Kamis, 20 November 2025

Griya Schizofren, Ruang Kolaborasi untuk Gerak Bersama Urai Stigma ODMK Lewat Karya dan Interaksi

13 tahun, komunitas sosial yang didirikan Triana Rahmawati, Griya Schizofren mendampingi orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Griya PMI Peduli.

|
Penulis: Sri Juliati
Editor: Suci BangunDS
ISTIMEWA
URAI STIGMA ODMK - Triana Rahmawati, pendiri komunitas sosial Griya Schizofren yang mendampingi orang dengan masalah kesehatan (ODMK) saat berinteraksi dengan ODMK dalam sebuah kegiatan di Griya PMI Peduli, Surakarta, beberapa waktu lalu. Komunitas ini didirikan sebagai ruang kolaborasi untuk gerak bersama mengurai stigma ODMK lewat karya. 

TRIBUNNEWS.COM - Di aula Griya PMI Surakarta, sebuah rumah singgah untuk orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) serta lansia terlantar, Hartono tampak asyik bermain warna saat jarum jam hendak menuju angka 3. 

Dengan sebuah kuas kecil yang digenggamnya mantap, ia menorehkan goresan-goresan di atas lembar A4 berukuran 21 x 29,7 sentimeter, yang berubah menjadi gambar sebuah kapal. Gambar yang didominasi warna hijau itu terlihat berlayar di tengah lautan dengan sekumpulan awan memayungi.

Selain Hartono, Valeria juga sibuk bermain dengan kuas dan cat air. Bedanya, ia menggambar bunga berwarna biru. Di tengah proses menggambar, Valeria mendekati seorang perempuan muda yang tampak mondar-mandir di dekat mereka.

"Buahnya kapan dibagikan?" tanyanya. Huda Aisyah Amrin, nama sosok tersebut menjawab, "Nanti, setelah semuanya selesai menggambar ya, Bu."

Mendengar jawaban itu, Valeria kembali ke posisi duduk dan menyelesaikan goresannya. Sementara di sampingnya, ada Kasanah, Ellen, dan Dhanur yang telah meletakkan kuas.

20 menit pun berlalu. Hartono dan kawan-kawannya sudah meninggalkan aula sembari menenteng pisang, kembali ke kamar atau melakukan aktivitas lain di rumah singgah itu.

lihat fotoART THERAPY - Warga Griya PMI yang sebagian besar adalah orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) setelah melakukan kegiatan menggambar didampingi relawan dari Griya Schizofren, Jumat (25/7/2025).
ART THERAPY - Warga Griya PMI yang sebagian besar adalah orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) setelah melakukan kegiatan menggambar didampingi relawan dari Griya Schizofren, Jumat (25/7/2025). (Tribunnews.com/Sri Juliati)

Sementara di aula, tersisa Huda bersama dua rekannya, Aisyah Prasetyawati dan Syahri yang tergabung dalam sebuah komunitas sosial bernama Griya Schizofren. Mereka mengitari lantai yang dipenuhi lembar-lembar kertas, menatap kagum satu per satu goresan warna hasil karya ODMK.

ODMK didefinisikan sebagai orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Contohnya adalah orang yang mengalami depresi. Ia masih bisa beraktivitas sehari-hari, tetapi ada penurunan kualitas hidupnya.

Bagi Huda yang merupakan relawan Griya Schizofren, gambar-gambar itu bukan sekadar coretan. Di balik setiap sapuan kuas, ia melihat sesuatu yang lebih jujur daripada kata-kata: curahan ekspresi, emosi, dan pesan-pesan kecil.

"Selama ini, ODMK dipandang sebagai sosok yang tidak perlu dihiraukan dan yang lebih parah sampai dijauhi. Padahal, mereka sama seperti kita. Mereka pun tetap bisa berkarya," ujarnya sembari menunjukkan sebuah gambar saat berbincang dengan Tribunnews.com, Jumat (25/7/2025) lalu.

Huda lantas berkisah, perkenalannya dengan komunitas Griya Schizofren telah terjalin sejak beberapa bulan belakangan. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Griya PMI, ia merasakan kehangatan dari para penghuninya.

