UU Hak Cipta
Anggota DPR Usul LMK dan LMKN Dibubarkan, Royalti Dikelola Negara
Anggota Baleg DPR RI, Eric Hermawan, mengusulkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dibubarkan.
Ringkasan Berita:
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Eric Hermawan, mengusulkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dibubarkan.
Sebagai gantinya, ia mengusulkan pembentukan mekanisme pengelolaan royalti berbasis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di bawah Kementerian Ekonomi Kreatif.
"Saya memberikan gambaran dan usulan lebih ekstrem lagi bahwa LMK dan LMKN ini menurut saya lebih baik dibubarkan," kata Eric dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hak Cipta di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Menurut Eric, pengelolaan royalti hak cipta sebaiknya berada langsung di bawah kendali pemerintah agar lebih transparan dan adil bagi para pencipta karya.
Ia menilai, selama ini mekanisme pengumpulan dan distribusi royalti melalui LMK dan LMKN kerap menimbulkan persoalan.
Baca juga: Revisi UU Hak Cipta, Fraksi PDIP Soroti Distribusi Royalti dan Batas Ruang Sosial-Bisnis
"Kenapa demikian? Karena saya melihat dalam tarik menarik uang itu rakyat itu harusnya melalui negara, tinggal kita bentuk caranya," ujarnya.
Eric menjelaskan, sistem PNBP dapat menjadi solusi untuk memastikan setiap pencipta karya mendapat haknya secara proporsional.
Nantinya, para pencipta bisa mendaftarkan karya mereka di unit khusus di bawah ekonomi kreatif yang mengelola royalti.
"Misalnya, tarif lagunya Dewa misalnya begitu kan, berapa, sama semua kan kalau untuk manggung sehingga tidak ada masalah. Kalau kemudian ke depannya Pak Once mau nyanyi mau ada acara, sudah clear sebelum selesai manggung sudah dapat daftar di PNBP. Gampang secara online," ucapnya.
Baca juga: Royalti, Alasan Maia Estianty Tinggalkan Dunia Musik
Eric menilai, sistem baru tersebut akan membuat tata kelola royalti lebih sederhana dan akuntabel.
Ia juga menegaskan bahwa selama sistem LMK dan LMKN masih dipertahankan, persoalan serupa akan terus muncul.
"Makanya menurut saya lebih baik melalui ekonomi kreatif yang membidangi tentang royalti. Nah ini harus kita pikirkan Pak Ketua, kita pikirkan Pak Ketua, caranya gimana Pak Ketua, sehingga ini menarik. Kalau selama LMK LMKN sampai mati pun akan masalah," ungkapnya.
Sistem Belum Ideal
Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) mengusulkan delapan rekomendasi, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Ketua AKSI Satriyo Yudi Wahono atau yang dikenal sebagai Piyu Padi, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terkait Harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Piyu menilai revisi UU Hak Cipta mendesak dilakukan karena tata kelola royalti nasional masih jauh dari ideal dan sering membingungkan pelaku industri musik.
“Di sini kami ingin menyampaikan apa itu kebutuhan revisi UU Hak Cipta. Saat ini sistem yang berjalan di lapangan belum menunjukkan sistem yang ideal dalam tata kelola royalti nasional yang akhirnya sering menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian bagi pelaku industri,” kata Piyu di Ruang Rapat Baleg DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Piyu menyoroti mekanisme pemungutan royalti yang selama ini dilakukan setelah pertunjukan atau konser selesai, sesuai ketentuan Surat Keputusan Kemenkumham tahun 2016.
Pola tersebut, menurutnya, membuat para pencipta lagu ikut menanggung risiko kerugian yang seharusnya menjadi tanggungan penyelenggara acara.
Dia menegaskan, pembayaran royalti semestinya dilakukan sebelum kegiatan berlangsung, agar hak pencipta terlindungi dan potensi pelanggaran dapat diminimalisir.
“Ini menunjukkan bahwa dari para pencipta ini ikut menanggung risiko yang sama seperti penyelenggara. Kami membuat royalti yang diterima harusnya hak yang diterima menjadi tersendat dan terjadi pelanggaran atau terjadi transaksional di dalam situ, karena memang ada bukti,” ujarnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.