukan studi kelayakan atau feasibility study meski belum diputuskan pemerintah Indonesia.
JICA pun rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan yang dilakukan bersama Kementerian Perhubungan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini BRIN).
Namun, pada 2015, saat pemerintahan RI sudah beralih dari SBY ke Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi), diputuskan akan dibuat proyek kereta cepat untuk rute Jakarta-Bandung.
Proyek ini pun seolah menjadi rebutan, karena tak hanya Jepang yang sudah berminat terlebih dahulu, tetapi China juga muncul sebagai tandingan.
Pada 26 Agustus 2015, Jepang menawarkan investasi sebesar 6,2 miliar dollar AS, dengan pinjaman proyek berbunga rendah 0,1 persen per tahun dengan tenor 40 tahun (tenggang 10 tahun), memakai skema Government-to-Government (G2G).
Jepang juga menawarkan jaminan pembiayaan dari pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia.
Di sisi lain, China datang dengan tawaran nilai investasi yang lebih murah dari Jepang, yakni sebesar 5,5 miliar dollar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi ini, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, ada perbedaan yang dinilai krusial antara tawaran Jepang dan China selain besaran nilai investasi proyek tersebut.
Pertama, berbeda dengan tawaran Jepang, China menjamin pembangunan KCJB ini tak menguras dana APBN Indonesia.
Kedua, tawaran China berbeda dari proposal Jepang karena diklaim akan terbuka soal transfer teknologi kepada Indonesia.
Akhirnya, pemerintah Indonesia pun akhirnya berpaling dan memilih proposal yang ditawarkan China, meski hal itu menimbulkan kekecewaan pemerintah Jepang.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh lantas ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.
Pengelola Whoosh adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dengan 60 persen saham dan konsorsium China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen saham).
Adapun PSBI sendiri dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan porsi saham 58,53 persen, diikuti Wijaya Karya (33,36 persen), PT Jasa Marga (7,08 persen), dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (1,03 persen).
Sementara, komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri atas CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.
Whoosh pun diresmikan oleh Jokowi pada 2 Oktober 2023 di Stasiun Halim, Jakarta.
Kini, terlihat bahwa peralihan kerjasama untuk proyek KCJB ke China justru lebih mahal dibandingkan yang ditawarkan oleh Jepang.
Dalam perjalanannya, proyek mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Whoosh jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero) sebagai lead konsorsium PSBI.
Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
Karena menjadi lead konsorsium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.
Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.
(Tribunnews.com/Rizki A.)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.