Bahkan, dikatakan lulusan UIN Raden Mas Said Surakarta itu, warga Griya PMI kerap menunggu kegiatan para relawan. Termasuk kegiatan Art Therapy seperti menggambar serta pembagian buah yang dilakukan setiap seminggu sekali.

Hal tersebut mematahkan persepsi Huda yang semula takut dengan kondisi para ODMK. Kini, lewat interaksi yang dibangun bersama sejumlah relawan Griya Schizofren lainnya, Huda jadi lebih mengerti kehidupan para penghuni di Griya PMI yang juga membutuhkan uluran tangan dari orang lain. 

"Jadi paham dunia mereka, selalu menarik saat berkegiatan di sini," ucap Huda yang berasal dari Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Hal senada juga disampaikan Aisyah, rekan satu kampus Huda. Keterlibatannya sebagai relawan di Griya Schizofren adalah cara paling nyata untuk ikut mengurai stigma terhadap ODMK yang selama ini mengakar di masyarakat.

Menurut Aisyah, sebagian besar ketakutan terhadap ODMK muncul karena minimnya interaksi langsung. Setelah berinteraksi langsung, pandangannya berubah. Orang-orang yang selama ini diberi label sebagai 'menakutkan' justru memperlihatkan sisi manusiawi yang jarang terlihat dari jauh.

"Biasanya kalau di jalan kita memandang mereka kayak takut, menyerang, tapi pas pertama kali berinteraksi, mereka tidak seperti itu. Mereka juga senang bernyanyi, bercerita, sama seperti kita. Mereka butuh teman sebagai penguat," ungkap Aisyah.

Kalimat Pemicu Semangat

lihat fotoSOSOK TRIANA - Triana Rahmawati, sosok yang berada di balik Griya Schizofren, sebuah komunitas sosial asal Surakarta, Jawa Tengah yang peduli pada ODMK saat ditemui Tribunnews.com, beberapa waktu lalu.
SOSOK TRIANA - Triana Rahmawati, sosok yang berada di balik Griya Schizofren, sebuah komunitas sosial asal Surakarta, Jawa Tengah yang peduli pada ODMK saat ditemui Tribunnews.com, beberapa waktu lalu. (Tribunnews.com/Sri Juliati)

Pengalaman Huda dan Aisyah menunjukkan satu hal: kedekatan sering kali lebih ampuh daripada sekadar omong-omong. Melalui interaksi sederhana seperti mengobrol hingga mendampingi kegiatan, ternyata dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok ODMK.

Pemahaman itulah yang sejak lama diperjuangkan oleh Triana Rahmawati, sosok yang berada di balik Griya Schizofren. Komunitas sosial ini didirikan pada 10 Oktober 2012 bersama dua rekannya, Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari ketika masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Pemicunya adalah sebuah peristiwa ketika Triana berada di sebuah warung makan. Ketika tengah menunggu waktu berbuka puasa, terdengarlah suara azan yang ternyata dilantunkan oleh orang dengan masalah kejiwaan. 

Triana lantas bertanya kepada pemilik warung makan, apakah ia sudah boleh berbuka puasa? Namun jawaban yang diterimanya, sangat mengejutkan.

"Ibunya bilang, 'nggak boleh, Mbak, iku wong edan, ora usah digubris (tidak boleh, Mbak, itu orang gila, tidak perlu dihiraukan),'" kata Triana menirukan ucapan pemilik warung makan.

Jawaban pemilik warung itu terus membekas di ingatan. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dan mengusik nurani Triana. Ia harus berbuat sesuatu!

"Kalau saya nggak boleh menggubris, apa yang bisa dilakukan untuk mereka? Apa yang bisa saya berikan buat mereka? Mereka manusia, tapi kok nggak dimanusiakan? Mereka masyarakat, tapi kok tidak dianggap sebagai masyarakat?" ungkap Tria, panggilan akrabnya.

Ia ingin melawan stigma yang selama ini melekat pada ODMK, bahwa mereka adalah sosok menakutkan, pemarah, pemberontak, berbahaya, tak bisa diajak berinteraksi, bahkan aib yang harus disembunyikan. Tria ingin merangkul orang dengan masalah kejiwaan karena mereka setara seperti manusia lainnya.

