Pro dan Kontra Iuran Rp1000 per Hari Dedi Mulyadi, Ini Respons Warga Jabar dan Pengamat
Dedi Mulyadi gagas iuran Rp1.000 per hari bantu warga miskin Jabar. Program Rereongan Sapoe Sarebu picu pro dan kontra.
TRIBUNNEWS.COM - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menggagas program “Rereongan Sapoe Sarebu” berupa iuran Rp1.000 per hari dari warga untuk membantu pembiayaan pendidikan dan kesehatan masyarakat kurang mampu.
Dalam bahasa Sunda, Rereongan Sapoe Sarebu berarti “gotong royong seribu rupiah per hari.”
Lewat Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA, program ini ditujukan untuk membantu kebutuhan darurat pendidikan dan kesehatan, seperti biaya sekolah atau pengobatan warga kurang mampu.
Nantinya, dana akan dikumpulkan melalui rekening khusus Bank BJB, dikelola oleh pengurus di setiap instansi atau lingkungan masyarakat, dan dilaporkan secara terbuka melalui aplikasi Sapawarga maupun portal resmi Pemprov Jabar.
Program ini bersifat sukarela, namun surat edaran resmi telah dikirim ke bupati, wali kota, dan instansi pemerintah se-Jawa Barat.
Donasi dikumpulkan di unit kerja, sekolah, atau komunitas. Dana disalurkan melalui rekening khusus di Bank BJB. Pengelolaan dilakukan secara transparan oleh penanggung jawab lokal.
Nantinya, dana akan digunakan untuk biaya sekolah, seragam, buku untuk pelajar kurang mampu. Pengobatan warga yang tidak memiliki BPJS atau akses medis. Program ini berakar pada nilai budaya Sunda:
Silih asah (saling mengingatkan)
Silih asih (saling mengasihi)
Silih asuh (saling membantu)
Beberapa warga menilai program ini membebani masyarakat yang sudah dikenai pajak. Ada juga yang mempertanyakan transparansi dan potensi unsur paksaan, terutama bagi pelajar dan ASN.
Sebagian mengaku pasrah. Sebagian mengaku mendukung. Namun, ada juga yang mengaku ragu.
Satu di antara warga asal Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Edi Kusnaedi (35) mengaku sangat mendukung program rereongan ini meski masih ragu dengan pelaksanaannya.
"Seribu rupiah itu kan kecil sekali. Tapi kalau dikumpulkan banyak orang, pasti hasilnya besar. Bisa bantu anak-anak sekolah atau orang sakit yang tidak mampu," ujar Edi kepada Tribun Jabar, Sabtu (4/10/2025).
Namun, program yang baik akan berakhir buruk jika pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang seharusnya.
"Apakah uangnya benar-benar sampai ke masyarakat atau tidak? Kita sering dengar bantuan tidak tepat sasaran. Jadi mekanismenya harus jelas, transparan, dan gampang diakses publik. Kalau itu bisa dibuktikan, pasti banyak orang yang mau ikut," katanya.
Berbeda dengan Edi, Enung (40) mengaku keberatan dengan program baru ini. Program seperti ini, ujarnya, rawan disalahgunakan.
"Terus terang saya kurang setuju. Seribu memang kecil, tapi kalau tiap hari dikumpulkan se-Jawa Barat kan jumlahnya besar sekali. Kalau tidak ada pengawasan ketat, ya rawan dikorupsi," ujar Enung, warga Kecamatan Soreang, ini.
Enung berharap Pemprov Jabar bisa mengkaji kembali kebijakan tersebut, terutama pada mekanisme pengawasannya.
"Buat saya, pemerintah harus buktikan dulu sistem pengawasannya benar-benar kuat. Kalau tidak, iuran ini hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat," ujarnya.
Berbeda dengan Edi dan Enung, warga Kecamatan Katapang, Wisnu (29), memilih pasrah. Menurutnya, selama uangnya sampai ke orang yang membutuhkan, ia tidak keberatan.
"Saya sih ngikut saja apa kata pemerintah. Seribu per hari tidak akan bikin miskin, malah bisa jadi amal kalau betul dipakai membantu orang susah," katanya. "Tapi kalau ujung-ujungnya ada kebocoran atau diselewengkan, ya rugi juga masyarakat. Jadi kuncinya pemerintah harus jaga amanah. Kalau benar-benar untuk kebaikan, saya siap ikut."
Pemerintah Provinsi Jawa Barat mestinya mengoptimalkan penggunaan sumberdaya yang sudah tersedia dari hasil pungutan pajak dan retribusi, ketimbang menciptakan pungutan baru.
Hal itu diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono terkait gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Dikatakan Kristian, jika ada pungutan tambahan di luar pajak, perlu diperhatikan segmen masyarakat mana yang akan dilibatkan.
Perlu pendataan yang mendetail agar dipastikan pungutan tambahan dari gerakan Poe Ibu ini tidak memberi beban yang berlebihan bagi masyarakat.
“Meskipun kami juga berpandangan semestinya solusi yang ditawarkan adalah inovasi program. Artinya, yang secara esensial perlu didorong adalah meningkatkan kemampuan pengelola sektor publik dalam berinovasi,” katanya.
Dari sisi upaya membangkitkan rasa kekeluargaan dan gotong-royong, Kristian sepakat bahwa gerakan ini memiliki niat baik.
