Hari Raya Galungan
Kapan Hari Raya Galungan dan Kuningan 2025? Catat Tanggalnya
Bagi seluruh umat Hindu di Indonesia, Hari Raya Galungan dan Hari Raya Kuningan adalah 2 momen keagamaan yang sangat sakral dan dinantikan.
TRIBUNNEWS.COM - Bagi seluruh umat Hindu di Indonesia, khususnya yang berada di Pulau Bali, Hari Raya Galungan dan Hari Raya Kuningan adalah dua momen keagamaan yang sangat sakral dan dinantikan.
Kedua hari raya ini merupakan wujud syukur dan perayaan spiritual atas kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan) dalam diri manusia.
Sistem penanggalan perayaan ini berbeda karena didasarkan pada kalender Bali yang bersiklus Pakuwon dengan periode 210 hari.
Karena siklus ini, Galungan dan Kuningan selalu dirayakan dua kali dalam satu tahun kalender Masehi, dengan selisih waktu 10 hari antara satu sama lain.
Mengutip dari buleleng.bulelengkab.go.id, Galungan, sebagai hari permulaan dan kemenangan, selalu jatuh pada hari Rabu pada wuku Dungulan, sedangkan Kuningan, sebagai hari penutup dan penyucian, jatuh pada hari Sabtu pdaa wuku Kuningan.
Memasuki pengujung tahun 2025, rangkaian perayaan kedua akan segera tiba.
Momen ini merupakan panggilan bagi umat Hindu untuk melakukan pembersihan diri dan menyiapkan upacara persembahan sebagai wujud syukur atas restu dan perlindungan dari Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Tanggal Hari Raya Galungan dan Kuningan Kedua Tahun 2025
Mengutip dari https://bimashindu.kemenag.go.id/, berikut adalah tanggal lengkap untuk Galungan dan Kuningan kedua di tahun 2025:
Hari Raya Galungan 2025 (Kedua)
Baca juga: 80 Ucapan Hari Raya Galungan dan Kuningan 2025, Penuh Makna dan Doa
- Penampahan Galungan: Selasa, 18 November 2025
- Hari Raya Galungan: Rabu, 19 November 2025
- Umanis Galungan: Kamis, 20 November 2025
Hari Raya Kuningan 2025 (Kedua)
Dengan mencatat tanggal-tanggal ini, umat Hindu dapat mempersiapkan rangkaian upacara dan persembahan dengan lebih matang.
Sejarah Hari Raya Galungan dan Kuningan
Di Bali, ada sebuah rangkaian hari suci yang selalu dinanti oleh umat Hindu, yaitu Galungan dan Kuningan.
Tradisi ini telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, berakar pada ajaran Hindu yang berkembang di Nusantara sejak abad ke-4 hingga ke-8.
Ketika pengaruh Hindu semakin kuat di Bali pada masa Kerajaan Bali Kuno, upacara ini mulai dikenal sebagai simbol kemenangan kebenaran atas segala bentuk kejahatan, kemenangan yang dalam ajaran Hindu disebut triumph of Dharma over Adharma.
Dalam cerita tutur masyarakat Bali, Galungan sering dikaitkan dengan kisah tentang Mayadenawa, raja angkara murka yang menentang ajaran kebenaran dan melarang rakyat memuja Tuhan.
Kejahatannya akhirnya dihentikan oleh Dewa Indra yang turun ke dunia untuk menegakkan Dharma.
Kemenangan ini kemudian dimaknai sebagai pesan abadi bahwa kejahatan sebesar apa pun akan kalah oleh cahaya kebenaran.
Dari sinilah makna terdalam Galungan lahir.
Kata “Galungan” sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno galung yang berarti menang.
Sejak masa raja-raja Bali Kuno pada abad ke-9, hari suci ini kemudian ditetapkan dalam kalender Pawukon dan selalu jatuh pada Buda Kliwon Dungulan, setiap 210 hari sekali.
Hari puncak Galungan diyakini sebagai saat ketika para dewa turun ke bumi untuk memberikan restu, sementara roh leluhur datang mengunjungi keluarga mereka.
Sepekan sebelum hari Galungan, suasana desa mulai berubah.
Ritual penyucian diri dan lingkungan dilakukan melalui upacara Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Tiga hari menjelang Galungan, masyarakat memasuki masa penyekeban, saat mereka mulai menahan diri dari hal-hal yang mengganggu kesucian batin.
Rumah-rumah mulai dipenuhi aroma persiapan sesajen dan masakan khas upacara.
Pada hari Penampahan Galungan, sehari sebelum hari raya, keluarga memasang penjor, tiang bambu melengkung berhias janur dan hasil bumi yang menjadi simbol Gunung Agung, pusat spiritualitas umat Hindu Bali.
Ketika matahari terbit pada hari Galungan, seluruh desa terasa lebih hidup dan sakral.
Umat Hindu bersembahyang di rumah dan pura keluarga, memohon agar Dharma selalu memimpin jalan hidup mereka.
Suasana penuh sukacita, namun tetap sarat makna spiritual dan penghormatan kepada para leluhur.
Sepuluh hari kemudian, datanglah hari Kuningan, yang menjadi penanda berakhirnya rangkaian Galungan.
Hari ini memiliki makna khusus, karena diyakini sebagai waktu ketika roh-roh leluhur kembali ke alamnya.
Nama 'Kuningan' berasal dari kata kuning, yang melambangkan kesucian, kebijaksanaan, dan kemakmuran.
Sesajen khas berwarna kuning disiapkan, lengkap dengan tamiang dan endongan sebagai simbol perlindungan dan bekal perjalanan para leluhur.
Pada hari ini, umat memohon agar anugerah kedamaian, rezeki, dan kebijaksanaan terus menyertai mereka.
Setiap kali perayaan datang, masyarakat Bali seolah diingatkan kembali akan siklus kehidupan, bahwa kebenaran harus diperjuangkan, kebersihan lahir batin harus dijaga, dan rasa syukur harus selalu disampaikan.
(Tribunnews.com/Farra)
Artikel Lain Terkait Hari Raya Galungan dan Kuningan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.