Gagasan tersebut disampaikan Tria pada dua rekannya yang kemudian diwujudkan dengan mendirikan Griya Schizofren. Nama ini bukan sekadar label. 

"Griya" berarti rumah; "Sc-Social" menegaskan semangat komunitas; "Hi–Humanity" mengandung nilai kemanusiaan yang menjadi landasan gerak; dan "Fren–Friendly" mencerminkan prinsip persahabatan dengan ODMK. Secara utuh, Griya Schizofren dimaknai sebagai ruang bagi anak muda untuk menyalurkan kepedulian sosial dengan menjunjung kesetaraan bagi ODMK

Tria lantas berkeliling dari satu panti ke panti lainnya. Namun tak semua mau menerimanya. Langkah mereka pun terhenti di Griya PMI milik PMI Kota Surakarta. Griya yang berlokasi di Jl. Sumbing Raya, Mojosongo, Kecamatan Jebres itu, menampung ODMK yang hidup tanpa keluarga, terlantar di jalanan, atau terjaring razia.

Di Griya PMI, ODMK yang berjumlah 86 orang tak hanya mendapatkan tempat yang nyaman untuk tinggal dan makan tiga kali sehari. Kesehatan mereka baik fisik maupun mental juga dipantau secara rutin oleh tenaga kesehatan dan para pengurus.

Interaksi pertama Tria bersama kedua temannya di Griya PMI adalah bernyanyi. Ia tak menampik, ada sedikit rasa was-was yang dirasakan. Namun, semua itu sirna ketika melihat respons warga Griya PMI. Ia dan rekannya selalu disambut hangat oleh para penghuni. Tak pernah sekali pun ia dilukai atau dipukuli selama melakukan pendampingan.

"Yang ada mereka datang dan nanya kabar dengan sangat hangat, tulus. Kalau yang perempuan, dia suka meluk. Dia bilang, 'Mbak, aku kangen sama kamu, aku sayang sama kamu,'" ucap Tria menahan haru.

Perjalanan Griya Schizofren

Kegiatan orang dengan masalah kesehatan (ODMK) dengan para relawan Griya Schizofren di Griya PMI Peduli, Surakarta.
Kegiatan orang dengan masalah kesehatan (ODMK) dengan para relawan Griya Schizofren di Griya PMI Peduli, Surakarta. (Instagram/griya.schizofren)

Kehadiran Griya Schizofren di Griya PMI layaknya sebuah oase bagi orang dengan masalah kejiwaan. Tria meniupkan asa untuk memanusiakan ODMK lewat sejumlah kegiatan yang konsisten dilakukan sebagai bagian terapi dengan prinsip sosial. Misalnya mengaji, menggambar, mewarnai, mendongeng, merajut, olahraga, meronce, hingga kegiatan beauty class.

Bahkan di sejumlah kesempatan, para penghuni Griya PMI juga diajak 'hadir' di tengah masyarakat sekitar, bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari komunitas. Mereka diajak berkeliling di sekitar wilayah Griya PMI, jalan sehat bersama warga, dan ada pula yang diajak menonton acara mendongeng.

Mereka dibawa ke ruang-ruang publik untuk memperluas pengalaman sosial. Kegiatan ini bukan hanya terapi, tetapi juga membangun kedekatan emosional antara warga dan para penyintas. Semua kegiatan tersebut, lanjut Tria, memiliki satu muara yang sama: membentuk pola komunikasi dan membangun interaksi yang positif dengan atau antar ODMK

Dampaknya mulai terlihat. Ada penghuni Griya PMI yang diberdayakan untuk membuat sarang burung oleh warga sekitar. Mereka pun diberi kesempatan berkontribusi, bukan sekadar dirawat. "Warga jadi tahu bahwa mereka mampu," ujar Tria.

Ia juga menjelaskan, indikator keberhasilan Griya Schizofren bukanlah kesembuhan dari orang-orang yang mengalami masalah kejiwaan. Melainkan adanya penurunan stigma, interaksi sosial, peningkatan kepedulian terhadap ODMK, serta dukungan dari masyarakat.

