Dituding Curi Listrik, Buruh di Jombang Kena Denda Rp7 Juta, Praktisi Hukum Sebut PLN Langgar Aturan
Dituding curi listrik sejak 2017, buruh di Jombang dijatuhi denda Rp7 juta dengan dicicil. Praktisi hukum sebut PLN berpotensi melanggar aturan.
TRIBUNNEWS.COM - Seorang warga Kabupaten Jombang, Jawa Timur hanya bisa pasrah saat aliran listrik di rumahnya tiba-tiba terputus pada Agustus 2025.
Warga bernama Nur Hayati itu mengaku pemutusan aliran listrik ini dilakukan pihak Perusahaan Listrik Negara (PT PLN Persero) tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Bahkan, warga Dusun Kejombon, Desa Dapurkejambon, Kecamatan Jombang itu dijatuhi denda sebesar Rp6.944.015 lantaran diduga melakukan pelanggaran pemakaian listrik.
Tudingan itu muncul setelah petugas PLN tiba-tiba mendatangi rumah Nur Hayati.
Petugas kemudian melakukan pemeriksaan pada kWh meter dan menemukan adanya lubang kecil di bagian bawah penutup alat tersebut.
Temuan itu disebut sebagai pelanggaran kategori dua.
“Saya benar-benar tidak tahu ada lubang itu dari mana. Tiba-tiba listrik diputus begitu saja. Saya kaget dan bingung, padahal selama ini saya selalu bayar listrik rutin setiap bulan,” ucap Nur Hayati saat ditemui pewarta Tribun Jatim di rumahnya pada Kamis (9/10/2025).
Setelah listrik diputus, dia dimintai klarifikasi dengan datang ke PLN Jombang.
Di kantor yang berlokasi di Jalan KH Wahid Hasyim Nomor 73, Desa Kepanjen, Kecamatan/Kabupaten Jombang, Nur Hayati mendapat penjelasan, pelanggaran kategori dua itu dianggap sudah berlangsung lama, bahkan sejak tahun 2017.
Nur Hayati kemudian diharuskan membayar denda yang hampir mencapai Rp7 juta tersebut.
Padahal menurut pengakuannya, dia selalu membayar listrik sekira Rp150 ribu setiap bulan.
Baca juga: Petugas PLN Temukan Lubang di Bawah Meteran Listrik, Ibu Rumah Tangga di Jombang Didenda Rp6,9 Juta
“Katanya saya dianggap curang dari tahun 2017. Padahal tidak pernah ada masalah sebelumnya. Tiap bulan saya bayar sekitar Rp 150 ribu,” tuturnya.
Karena tidak mampu membayar sekaligus, Nur Hayati kemudian disarankan untuk memberikan uang muka sebesar Rp 2,2 juta.
Lalu sisa dendanya akan dicicil melalui tagihan bulanan.
Nur Hayati mengaku keberatan harus membayar denda tersebut sebab dia hanya ibu rumah tangga dan suami bekerja sebagai kuli bangunan.
Dia merasa keputusan dari pihak PLN ini tidak adil sehingga berharap dapat dipertimbangkan kembali.
“Saya hanya ibu rumah tangga, suami kuli bangunan kerja serabutan. Untuk makan saja kadang susah. Saya merasa ini tidak adil,” katanya.
Terkait pelanggaran yang dituduhkan pihak PLN, Nur Hayati menegaskan tidak pernah berniat melakukan tindakan curang.
Dia hanya ingin memperjuangkan keadilan lantaran langkah PLN yang tidak memberi penjelasan sebelum pemutusan listrik.
Sesuai prosedur
Terpisah, pihak PLN menjelaskan, tindakan pemutusan listrik rumah Nur Hayati ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Termasuk keputusan denda dari pelanggaran yang ditemukan.
Hal ini diungkapkan oleh Manager PT PLN (Persero) Dwi Wahyu Cahyo Utomo.
“Semua proses sudah mengikuti prosedur. Pelanggan juga telah menandatangani berita acara dan menyetujui skema pembayaran yang diajukan,” terang Dwi.
Ia menambahkan, keputusan tersebut juga merujuk pada hasil evaluasi dan arahan dari PLN UP3 Mojokerto, selaku kantor induk wilayah yang menangani keberatan pelanggan.
Praktisi hukum sebut PLN berpotensi melanggar
Polemika antara Nur Hayati dan PLN Jombang ini kemudian menarik perhatian praktisi hukum asal Jombang, Beny Hendro.
Beny menyebut, langkah PLN terhadap pelanggan itu berpotensi melanggar hukum pidana.
Menurutnya, setiap tuduhan yang bersifat pidana wajib disertai bukti kuat dan dilakukan sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
“Menuduh seseorang tanpa dasar pembuktian yang sah bisa termasuk pencemaran nama baik atau fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP,” ucap Beny saat diwawancarai, pada Jumat (10/10/2025).
Baca juga: Nur Hayati Kaget dan Menangis Listrik Rumah Diputus PLN, Diminta Bayar Denda Rp7 Juta
Ia menilai, tindakan PLN yang langsung memutus aliran listrik tanpa pemeriksaan bersama dan tanpa pemberitahuan lebih dahulu merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip due process of law.
Di mana prinsip due process of law itu mengharuskan proses hukum dilakukan secara adil, benar, dan sesuai dengan aturan yang berlaku, serta menjamin hak-hak dasar individu, seperti hak atas hidup, kebebasan, dan harta benda, tidak dirampas secara sewenang-wenang.
“Warga tidak diberi kesempatan untuk klarifikasi. Tiba-tiba listrik diputus, lalu muncul tagihan hampir Rp 7 juta. Itu tidak sejalan dengan asas keadilan,” tegasnya.
Lebih jauh, Beny menilai ada potensi pelanggaran pidana lain jika terbukti terjadi tekanan atau paksaan dalam proses pembayaran denda.
Ia menyebut, tindakan semacam itu dapat dikategorikan sebagai pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP.
“Kalau pelanggan merasa dipaksa membayar tanpa tahu kesalahannya, itu bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga bisa pidana,” ungkapnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Tanggapi Polemik Nur Hayati dan PLN, Praktisi Hukum Jombang Singgung Potensi Melanggar Hukum.
(Tribunnews.com/Isti Prasetya, TribunJatim.com/Anggit Puji Widodo)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.