Revisi UU TNI
Sidang Perdana Uji Materi UU TNI Hari Ini, Poin-poin yang Digugat
Advokat Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap pasal pada UU TNI
Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai secara ketat dengan mengedepankan prinsip supremasi sipil.
Pihaknya menegaskan bahwa dalam negara hukum yang demokratis, pengisian jabatan sipil harus dilakukan oleh aparatur sipil yang bebas dari intervensi militer, demi menjaga integritas sistem pemerintahan dan kepercayaan publik.
"Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian normatif dan sistemik terhadap lembaga-lembaga yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) UU TNI, guna menentukan secara tegas mana yang termasuk bagian dari sistem pertahanan negara, sehingga konstitusional untuk ditempati oleh prajurit TNI aktif, dan mana yang bukan, sehingga penempatan tersebut menjadi inkonstitusional," tambah dia.
Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil kembali melayangkan gugatan ke MK terkait Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.
Setelah sebelumnya mengajukan uji formil, kali ini koalisi mengajukan uji materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut.
Permohonan ini diajukan oleh lima organisasi masyarakat sipil, yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.
Selain itu, terdapat pula tiga pemohon individu.
“Selain pemohon organisasi, terdapat juga tiga pemohon perseorangan, yakni: Ikhsan Yosarie, dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute. Dua pemohon lainnya ialah mahasiswa UGM atas nama M Adli Wafi dan M Kevin Setio Haryanto,” kata Arif Maulana saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).
Baca juga: TNI Siap Beri Keterangan di MK Terkait Pengujian UU TNI yang Baru, Panglima TNI akan Hadir?
Arif menjelaskan bahwa UU TNI memuat sejumlah persoalan serius, baik dari sisi substansi maupun proses pembentukannya.
Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9, yang dinilai memberikan kewenangan kepada TNI untuk menangani aksi mogok dan konflik komunal.
Padahal, menurut Arif, hak untuk menyuarakan pendapat, termasuk mogok, dijamin dalam konstitusi.
“Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara. Selain itu, frasa 'konflik komunal' dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya,” ucap dia.
Permasalahan lain yang disoroti adalah ketentuan mengenai operasi militer selain perang (OMSP) yang dinilai membuka celah penyalahgunaan wewenang dan mengaburkan kontrol sipil atas militer.
“Koalisi menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca-reformasi 1998,” ucap dia.
Pasal 47 ayat (1) juga menjadi sorotan karena memberikan legitimasi bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang dinilai dapat mengganggu independensi lembaga-lembaga sipil.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.