Kamis, 4 September 2025

Sederhana tapi Bersahaja, Ini Dia Kuliner Masyarakat Adat yang Minim Bumbu

Tiga alumni Masterchef Indonesia (MCI) diundang untuk memasak ulang makanan khas Masyarakat Adat, makanan sederhana tapi bersahaja.

Penulis: Maharani Kusuma Daruwati
Uta Kelo 

Petik dari Kebun Sendiri

Penasaran dengan cerita di balik rumpu rampe, Jordhi sempat bertanya kepada teman yang berasal dari Maumere. Dari dia, Jordhi tahu bahwa rumpu rampe artinya banyak dan beragam, karena bahan-bahan pembuatnya memang banyak sekali.

“Dia bercerita, tidak perlu ada acara khusus untuk memasak rumpu rampe. Banyak masyarakat di sana yang bekerja sebagai petani. Mereka biasa memetik hasil kebun sendiri untuk dibuat menjadi satu hidangan. Jadi, setiap orang bisa makan rumpu rampe,” cerita Jordhi.

Mama Siti, yang merupakan warga asli NTT, menambahkan, tidak ada bahan sayuran yang wajib digunakan untuk memasak rumpu rampe. Apa saja yang ada di kebun boleh dimasak menjadi rumpu rampe.

“Karena itu, mencari bahannya tidak susah. Tinggal petik saja dari kebun sendiri. Tapi, yang umum digunakan adalah campuran dari daun pepaya, bunga pepaya, jantung pisang, dan daun ubi atau daun singkong. Semua tinggal direbus, lalu diiris-iris dan diberi bumbu,” ujarnya.

Baca Juga: Baik untuk Kesehatan Mental Anak, Psikolog Ungkap Manfaat Permainan Tradisional

Fifin yang baru pertama kali memasak uta kelo juga bercerita bahwa bahan masakan tersebut mudah ditemukan dan ramah di kantong.

“Saya sempat mencari tahu banyak hal soal uta kelo. Makanan sehari-hari ini mirip dengan lodeh, tapi bahannya unik. Sama-sama pakai terong dan santan, tapi uniknya uta kelo juga menggunakan daun kelor dan pisang mentah.”

Yang jelas, menurut Silvy, masakan komunitas adat terbilang ramah lingkungan. Sebab, memanfaatkan bahan yang ada di sekitar.

Tak perlu minyak goreng, tak perlu juga peralatan mewah, termasuk kompor. Cukup kayu bakar dan pembungkus alami, seperti bambu dan daun pisang.

Minim Bumbu, Kaya Rasa

Silvy bercerita, rata-rata kuliner Masyarakat Adat dimasak dengan bumbu minimalis.

“Masakan di kampung saya hanya menggunakan tiga bumbu andalan, yaitu garam, daun jeruk purut, dan cabai rawit, termasuk untuk memasak daging sapi. Itu saja sudah cukup. Daun jeruk sebagai aroma dan cabai rawit pun tinggal petik dari halaman. Masakan terasa sangat enak, karena menonjolkan rasa alami dari bahan segar. Dulu tak ada yang mengenal bawang. Sekarang lebih banyak yang dimodifikasi dengan tambahan bumbu bawang,” kata Silvy, yang berasal dari Sulawesi Tengah.

Contoh lain yang disebutkan olehnya adalah bumbu ulat sagu di Halmahera, Maluku, yang hanya menggunakan bawang merah, garam, dan cabai rawit. Atau, sering kali hanya dibakar tanpa tambahan bumbu. Hal serupa juga dilakukan, ketika warga Kalimantan atau Sulawesi memasak ular sawah.

Halaman
1234
Sumber: Parapuan
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan