JATAM Rilis Jejak Kerusakan Alam Imbas Aktivitas Tambang yang Terafiliasi Sherly Tjoanda
JATAM merilis temuannya terkait perusahaan tambang yang terafiliasi dengan Sherly Tjoanda di mana mengakibatkan kerusakan alam.
TRIBUNNEWS.COM - Organisasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merilis hasil temuan terkait gurita bisnis pertambangan milik Gubernur Maluku Utara (Malut), Sherly Tjoanda.
Berdasarkan laporan yang diterima Tribunnews.com pada Kamis (30/10/2025), ada enam perusahaan tambang yang dimiliki Sherly meski adapula yang izinnya telah dicabut pada tahun 2022 lalu.
Enam perusahaan itu adalah PT Karya Wijaya (nikel), PT Indonesia Mas Mulia (emas dan tembaga), PT Bela Berkat Anugerah (kayu), PT Bela Sarana Permai (pasir besi), PT Bela Kencana Nikel (nikel, izin dicabut), serta PT Amazing Tabara (emas, izin dicabut).
Pengaruh Sherly di seluruh perusahaan tersebut begitu kuat karena memegang saham mayoritas serta tercatat sebagai direktur hingga komisaris.
Contohnya di PT Karya Wijaya, Sherly merupakan pemegang saham mayoritas.
Bahkan, tak hanya dirinya, ketiga anaknya pun turut memegang saham di perusahaan yang beroperasi di Pulau Gebe, Maluku Utara tersebut.
"Di PT Karya Wijaya, hingga akhir 2024, mayoritas saham masih dimiliki Benny Laos (suami Sherly Tjoanda) dengan porsi 65 persen. Namun, dokumen AHU Kemenkumham terbaru menunjukkan perubahan signifikan dalam struktur kepemilikan yakni Sherly menjadi pemegang saham terbesar dengan 71 persen."
"Sementara sisanya terbagi rata kepada tiga anaknya, masing-masing sebesar delapan persen," katanya.
Baca juga: Gubernur Malut Sherly Tjoanda Sambangi KPK: Konsultasi Kesiapan Skor MCP Biar Skornya Bagus
Cengkraman Sherly dalam bisnis keluarga tersebut juga kuat di beberapa perusahaan lainnya.
Bahkan, suaminya yakni Benny Laos yang sudah meninggal dunia setelah menjadi korban ledakan speedboat pada 12 Oktober 2024 lalu, masih tercatat sebagai pemegang saham mayoritas.
"Sherly juga tercatat sebagai direktur sekaligus pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, perusahaan induk yang menaungi beragam lini bisnis keluarga Laos."
"Jejak kepemilikan saham mendiang suaminya masih tercatat di sejumlah entitas di bawah grup ini, seperti PT Bela Kencana (40 persen), PT Bela Sarana Permai (98 persen), dan PT Amazing Tabara (90 persen)," ujar JATAM dalam temuannya.
Di sisi lain, wilayah operasi perusahaan yang dimiliki Sherly pun tak main-main yakni totalnya mencapai 55.404 hektare.
Jejak Kerusakan Alam dan Dugaan Pelanggaran Hukum Aktivitas Tambang Perusahaan Sherly
Berdasarkan temuan JATAM, aktivitas pertambangan yang dilakukan PT Karya Wijaya di Pulau Gebe, telah mengakibatkan kerusakan ekologis berupa deforestasi, dugaan pencemaran air, hingga rusaknya kawasan mangrove.
Menurut pengakuan warga, warna air laut di kawasan tersebut berubah warna menjadi kecoklatan diduga akibat lumpur tambang PT Karya Wijaya.
"Diketahui pula, produksi pertanian serta hasil laut mengalami penurunan drastis sehingga menurunkan ekonomi masyarakat pesisir," jelasnya.
Tak cuma membuat lingkungan rusak, JATAM juga mencatat bahwa operasi tambang yang dilakukan PT Karya Wijaya diduga tidak berizin.
Bahkan, hal tersebut menjadi salah satu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2024 lalu.
"Operasi tambang PT Karya Wijaya diduga tanpa melengkapi izin penting seperti izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), izin jetty, dan jaminan reklamasi pascatambang."
"Bahkan terdapat dugaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi perusahaan ini masuk dalam sistem MODI tanpa melalui proses lelang yang seharusnya," katanya.
Permasalahan operasional PT Karya Wijaya semakin panjang ketika kini ternyata tengah bersengketa dengan PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara soal klaim operasi dan tumpang tindih wilayah konsesi di Pulau Gebe.
Namun, meski kedua perusahaan itu bersengketa, JATAM menegaskan perusahaan tersebut tetap bersalah karena melakukan pertambangan di Pulau Gebe yang termasuk dalam kategori pulau kecil.
Adapun keduanya berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal larangan adanya aktivitas pertambangan di pulau kecil.
Perusahan Sherly lainnya yang juga mengakibatkan kerusakan alam yakni PT Indonesia Mas Mulia (IMM) yang beroperasi di Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Aktivitas perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas dan tembaga ini diduga mengakibatkan beberapa sungai terkontaminasi bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida.
"Operasi perusahaan ini diduga kuat menyebabkan pencemaran sejumlah sungai utama di Desa Yaba, Kecamatan Bacan Barat Utara. Kekhawatiran masyarakat meningkat akibat potensi kontaminasi bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida yang terkait langsung dengan aktivitas tambang."
"Hal ini berdampak serius pada ketersediaan air bersih, lahan pertanian, dan kebun warga," kata JATAM.
Senada dengan PT Karya Wijaya, PT IMM juga diduga tidak memiliki izin terkait pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang memadai.
Selain itu, perusahaan juga diduga tidak melaksanakan reklamasi pasca penambangan dilakukan sehingga semakin memperbesar risiko kerusakan lingkungan di Pulau Bacan.
Potensi Konflik Politik: Kepentingan Ekonomi Keluarga di Atas Aspirasi Warga
Masih beroperasinya perusahaan yang terafiliasi dengan Sherly meski diduga kuat telah melakukan berbagai pelanggaran, dianggap oleh JATAM, membuat munculnya potensi masalah baru yakni kemungkinan terjadinya konflik secara politis.
"Secara politik, praktik seperti ini menempatkan kepentingan ekonomi keluarga di atas hukum dan aspirasi warga."
"Pengawasan publik sering kali tersendat akibat minimnya transparansi asal-usul kepemilikan saham serta lemahnya komitmen disclosure pejabat daerah," kata JATAM.
Selain itu, JATAM juga menganggap adanya potensi penyalahgunaan wewenang oleh Sherly buntut dirinya terafilias dengan sejumlah perusahaan tambang.
"Ketika jabatan Gubernur dipegang oleh individu yang juga aktor utama dalam gurita bisnis tambang, ruang bagi penyalahgunaan, manipulasi kebijakan, dan ketidakadilan ekonomi semakin terbuka lebar," ujarnya.
JATAM mendesak agar kasus Sherly Tjoanda ini menjadi peringatan agar penegakan hukum hingga pembatasan rangkap jabatan di bidang pelayanan publik dan bisnis.
"Agar demokrasi lokal tidak terjerat kepentingan segelintir keluarga elite," ujar JATAM.
Sementara, Sherly memilih bungkam ketika ditanya soal kepemilikan saham mayoritas di PT Karya Wijaya.
Sikap itu diperlihatkannya setelah rapat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu (22/10/2025) lalu.
"Kita komunikasi urusan KPK saja," ujar Sherly.
Ia lantas bergegas meninggalkan lokasi tanpa menyampaikan bantahan atau klarifikasi soal kepemilikan saham tersebut.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.