"ODMK yang sembuh lalu pulang memang ada, tapi kami nggak bisa klaim itu karena Griya Schizofren, karena kami tidak mendampingi mereka selama 24/7. Kami hanya mendampingi lewat program-program yang sangat sederhana," tambahnya.

Dalam perjalanan Griya Schizofren, Tria mengaku sempat merasa ragu apakah kegiatan yang dijalaninya bersama ODMK, tidak bertentangan dengan ilmu psikologi atau kedokteran. Ia takut jika yang dilakoninya justru bertentangan ilmu medis lantaran belum memiliki cukup ilmu untuk hal tersebut.

"Saya kuliah ambil Sosiologi, sedangkan yang saya lakukan, erat kaitannya dengan psikologi atau kedokteran. Kira-kira program untuk membangun interaksi ODMK sudah bener belum, ya? Apalagi saat itu, Griya Schizofren belum memiliki link untuk ke psikologi dan kedokteran," ungkap wanita kelahiran Palembang, 15 Juli 1992 itu. 

Seiring berjalannya waktu, ketakutan yang dirasakan Tria mulai berkurang. Langkah kecilnya ternyata menggerakkan hati banyak orang, termasuk mahasiswa dari jurusan psikologi dan kedokteran untuk turut bergabung menjadi relawan.

Dari semula hanya tiga orang, per tahun 2025, Griya Schizofren telah memiliki 15 relawan yang aktif. Jumlah tersebut sebenarnya jauh lebih besar karena gerakan ini telah berjalan selama belasan tahun dengan relawan yang masuk-keluar.

Para relawan datang setiap seminggu sekali untuk menjadi teman ODMK, berinteraksi dengan mereka. Kegiatan ini, tak hanya bermanfaat bagi ODMK, tetapi juga para relawan itu sendiri. Dengan terjalinnya relasi antara keduanya, ada kesadaran yang terbangun di antara para relawan bahwa ODMK bukanlah sosok ditakuti, dipandang sebelah mata, atau bahkan dijauhi.

"Stigma seperti itu sebenarnya bisa dikurangi ketika kita ada interaksi, pertukaran informasi, dan punya hubungan yang baik dengan ODMK," tuturnya.

Seorang relawan Griya Schizofren, Syahri mengamini hal tersebut. Mahasiswa jurusan Sosiologi UNS itu merasa senang bisa berinteraksi dengan warga Griya PMI. Tempat yang awalnya asing, kini menjadi ruang interaksi untuk menyalurkan rasa kepeduliannya terhadap orang dengan masalah kejiwaan. 

"Saya ingin tahu bagaimana interaksi mereka dalam kegiatan ini. Rasanya malah pingin nangis saat melihat sisi lain dari kehidupan mereka," ucapnya lirih sambil menitikkan air mata. 

Lebih jauh, Syahri menuturkan, keterlibatannya dalam kegiatan Griya Schizofren memberi dampak positif, baik bagi dirinya maupun para ODMK. Menurutnya, penghuni Griya PMI dapat mengisi waktu dengan aktivitas yang lebih produktif, mulai dari art therapy, olahraga, hingga berinteraksi dengan warga lain.

Melalui art therapy, para penyintas bisa menyalurkan emosi, mengurangi stres, sekaligus menstimulasi proses pemulihan mental mereka. "Hasil kegiatannya banyak sekali. Aktivitas seperti ini benar-benar membantu mereka tetap produktif dan tidak jenuh menjalani hari," jelas Syahri.

Kegiatan Griya Schizofren ini pun menuai apresiasi dari Kepala Seksi di Pelayanan Sosial Griya PMI, Eny Wulandari. Bahkan Eni ingin agar kegiatan yang digelar Tria bersama relawan terus berkelanjutan.

"Kami sangat berterima kasih dengan adanya kegiatan dari Griya Schizofren karena membuat warga di sini punya kegiatan bervariasi dan mereka pun senang," ujar Eni.

