Beri Wejangan untuk Rektor Muhammadiyah, Prof Muhadjir: Pimpinan Tidak Boleh Lari dari Risiko
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, memberikan pesan penting kepada para rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
Ringkasan Berita:
- Prof. Dr. Muhadjir Effendy memberikan pesan kepada para rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah.
- Sebagai pimpinan itu tidak boleh lari dari risiko.
- Menjadi seorang pemimpin berarti berhadapan langsung dengan tantangan dan ketidakpastian.
Â
TRIBUNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, memberikan pesan penting kepada para rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta.
Dalam kegiatan Darul Arqom Pimpinan Utama PTMA di Cirebon, Jawa Barat, Jumat (7/11/2025) malam, Muhadjir menekankan pentingnya keberanian mengambil risiko dalam memimpin institusi.
"Kita tadi ngobrol saja tentang bagaimana perbandingan Muhammadiyah dan Aisyiyah ke depan. Kemudian apa yang harus dimiliki oleh pimpinan terutama dalam suasana Muhammadiyah yang semakin kompetitif," ujar Prof. Muhadjir dalam suasana santai namun sarat makna tersebut.
Pimpinan Tidak Boleh Lari dari Risiko
Wejangan paling tegas dari Muhadjir adalah mengenai kepemimpinan. Menurutnya, menjadi seorang pemimpin berarti berhadapan langsung dengan tantangan dan ketidakpastian.
"Sebagai pimpinan itu tidak boleh lari dari risiko, karena kemajuan sebuah institusi itu bila kita dihadapkan dengan risiko ke risiko dan kita harus bisa mengatasi risiko tersebut," katanya.
Keberanian mengelola risiko inilah yang ia anggap sebagai kunci untuk memajukan institusi di era kompetisi yang semakin ketat.
Meneladani Politik Kiai Dahlan: Kooperatif dan Pembaharu
Di hadapan para rektor yang hadir, Muhadjir juga menyinggung sejarah unik pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Ia menyebut Kiai Dahlan sebagai sosok yang sangat politis, namun memilih jalur dakwah dan pendidikan alih-alih mendirikan partai politik.
"Jadi Kiai Dahlan itu politisi tapi tidak membuat organisasi politik. Tetapi membawa Muhammadiyah cara politik," tutur Muhadjir.
Muhadjir menjelaskan bahwa Kiai Dahlan adalah contoh politisi yang menolak bergabung dalam partai politik resmi, namun aktif di berbagai organisasi seperti Budi Utomo dan Serikat Islam (sebagai penasihat), serta Taman Siswa.
Uniknya lagi, Muhadjir menyoroti ciri khas gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan.Â
Ia bahkan menyebut bahwa proses reformasi pemikiran di tubuh Muhammadiyah telah berjalan sangat jauh.
"Muhammadiyah sekarang itu perjalanannya sudah sangat jauh dalam proses reformasi. Pembaharuan-pembaharuan pemikiran Muhammadiyah itu sudah cukup jauh karena Muhammadiyah itu pergerakan pembaharuan," ujarnya.
Sejarah Kooperatif Kiai Dahlan dengan Pemerintah Kolonial
Muhadjir menutup wejangannya dengan membongkar sejarah politik Kiai Ahmad Dahlan yang seringkali terlupakan: sikap kooperatifnya dengan pemerintahan kolonial Belanda. Ia mencatat bahwa Kiai Dahlan tidak tercatat melawan penjajah Belanda, baik secara fisik maupun diplomatik.
| Wamenaker Ajak Lulusan Kampus Muhammadiyah Ramaikan Program Magang Kerja |
|
|---|
| Gelar Konferensi CFP KPPTI-4, FPPTI Berkomitmen Perkuat Literasi Akademik hingga Etika Teknologi |
|
|---|
| Peningkatan Mutu Pendidikan Tinggi Jadi Kunci Tingkatkan SDM Berdaya Saing |
|
|---|
| Pendidikan Tinggi Didorong Masuk Desa Lewat Sistem Pembelajaran Jarak Jauh |
|
|---|
| Menhut Singgung Historis Muhammadiyah yang Adaptif dengan Kekuasaan |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.