Hanya saja, Pemerintah perlu menentukan kelompok sasaran yang berpartisipasi, sehingga hanya mereka yang mampu membayar dan tidak merasa terbebani.
“Hal ini tentunya penting untuk memastikan kesinambungan program ini ke depannya. Jangan sampai sudah diinisiasi sedemikian rupa dan memakan banyak sumberdaya tetapi pelaksanaannya malah berhenti di tengah jalan,” ucapnya.
Melihat potensi ekonominya yang sangat besar, Kristian menyarankan ada mekanisme pengawasan yang ketat agar tidak menjadi celah baru untuk korupsi.
“Artinya, harus dipersiapkan dengan matang tata kelola yang bersih dan akuntabel agar dapat dipertanggungjawabkan dengan baik,” katanya.
Namun, karena program ini sifatnya imbauan, maka tidak ada kewajiban bagi warga untuk ikut berpartisipasi.
“Masyarakat berhak memutuskan untuk menunda partisipasinya, sambil menunggu sejauh mana manfaat program memang mendatangkan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan,” ucapnya.
Gerakan Poe Ibu itu dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu). SK ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. SE ditandatangani secara elektronik oleh Gubernur Dedi Mulyadi, 1 Oktober 2025.
Selain ditujukan kepada bupati/wali kota se-Jawa Barat, SE juga ditujukan kepala perangkat daerah di lingkungan Pemda Provinsi Jabar, serta Kantor Wilayah Kementerian Agama Jabar. Dalam SE, Dedi menuliskan bahwa Poe Ibu merupakan sebuah gerakan partisipatif berbasis gotong royong yang mengusung nilai kearifan lokal silih asah, silih asih, silih asuh.
Gerakan ini, kata Dedi dalam SE, merupakan upaya untuk meningkatkan rasa kesetiakawanan sosial serta memperkuat pemenuhan hak dasar di bidang pendidikan dan kesehatan yang masih terkendala keterbatasan anggaran maupun akses.
Rereongan Poe Ibu ini juga menjadi wadah donasi publik resmi untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang sifatnya darurat dan mendesak dalam skala terbatas, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.
“Kami mengajak ASN, pelajar, dan masyarakat menyisihkan Rp 1.000 per hari. Kontribusi sederhana ini menjadi wujud solidaritas dan kesukarelawanan sosial, demi membantu kebutuhan darurat masyarakat,” begitu bunyi dalam SE itu.
Prinsip dasar pelaksanaannya adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Gerakan dilaksanakan di semua tingkatan, mulai di lingkungan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, instansi pemerintah maupun swasta, sekolah dasar hingga menengah, hingga di lingkungan masyarakat RT dan RW.
“Dana Rereongan Poe Ibu dikumpulkan melalui rekening khusus Bank BJB dengan format nama rekening Rereongan Poe Ibu – nama instansi/sekolah/unsur masyarakat,” masih dalam SE itu.
Pengumpulan, pengelolaan, penyaluran, pencatatan, dan pelaporan dana dilakukan oleh pengelola setempat yang bertanggung jawab penuh terhadap akuntabilitasnya. Dana yang terkumpul kemudian disalurkan untuk keperluan darurat di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Untuk memastikan transparansi, laporan penggunaan dana akan disampaikan kepada publik melalui aplikasi Sapawarga dan Portal Layanan Publik Pemda Provinsi Jawa Barat, serta dapat diumumkan melalui akun media sosial masing-masing dengan mencantumkan tagar resmi #RereonganPoeIbu #nama instansi/sekolah/unsur masyarakat. Monitoring pelaksanaan gerakan dilakukan sesuai lingkup masing-masing.
Di lingkungan perangkat daerah, pengawasan dilakukan oleh kepala perangkat daerah di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Di instansi pemerintah lainnya dan swasta, pengawasan berada di tangan pimpinan instansi. Di sekolah, pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah dengan koordinasi Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama.
“Sedangkan di lingkungan atau RT/RW, dilaksanakan oleh kepala desa/lurah, serta koordinasi keseluruhannya dilaksanakan oleh camat.”
Dedi dalam SE juga mengimbau bupati/wali kota serta kepala perangkat daerah untuk aktif mensosialisasikan dan memfasilitasi pelaksanaan gerakan ini kepada ASN, non-ASN, pelajar, pegawai instansi swasta, serta masyarakat luas.
“Gerakan ini harus berjalan baik agar benar-benar menjadi kekuatan solidaritas masyarakat Jawa Barat. Dengan rereongan, kita wujudkan Jawa Barat Istimewa,” masih kalimat di SE itu.
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id
Sumber: Tribun Jabar
Prakiraan Cuaca Jawa Barat Minggu, 5 Oktober 2025: Waspada Bogor Hujan Petir |
![]() |
---|
Menteri Mukhtarudin dan Gubernur Dedi Mulyadi Siapkan Strategi Baru bagi PMI Asal Jawa Barat |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Kota Bogor Hari Ini, 4 Oktober 2025, BMKG: Hujan Ringan pada Sore Ini |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Jawa Barat Sabtu, 4 Oktober 2025: Bandung Hujan Ringan, Bekasi Berawan |
![]() |
---|
Pengakuan Y, Perempuan Simpanan Pejabat Pemkab Majalengka, Awalnya Di-DM Langsung Ditransfer Uang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.