Kepala Seksi Pelayanan Sosial Griya PMI, Eny Wulandari bersama dengan sejumlah warga Griya PMI, Jumat (5/7/2024).
Kepala Seksi Pelayanan Sosial Griya PMI, Eny Wulandari bersama dengan sejumlah warga Griya PMI, Jumat (5/7/2024). (TRIBUNNEWS/SRI JULIATI)

Raih Penghargaan SATU Indonesia Awards

Dengan segala usaha yang telah dilakoninya di Griya Schizofren, jatuh bangun agar bisa terus membersamai ODMK, Tria mengaku pernah di ambang keputusasaan. 

Ini terjadi pada tahun 2017. Saat itu, Tria yang sudah menikah merasa sangat lelah mengurus aktivitas sosialnya tersebut. Belum lagi, ia harus menghadapi para relawan yang tak konsisten hingga berjuang mencari pendanaan.

Sempat terlintas di pikiran Tria untuk menyudahi kegiatan Griya Schizofren yang dinilainya tidak memiliki dampak. Ia hanya ingin bekerja seperti orang kebanyakan, lalu pulang dan beristirahat, tanpa perlu memikirkan orang lain, selain dirinya sendiri dan keluarga.

"Ketika itu, saya merasa tidak cukup kompeten, kayak sudah berusaha mati-matian, tapi tetap nggak ada perubahan," aku Tria.

Segala kegundahan itu lantas disampaikan Tria pada sang suami, Siswandi. Mendengar curahan hati tersebut, Siswandi diam-diam mendaftarkan sang istri dalam apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2017.

SATU Indonesia Awards adalah ajang penghargaan dari PT Astra International Tbk untuk mengapresiasi anak muda yang berkontribusi di lima bidang: Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi.

Melalui form di situs SATU Indonesia Awards, Siswandi menuliskan sejumlah hal yang dialami dan dirasakan sang istri. Cerita Tria itu rupanya menarik perhatian juri hingga didatangi oleh tim dari SATU Indonesia Awards.

"Ketika didatangi tim dari SATU Indonesia Awards, saya cerita semua hal yang selama ini dirasakan, dijalani. Saya juga mengaku bahwa saat itu, saya sedang ingin menyerah. Saya jelasin semua kendala dari mulai relawan, biaya, waktu, dan itu yang bikin saya merasa nggak berkembang," urainya.

Setelah melalui sejumlah proses, siapa sangka, Tria justru menjadi penerima 8th SATU Indonesia Awards dari PT Astra Internasional Tbk bidang Kesehatan sebagai pendamping masalah kejiwaan. 

Apresiasi yang didapat dari Astra menjadi titik balik bagi Tria untuk semakin menebar manfaat bagi orang yang memiliki masalah kejiwaan melalui Griya Schizofren. Menurut Tria, tak ada lagi jalan mundur bagi dirinya dari kegiatan sosial ini.

"Nggak ada lagi jalan untuk berhenti, kenapa? karena kami sudah dipercaya oleh juri-juri skala nasional untuk terus melakukan kegiatan atau hal baik ini. Kalau mereka saja sudah percaya pada kita, kenapa kita tidak?" kata dia.

Dukungan dari sejumlah masyarakat untuk keberlangsungan Griya Schizofren dalam mendampingi ODMK juga menjadi alasan Tria. Bagi Tria, bisa melakukan sesuatu hal yang bersifat sosial dan tidak dibayar merupakan satu sumber kebahagiaannya.

"Saya melakukan ini secara sukarela, non profit, nggak dibayar, tapi saya malah seneng. Jadi saya merasa ada sesuatu hal yang lebih besar ketimbang hal-hal yang sifatnya material," ungkapnya.

Kolaborasi untuk Urai Stigma ODMK

lihat fotoHASIL KARYA - Hasil karya warga Griya PMI yang sebagian besar adalah orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) setelah melakukan kegiatan menggambar didampingi relawan dari Griya Schizofren, Jumat (25/7/2025).
HASIL KARYA - Hasil karya warga Griya PMI yang sebagian besar adalah orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) setelah melakukan kegiatan menggambar didampingi relawan dari Griya Schizofren, Jumat (25/7/2025). (TRIBUNNEWS/SRI JULIATI)

Di usia perjalanan yang memasuki tahun ke-13, Griya Schizofren tak hanya menjadi ruang aman bagi ODMK, tetapi juga ruang untuk merayakan kemampuan mereka. Griya Schizofren hadir untuk memberitahu bahwa ODMK juga punya kelebihan serta kemampuan yang orang tidak tahu.

