Dedi Mulyadi Pimpin Jabar
Buntut Panjang Kebijakan Dedi Mulyadi soal 50 Siswa per Kelas, Berujung Digugat Hukum
Kebijakan 50 siswa per kelas dari Dedi Mulyadi berujung gugatan oleh 8 organisasi swasta. Dedi menganggap kebijakannya tak melanggar hukum.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, soal penambahan rombongan belajar (rombel) menjadi 50 siswa per kelas berbuntut gugatan hukum.
Dedi digugat oleh delapan organisasi sekolah swasta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung tertanggal 31 Juli 2025 dengan nomor perkara 121/G/2025/PTUN.BDG.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Bandung, kedelapan organisasi itu terdiri dari tujuh badan guru swasta di Kabupaten Bandung, Cianjur, Bogor, Garut, Cirebon, Kuningan, dan Sukabumi.
Sementara, satu organisasi lainnya adalah Forum Kepala Sekolah SMA Swasta Provinsi Jawa Barat.
Dalam laporan perkara itu, belum terlampir isi gugatan organisasi tersebut kepada Dedi Mulyadi.
Baca juga: Hampir Sebulan Berlalu, Bagaimana Kelanjutan Kasus Tragedi Pesta Pernikahan Anak Dedi Mulyadi?
Humas PTUN Bandung, Enrico Simanjuntak pun membenarkan terkait gugatan tersebut.
Dia mengatakan setelah menerima gugatan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan isi gugatan untuk lalu dimatangkan oleh majelis hakim.
Ia mengungkapkan sidang perdana akan digelar pada Kamis (7/8/2025) besok.
"Jadwal persidangannya akan diadakan besok tanggal 7 Agustus 2025 pukul 10.00 WIB dengan agenda pemeriksaan persiapan pertama," ucapnya pada Rabu (6/8/2025), dikutip dari Tribun Jabar.
Dia memperkirakan tahapan terkait agenda pemeriksaan diperkirakan memerlukan waktu 30 hari sebelum tahap pembacaan gugatan.
"Pembuktian dimulai dari bukti surat, bukti elektronik, menghadirkan saksi, ahli, dan, alat bukti lainnya yang terkait. Setelah pembuktian nanti kesimpulan, baru setelah kesimpulan dilanjutkan dengan tahap akhir yaitu putusan begitu," katanya.
Dedi Anggap Kebijakannya Tak Melanggar Hukum
Dedi pun telah mengetahui terkait adanya gugatan terhadap dirinya dari sejumlah organisasi sekolah swasta.
Namun, dia menegaskan kebijakannya itu tak melanggar hukum. Mantan Bupati Purwakarta itu meminta agar para penggugat bisa membuktikan kerugian materil yang diterima buntut kebijakannya tersebut.
"Ini bukan keputusan tata usaha yang merugikan secara material. Ini soal pendidikan, bukan bisnis tender yang menyebabkan yang lain kalah bersaing. Sekolah yang menggugat harus bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar dirugikan oleh kebijakan ini," ujar Dedi, Rabu (6/8/2025), dikutip dari Kompas.com.
Dedi menjelaskan kebijakan 50 siswa per kelas di SMA negeri semata-mata agar anak-anak di Jawa Barat bisa bersekolah tanpa terkendala biaya.
Ia mengungkapkan apa yang dilakukannya itu semata-mata demi memenuhi kewajiban negara untuk memenuhi pendidikan masyarakat.
Sehingga, Dedi merasa aneh ketika niatnya melakukan tugas negara justru berujung gugatan.
"Jadi ini saya digugat karena menjalankan kewajiban negara untuk mendidik anak bangsa," kata Dedi.
Di sisi lain, Dedi menganggap fenomena sepinya SMA swasta bukan karena kebijakannya.
Menurutnya, hal itu karena memang adanya kompetisi antar sekolah.
Dia mengungkapkan jika memang semisal ada SMA negeri maupun swasta memiliki kualitas baik, maka dipastikan akan diminati.
