Antasari Azhar Meninggal Dunia
Antasari Azhar dan 'Tangan Besi' KPK: Dari OTT Jaksa hingga Jerat Besan Presiden
Era Antasari dikenang sebagai periode paling agresif dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat tinggi negara
Ringkasan Berita:
- Mantan Ketua KPK Antasari Azhar wafat pada Sabtu (8/11/2025).
- Meski hanya dua tahun memimpin, ia dikenang sebagai sosok yang membuat KPK paling tajam dalam sejarah.
- Di bawah kepemimpinannya, KPK berani menangkap pejabat tinggi, jaksa, hingga keluarga presiden.
- Era Antasari mencatat kasus besar seperti OTT Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani, yang menandai gebrakan besar pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, tutup usia pada Sabtu (8/11/2025).
Meski hanya menjabat selama kurang lebih dua tahun, nama Antasari Azhar tercatat kuat dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kepemimpinannya dikenang sebagai era paling agresif dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat tinggi negara.
Di masa itu, jumlah kasus besar yang ditangani KPK meningkat tajam, dan lembaga antirasuah tersebut mulai dikenal benar-benar independen serta tanpa kompromi terhadap kekuasaan.
Mantan jaksa senior ini resmi dilantik sebagai Ketua KPK pada Desember 2007, menggantikan Taufiequrachman Ruki.
Kepemimpinannya menandai babak baru dalam upaya penegakan hukum, di mana KPK berani menyentuh kalangan pejabat, penegak hukum, hingga keluarga dekat presiden.
Tidak berlebihan bila banyak pihak menyebut masa Antasari sebagai periode “KPK paling tajam” dalam sejarah lembaga tersebut.
Baca juga: Profil Antasari Azhar, Wafat Hari Ini: Ketua KPK di Era Paling Tajam Pemberantasan Korupsi
Setidak ada 4 kasus yang mencuat dan menjadi soortan karena memperlihatkan keberanian KPK membongkar praktik korupsi yang selama ini dianggap tabu disentuh.
Berikut deretan kasus korupsi yang pernah ditangani KPK di bawah Antasari Azhar :
- Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani:
Awal 2008 menjadi momentum penting. KPK di bawah Antasari melakukan OTT terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan, yang kedapatan menerima uang suap sebesar USD 660.000 dari pengusaha Artalyta Suryani (dikenal dengan panggilan Ayin).
Uang tersebut diberikan untuk menghentikan penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ini kali aparat kejaksaan sendiri tertangkap tangan oleh KPK dan sekaligus membuka kembali luka lama soal penanganan dana BLBI yang menyeret banyak bankir dan pejabat era krisis 1998.
Antasari kala itu menegaskan, “KPK tidak pandang bulu, siapa pun yang bermain dengan hukum akan ditindak.
Urip Tri Gunawan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 28 November 2008 menguatkan vonis 20 tahun penjara terhadap Urip.
Sementara itu, Mahkamah Agung pada 11 Maret 2009 menolak permohonan kasasinya.
Setelah menjalani hukuman selama sembilan tahun dan beberapa kali mendapatkan remisi, Urip dinyatakan bebas pada Mei 2017.
2. Suap Anggota DPR Al Amin Nasution
KPK pimpinan Antasari i membuat gebrakan dengan menangkap anggota DPR RI, Al Amin Nasution pada April 2008.
Al Amin Nasution tertangkap tangan menerima uang suap terkait pengurusan izin alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Ia juga diketahui menerima uang dalam proyek pengadaan GPS di Departemen Kehutanan.
Kasus ini menegaskan langkah berani KPK menembus lingkar parlemen yang selama ini dikenal “kebal hukum”.
Al Amin akhirnya divonis bersalah dan diberhentikan dari DPR. Di mata publik, KPK makin dipercaya sebagai lembaga yang tak takut menyentuh politisi aktif.
Mahkamah Agung (MA) memvonis Al Amin Nasution delapan tahun penjara.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukum mantan Anggota DPR itu selama 10 tahun penjara.
3. Kasus Suap Cek Pelawat Bank Indonesia
Tahun 2008 menjadi salah satu periode penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yakni h terkuaknya kasus suap cek pelawat Bank Indonesia (BI) yang menyeret sejumlah pejabat BI dan anggota DPR.
Skandal ini mengungkap praktik “politik uang” lintas lembaga yang selama ini mencengkeram sistem birokrasi di sektor keuangan dan legislatif.
Kasus ini mencuat setelah mantan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Agus Condro Prayitno, secara terbuka mengaku pernah menerima cek pelawat terkait proses pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI yang akhirnya meloloskan Miranda Swaray Goeltom pada Juni 2004.
Suap tersebut diduga diberikan kepada sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999–2004, yang membidangi keuangan dan perbankan.
Modusnya: uang suap disamarkan dalam bentuk cek pelawat (traveller’s cheque) dengan nilai total mencapai lebih dari Rp 20 miliar, yang diduga berasal dari Bank Artha Graha.
Dalam perkembangannya, KPK berhasil menelusuri aliran dana dan menjerat sejumlah pihak.
Beberapa mantan pejabat BI, seperti Rusli Simanjuntak (mantan Kepala Biro Gubernur BI) dan Oey Hoy Tiong (mantan Deputi Direktur Hukum BI), didakwa mendistribusikan dana tersebut kepada anggota DPR.
Puluhan legislator turut terseret dalam kasus ini, dan sebagian di antaranya divonis bersalah.
Meski Miranda Swaray Goeltom baru ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tahun 2012, kasus ini telah menjadi simbol keberanian KPK di era Antasari Azhar dalam membongkar jaringan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara dan politisi papan atas.
Skandal cek pelawat BI bukan hanya mengguncang dunia politik dan perbankan nasional, tetapi juga memperlihatkan kemampuan KPK dalam mengurai kasus korupsi kompleks yang melibatkan kekuasaan, keuangan, dan pengaruh politik.
4. Jebloskan Aulia Pohan ke Penjara
Kasus lainnya yang menjadi sorotan adalah dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2008.
Perkara ini menyeret sejumlah pejabat tinggi Bank Indonesia, termasuk Aulia Pohan, besan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden RI.
Skandal dana BLBI bermula dari penyaluran dana milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang dikaitkan dengan penggunaan dana Bank Indonesia.
KPK menelusuri dugaan penyalahgunaan dana tersebut yang mencapai Rp 100 miliar.
Aulia Pohan menjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia, dan diduga terlibat dalam penggelapan dana YPPI bersama sejumlah pejabat lain, termasuk Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia periode 2003–2008.
Ketua KPK Antasari Azhar mengumumkan Aulia Pohan sebagai tersangka dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan mengejutkan publik karena menyentuh lingkaran keluarga Presiden SBY.
Aulia Pohan menjalani pemeriksaan intensif oleh penyidik KPK. Ia resmi ditahan setelah pemeriksaan keempat.
Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Aulia Pohan, 17 Juni 2009.
Majelis hakim menyatakan ia terbukti melakukan penyalahgunaan dana YPPI yang merugikan keuangan negara.
Aulia Pohan dinyatakan bebas setelah memperoleh remisi tiga bulan dan dianggap telah menjalani dua pertiga masa hukuman. (Tribunnews.com/Eko Sutriyanto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.