Kisah Hidup Maizidah Salas hingga Jadi Salah Satu Perancang UU Perlindungan TKI
Mengenal sosok inspiratif Maizidah Salas, penyintas human trafficking yang mendirikan Kampung Buruh Migran.
Penulis:
Fira Firoh
Editor:
Mus Djamal
Akhirnya ia memutuskan untuk ke shelter TKI dengan uang yang tersisa.
Selama tiga bulan berada di shelter, Bu Salas mengaku mendapat banyak tekanan.
Setelah sampai di Taiwan, tekanan dan kekerasan kerap ia dapatkan.
"Di majikan pertama saya disiksa. Saya disuruh bekerja mulai dari jam setengah 4 subuh sampai jam 1 malam. Bahkan untuk sholat saja saya tidak diizinkan. Lalu pindah ke majikan yang kedua, saya merasa bahagia. Saya mendapat majikan yang baik dan royal. Tapi baru empat bulan bekerja agensi menarik saya karena saya sudah dikontrak 3 tahun oleh majikan pertama. Dan majikan pertama baru bisa mengambil pekerja lagi setelah saya dipulangkan," cerita Bu Salas sesekali sesenggukan.
Saat dijemput oleh pihak agensi dari rumah majikan kedua, Bu Salas justru mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: Sosok Serda Nina, Prajurit TNI AL yang Terjun di Ketinggian 7000 Kaki
"Saat di mobil berdua dengan salah satu pegawai agensi, dia tiba-tiba meraba saya, melepar handphone pemberian majikan kedua saya, dan bersikap kasar pada saya," cerita Bu Salas yang mulai berlinang air mata mengingat kejadian tersebut.
Mendirikan Kampung Buruh Migran
Setelah mengalami berbagai masalah saat menjadi TKI, Bu Salas akhirnya mendapat pekerjaan di pabrik dengan penghasilan yang lumayan.
“Saya lalu menyewa apartemen bersama teman sedesa yang dulu juga tertipu bersama saya. Apartemen kami gunakan untuk menampung teman-teman yang sedang kena masalah. Apartemennya memang hanya punya satu kamar. Saya memberi mereka makan, mencarikan pekerjaan, dan sedikit uang. Meski hanya bisa membantu sedikit, saya
senang. Dari situ saya melihat, TKI resmi juga banyak yang bermasalah," cerita ibu tiga anak ini.
Usai empat tahun bekerja secara ilegal, Bu Salas akhirnya ditangkap dan ditahan, kemudian dideportasi ke Indonesia.
Saat kembali ke Wonosobo, ia membentuk Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo (SPMW) dan menjadi ketua.
Karena jumlah anggotanya semakin banyak, akhirnya komunitas itu berganti nama Kampung Buruh Migran (KBM).
"Kebanyakan korban Human Trafficking adalah perempuan. Nah, disitu, saya memberikan pendampingan dan edukasi kepada mereka lewat KBM," ujar Bu Salas.
Komunitas para penyintas Human Trafficking tersebut biasanya mengadakan diskusi atau sesi sharing yang membahas program pemerintah, pelatihan, simpan pinjam, dan membuat usaha-usaha kecil.