SMA Swasta Sepi karena Mahal
Dedi menduga sekolah swasta dihadapkan pada fenomena sepi anak didik karena mahal, tetapi tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan.
Menurutnya, orang tua jadi berpikir ulang untuk memasukkan anaknya ke sekolah swasta.
"Masyarakat juga berpikir, buat apa bayar mahal kalau kualitasnya biasa saja? Yang favorit (berkualitas) tetap penuh, bahkan rebutan murid," tegasnya.
Sehingga, Dedi mempertanyakan logika gugatan terhadapnya bahwa kebijakannya membuat sekolah swasta sepi.
"Kalau sekolahnya memang dari dulu sepi, lalu tiba-tiba ada kebijakan rombel 50 orang, terus itu dijadikan alasan? Ini kayak ojek pangkalan menggugat Gojek karena sepi, padahal masalah utamanya ada pada daya tarik dan layanan," sindir Dedi.
Baca juga: Penjelasan Dedi Mulyadi soal Bendera One Piece Boleh Berkibar di Jawa Barat
Dia menyebut, jika hakim mengabulkan gugatan penggugat maka dipastikan puluhan ribu siswa tambahan yang bersekolah di sekolah negeri di Jawa Barat harus dipindah ke sekolah swasta.
"Misalnya kalau gugatan diterima, silakan saja hakim keluarkan 47.000 siswa tambahan itu dari Dapodik, dan mereka mau nggak keluar dari sekolah negeri ke swasta? Pasti nggak mau," kata Dedi.
Awal Mula Kebijakan 50 Siswa per Kelas
Kebijakan ini berawal ketika Dedi menilai banyak anak putus sekolah di Jawa Barat karena keterbatasan biaya.
Lalu, dia menerbitkan kebijakan 50 siswa per kelas di sekolah negeri lewat Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah ke Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat.
"Calon murid ditempatkan kepada satuan pendidikan sebanyak- banyaknya 50 murid disesuaikan dengan hasil analisis data luas ruang kelas yang akan digunakan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," dikutip dari keputusan tersebut.
Lalu, dalam video di akun TikTok-nya pada 2 Juli 2025 lalu, dia menjelaskan kebijakannya itu merupakan langkah darurat demi mencegah anak kurang mampu putus sekolah.
Dedi menjelaskan angka 50 bukanlah jumlah wajib per kelas tetapi batas maksimal.
"Kalimatnya maksimal, artinya bisa dalam setiap kelas itu 30, bisa 35, bisa 40. Dan apabila, kalimatnya apabila, apabila di daerah tersebut banyak siswa yang dekat dengan sekolahnya dan punya kemampuan ekonomi rendah," ujar Dedi.
Baca juga: Pemkot Bandung Bolehkan Siswa SD dan SMP Study Tour, Dedi Mulyadi Minta Wisata Daerah Diperbaiki
Ia menilai siswa saat ini tidak hanya menghadapi masalah biaya sekolah saja tetapi juga biaya transportasi karena antara jarak rumah dan sekolah jauh.
"Misalnya bayaran bulanannya 200 atau 300 ribu, dia mampu. Tetapi misalnya dia berat diongkos menuju sekolahnya. Maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil kebijakan: daripada anak Jawa Barat tidak sekolah, ya lebih baik sekolah," kata Dedi.
Dedi pun menegaskan, kebijakan ini tidak akan berlangsung permanen. Ia mengungkapkan pihaknya tengah membangun ruang kelas baru untuk mengurangi kepadatan murid.
Dedi menyebut kebijakan ini sebagai langkah darurat untuk menyelamatkan masa depan generasi muda.
"Daripada mereka nongkrong di pinggir jalan, kemudian berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan usianya, lebih baik dia sekolah walaupun sekolahnya sederhana. Itu prinsip saya," ujarnya.
Sebagian artikel telah tayang di Tribun Jabar dengan judul "8 Organisasi Sekolah Swasta Menggugat Dedi Mulyadi ke PTUN, Imbas Penambahan Rombel Program PAPS"
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Tribun Jabar/Nazmi Abdurrahman)(Kompas.com/Farid Assifa)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.