Tria belakangan semakin fokus membangun keterampilan warga Griya PMI, salah satunya melalui kegiatan menggambar. Dari goresan sederhana, lahirlah karya-karya yang nantinya didesain ulang, tanpa mengubah esensi gambarnya, kemudian diwujudkan menjadi berbagai produk seperti pin, tote bag, tumbler, notebook, hingga jam dinding melalui platform Solvenesia. 

Hasil penjualannya dipakai untuk membeli buah atau memenuhi kebutuhan pribadi para warga. Bagi Tria, nilai terbesarnya bukan pada rupiah, melainkan pada pengakuan bahwa ODMK pun bisa berkarya. 

"Ternyata, orang-orang dengan masalah kejiwaan bisa punya karya. Dan pelan-pelan, karya itu bisa membantu kemandirian mereka," ujarnya tegas.

Selain penguatan skill, Tria juga membuka ruang kolaborasi riset dan pemberdayaan sosial bersama para akademisi. Tujuannya jelas, agar ODMK tak lagi sekadar menjadi obyek belas kasihan, tetapi memiliki tempat dalam pengetahuan dan pembahasan publik.

"Kalau dulu fokus kami mengajak partisipasi masyarakat untuk membantu di Griya PMI, kini kami ingin partisipasi itu lebih luas, bukan hanya tenaga, tetapi juga material," lanjutnya.

Langkah Tria tak berhenti di situ. Menyadari bahwa sebagian besar ODMK justru dirawat di rumah, ia tengah menyiapkan sebuah pilot project bagi para family caregiver-anggota keluarga, teman, atau kerabat yang selama ini memberi perawatan tanpa bekal pengetahuan memadai.

Pengalaman pribadi menjadi penguat langkah ini. Beberapa waktu lalu, seorang tetangga meminta bantuannya menangani seseorang dengan masalah kejiwaan di lingkungan mereka. Ironisnya, tak ada satu pun orang terdekat yang berani membantu.

"Padahal tetangga itu orang terdekat mereka, tapi nggak ada yang berani bantuin," kenangnya.

Dari situ Tria melihat celah besar: masyarakat membutuhkan keberanian, pengetahuan, dan pendampingan. Ia membayangkan lahirnya aktivis-aktivis kecil di setiap kampung, orang-orang yang punya kepedulian terhadap isu kesehatan jiwa dan mampu mendampingi ODMK dalam kehidupan sehari-hari.

Harapan itu sejalan dengan gagasannya tentang kesetaraan akses, sebab stigma sering kali lahir dari ketidaktahuan dan jarak sosial. "Sekarang yang kami dorong adalah masyarakatnya. Semangat kami adalah kesetaraan akses, agar orang-orang dengan masalah kejiwaan bisa hidup berdampingan, tanpa penghakiman," tegasnya.

Semua itu, kata Tria, hanya bisa berjalan melalui kolaborasi. Ia mengadopsi prinsip pentahelix: melibatkan masyarakat umum, akademisi, pemerintah, pihak swasta, hingga media. 

Menurut Tria, Astra menjadi salah satu mitra yang memberikan banyak kontribusi pada kegiatan Griya Schizofren, melalui program pemberdayaan berkelanjutan. Terbaru, Tria melalui Solvenesia tengah menjalin sebuah kolaborasi dengan Astra.

"Kolaborasi itu penting sekali. Kami tidak bisa bergerak sendiri. Akademisi butuh menjadikan ini pusat studi, masyarakat butuh diedukasi untuk mengurai stigma dan meningkatkan partisipasi, pemerintah butuh regulasi, dan sektor swasta seperti Astra bisa memberi dukungan keberlanjutan," pungkas Triana. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved