Gelar Pahlawan Soeharto
Respons Penolakan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ini Pandangan Anggota DPR dan Tokoh NU
Ketua DPP PBNU Savic Ali, mengklaim banyak kalangan NU yang menolak pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto mencuat.
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, angkat bicara mengenai penolakan tersebut.
Bonnie yang merupakan sejarawan itu menilai, langkah itu bukan sekadar soal penghargaan jasa, tetapi pertarungan memori antara mereka yang berusaha mengingat dan yang berupaya melupakan represi Orde Baru.
“Wacana mempahlawankan Soeharto bukan sekadar soal jasa atau tidak, tapi pertempuran memori di ruang publik. Antara mereka yang sengaja menghapus ingatan, dan mereka yang masih mengingat represi Orde Baru,” kata Bonnie dalam diskusi bertajuk NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru di Outlier Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (7/11/2025).
Bonnie menjelaskan, kekuasaan Orde Baru dibangun atas fondasi represi dan manipulasi sejarah.
“Selama tiga dekade kekuasaan, Soeharto memakai sejarah untuk melanggengkan kekuasaan. Ia tak muncul dari pemilihan demokratis, sehingga narasi penyelamatan bangsa dari komunisme dijadikan dasar legitimasi,” ucapnya.
Menurut Bonnie, Orde Baru juga menanamkan ketakutan dalam masyarakat hingga ke ruang privat.
Dia menegaskan, jabatan presiden tidak seharusnya dianggap sakral.
"Presiden itu jabatan publik, bukan sosok yang harus dikultuskan. Ia digaji rakyat untuk mengurus negara," ucapnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua DPP PBNU Savic Ali, mengklaim banyak kalangan NU yang menolak pemberian gelar tersebut.
Kendati belum ada sikap resmi PBNU, penolakan moral muncul dari berbagai pesantren dan aktivis muda NU.
“Sampai hari ini PBNU belum mengeluarkan sikap resmi, tapi banyak kiai dan warga NU yang menolak keras Soeharto dijadikan pahlawan,” katanya.
Savic menilai, ukuran kepahlawanan tidak terletak pada lamanya berkuasa, tetapi pada keberpihakan terhadap kemanusiaan.
"Kalau ukurannya adalah keberpihakan pada rakyat, Soeharto tidak layak disebut pahlawan,” katanya.
Senada, Budayawan Hairus Salim juga menolak wacana tersebut.
Hairus mengingatkan agar penghargaan negara tidak menghapus jejak kekerasan masa lalu.
"Memberi gelar pahlawan pada Soeharto berarti menutup mata terhadap penderitaan korban. Ini bukan penolakan terhadap sejarah, tapi penolakan terhadap glorifikasi represi,” katanya.
Aktivis muda NU, Lily Faidatin, menyuarakan penolakan dari perspektif generasi Gen Z.
Dia menilai generasi muda punya tanggung jawab menjaga memori sejarah agar tragedi masa lalu tak dihapus.
"Sebagai Gen Z dan santri, saya menolak Soeharto dijadikan pahlawan nasional. Terlalu banyak luka yang belum disembuhkan dari masa Orde Baru,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan RI sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, menegaskan bahwa nama Presiden ke-2 RI Soeharto memenuhi syarat sebagai calon Pahlawan Nasional.
Hal itu disampaikan Fadli usai melaporkan hasil seleksi calon penerima gelar pahlawan kepada Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Fadli menjelaskan, pengusulan gelar pahlawan nasional berasal dari masyarakat dan melewati proses penilaian berlapis mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Kementerian Sosial sebelum dibahas di Dewan GTK.
“Semua 49 nama ini memenuhi syarat. Perjuangannya jelas, latar belakangnya, riwayat hidupnya sudah diuji secara akademik, secara ilmiah, melalui beberapa tahap,” kata Fadli.
Menurut Fadli, nama Soeharto merupakan salah satu tokoh yang telah beberapa kali diusulkan dan dinilai memiliki rekam jasa perjuangan yang signifikan. Termasuk, kepemimpinannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
“Termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan. Beliau memimpin Serangan Umum 1 Maret yang menjadi tonggak Indonesia bisa diakui eksistensinya oleh dunia,” ujarnya.
Saat ditanya soal kritik publik terkait dugaan pelanggaran HAM dan tuduhan genosida yang kerap diarahkan kepada Soeharto, Fadli mengatakan tidak terdapat pembuktian historis maupun hukum atas tuduhan tersebut.
“Enggak pernah ada buktinya kan. Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” kata Fadli.
Lebih lanjut, Fadli menegaskan penilaian gelar pahlawan dilakukan berdasarkan fakta sejarah dan jasa, bukan opini politik.
“Kita bicara sejarah, fakta, dan data. Semua yang diusulkan ini datangnya dari masyarakat dan sudah ada kajian berlapis. Jadi soal memenuhi syarat, itu sudah memenuhi syarat,” ucapnya.
Dewan GTK menyampaikan terdapat 49 nama yang masuk dalam daftar kajian tahun ini. Dari jumlah itu, ada 24 nama diprioritaskan untuk disampaikan ke Presiden Prabowo.
Baca juga: Tokoh NU dan Muhammadiyah Kritik Wacana Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Jumlah akhir penerima gelar pahlawan nasional akan ditetapkan Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) jelang peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.