Minggu, 10 Agustus 2025

Dedi Mulyadi Pimpin Jabar

Polemik Study Tour di Jawa Barat, Dinilai Perlu Kajian Mendalam Sehingga Tak Menimbulkan Kerugian

Ketimbang menebang sektor bisnis pariwisata, Ia menyarankan agar semua pihak harus mau dan mampu memastikan kepatuhan pada standar keselamatan

Penulis: Reza Deni
Istimewa
POLEMIK STUDY TOUR - Founder Restorasi Jiwa Indonesia, Syam Basrijal menyarankan agar polemik tentang larangan study tour oleh Pemprov Jawa Barat dikaji lebih mendalam dan holistik sehingga tidak merugikan satu belah pihak. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Founder Restorasi Jiwa Indonesia, Syam Basrijal, menyarankan agar polemik tentang larangan study tour oleh Pemprov Jawa Barat dikaji lebih mendalam dan holistik sehingga tidak merugikan satu belah pihak.

Pemprov Jawa Barat yaitu lembaga pemerintahan yang menjalankan fungsi administrasi, pembangunan, dan pelayanan publik di wilayah Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

Baca juga: Didemo gegara Larang Study Tour, Dedi Mulyadi Tegas Bedakan dengan Piknik

"Pemimpin bijaksana tidak menunda tindakan, tetapi ia memastikan setiap langkah lahir dari analisis menyeluruh. Ia bertanya, 'Bagaimana saya bisa menghentikan masalah ini sekarang, sambil memastikan semua pihak bisa berjalan lagi dengan aman?'" kata Syam Basrijal kepada wartawan, Sabtu (9/8/2025).

Dia lantas menyinggung soal tragedi yang merenggut nyawa pelajar akibat aktivitas study tour yang menjadi salah satu alasan munculnya kebijakan larangan study tour tersebut.

Baca juga: Pemkot Bandung Bolehkan Siswa SD dan SMP Study Tour, Dedi Mulyadi Minta Wisata Daerah Diperbaiki

Study Tour adalah kegiatan belajar yang dilakukan di luar lingkungan kelas melalui kunjungan ke tempat-tempat edukatif, seperti museum, situs sejarah, perusahaan, universitas, atau kawasan alam.

Tujuannya adalah untuk memperluas wawasan peserta dan menghubungkan teori yang dipelajari di kelas dengan pengalaman nyata di lapangan.

Menurut Syam, insiden tersebut memang jelas mengguncang nurani. Bahkan ia menekankan tidak ada yang mau membantah bahwa keselamatan harus menjadi prioritas. 

Namun, pertanyaan besar selanjutnya menurut Syam adalah, bagaimana cara agar pemangku kebijakan menjaga keselamatan tanpa mengorbankan hak belajar, keberlangsungan ekonomi lokal, dan rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat.

Jika seorang pemimpin yang reaktif, tentu bisa jadi mengambil kebijakan yang kurang tepat, yakni langsung melarang kegiatan yang menjadi bagian dari peristiwa kelam tersebut.

Sehingga dampak yang terjadi menurut kalkulasinya ada dua, pertama untuk jangka pendek dan kedua adalah untuk jangka panjang.

"Publik melihat pemimpin 'bergerak cepat', dan rasa khawatir sementara mereda. Namun di balik itu, ada konsekuensi yang tidak kecil," ujarnya. 

Dampak besar itu diurai Syam antara lain, bahwa hak belajar kontekstual siwa akan terpangkas. 

Karena study tour yang dirancang dengan baik memberi siswa pengalaman belajar berbasis observasi, interaksi sosial, dan keterhubungan dengan dunia nyata, hal yang sulit dicapai di ruang kelas saja.

Selain itu ada dampak ekonomi yang meluas. Di mana industri transportasi yang sudah berjaalan, pariwisata, dan UMKM lokal kehilangan mata pencaharian yang sebelumnya bergantung pada rombongan pelajar.

Dampak besar selanjutnya adalah degradasi terhadap public trust kepada pemerintah atau pemangku kebijakan, bahwa ruang dialog memang tidak diakomodir dengan baik untuk mengurai masalah yang ada di tengah masyarakat.

Halaman
123
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan