Wisata Kampung dan Desa Adat yang Lestari: Menjelajahi Harmoni Alam Indonesia
Jelajahi sisi alam Indonesia melalui tradisi dan kearifan lokal tiga desa adat yang masih menjaga harmoni dengan alam.
Penulis:
Fransisca Andeska
Editor:
Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Alam Indonesia tidak hanya memukau dengan lanskap pegunungan, pantai, dan hutan tropisnya, tetapi juga menyimpan kekayaan budaya yang tumbuh selaras dengan lingkungan.
Salah satu cara terbaik untuk menikmati harmoni antar manusia dan alam adalah dengan mengunjungi desa-desa adat yang masih lestari. Di tempat-tempat ini, kita bisa melihat bagaimana masyarakat lokal menjaga hutan, air, dan tanah melalui kearifan turun-temurun.
Konsep wisata berbasis adat bukan hanya soal melihat budaya tradisional, melainkan merasakan langsung gaya hidup yang menyatu dengan alam.
Melalui rumah-rumah kayu, ladang, sungai yang dijaga kesuciannya, hingga upacara adat yang berlangsung di tengah alam terbuka, desa-desa adat ini menjadi contoh nyata keberlanjutan yang tumbuh dari akar.
Berikut empat desa ada di Indonesia yang tidak hanya menawarkan keunikan budaya, tetapi juga menyuguhkan keindahan alam yang terjaga.
Desa Adat: Harmoni Budaya dan Alam yang Nyata
1. Desa Adat Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur
Di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Desa Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, menyuguhkan pesona alam Indonesia yang masih alami sekaligus kearifan budaya yang dijaga turun-temurun.
Dikenal sebagai “desa di atas awan”, tempat ini dikelilingi hutan lebat dan pegunungan, dan hanya bisa dicapai dengan trekking selama 2-3 jam dari desa terakhir, Denge.
Warga Wae Rebo yang berasal dari suku Manggarai yang tinggal di tujuh rumah adat berbentuk kerucut, Mbaru Niang, yang menjadi ikon desa.
Rumah-rumah ini melingkari sebuah batu pesat bernama compang, simbol hubungan masyarakat dengan leluhur dan alam. Warga hidup dari hasil kebun kopi serta menjaga hutan adat secara ketat agar tetap lestari.
Selain keindahan alam dan udara yang sejuk, Wae Rebo juga menawarkan pengalaman budaya yang otentik. Wisatawan dapat tinggal selama 1-2 hari, belajar kehidupan adat, menyaksikan upacara adat Penti sebagai bentuk syukur atas hasil panen, hingga permainan tradisional Rangku Alu yang melibatkan irama bambu dan kelincahan gerak.
Desa ini mendapat penghargaan tertinggi dari UNESCO Asia-Pacific Awards for Heritage Conservation pada 2012 atas upayanya melestarikan warisan budaya.
Uniknya, masyarakat Wae Rebo disebut memiliki garis keturunan dari suku Minangkabau, berawal dari tokoh bernama Empo Maro yang berlayar dari Sumatera dan menetap di wilayah ini.
Biaya tiket masuk ke Wae Rebo berkisar antara Rp25.000 hingga Rp50.000 per orang, tergantung musim kunjungan. Sementara untuk menginap dan makan bersama warga, wisatawan bisa menyiapkan biaya sekitar Rp350.000- - Rp400.000 per malam, yang juga digunakan untuk mendukung konservasi dan kesejahteraan warga.
Perjalanan menuju Wae Rebo memang menantang, tetapi akan terbayar tuntas dengan suasana damai, lanskap hutan tropis yang memesona, dan nilai-nilai hidup selaras dengan alam yang masih dijaga hingga kini.
2. Kampung Naga, Tasikmalaya

Kampung Naga di Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, menjadi salah satu contoh desa adat yang masih menjaga kearifan lokal dan menyatu harmonis dengan alam Indonesia.
Terletak di lembah subur yang diapit hutan dan Sungai Ciwulan, desa ini dihuni oleh masyarakat Sunda yang hidup selaras dengan tradisi leluhur.
Nama "Kampung Naga" berasal dari kata "nagawir" yang berarti lembah curam, bukan dari makhluk mitologi naga. Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus menuruni lebih dari 400 anak tangga yang dikelilingi rimbunnya pepohonan hijau, memberikan nuansa perjalanan alam yang menenangkan.
Warga Kampung Naga tinggal di rumah panggung berbahan bambu, kayu, dan beratap daun nipah atau ijuk. Arsitekturnya seragam dan tidak menggunakan tembok maupun cat, menunjukkan kesederhanaan dan nilai kesetaraan antar warga.
Mereka hidup tanpa listrik dan menolak modernisasi berlebihan demi menjaga kelestarian lingkungan, termasuk kawasan hutan larangan yang tidak boleh diganggu.
Selain menjalani kehidupan bertani dan menganyam, masyarakat Kampung Naga juga rutin menggelar upacara adat dan memegang teguh budaya Islam yang dibaurkan dengan kepercayaan lokal.
Kisah sejarah kampung ini sempat hilang akibat peristiwa pembakaran arsip saat serangan DI/TII pada 1960-an, membuat warga menyebutnya sebagai masa pareum obor atau padamnya penerangan sejarah.
Kini, Kampung Naga terbuka bagi wisatawan yang ingin belajar tentang tradisi dan ekowisata budaya. Tiket masuk dibanderol sekitar Rp10.000 per orang, dan wisatawan diimbau menghormati adat yang berlaku, seperti larangan memotret di area tertentu.
Baca juga: Rasi, Beras Singkong Menu Pokok Warga Adat Cireundeu Cimahi Jabar
3. Desa Kemiren, Banyuwangi

Terletak di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Desa Kemiren merupakan desa adat yang menjadi pusat kebudayaan suku Osing, satu-satunya suku asli Banyuwangi.
Tak hanya menawarkan pesona alam tropis yang subur, desa ini juga menjadi representasi harmoni antara adat istiadat dan ekowisata khas Indonesia.
Nama "Kemiren" berasal dari banyaknya pohon kemiri di daerah tersebut. Dengan luas wilayah lebih dari 170 hektar, Desa Kemiren masuk dalam wilayah Ijen Geopark dan berjarak tidak jauh dari kawasan Taman Nasional Meru Betiri.
Desa ini juga menjadi rumah bagi berbagai tradisi seperti Barong Ider Bumi, Tradisi Gedhogan, pertunjukan Gandrung, serta seni mocoan lontar Yusup.
Sebagai desa wisata berbasis adat, Kemiren telah mengembangkan berbagai paket edukatif, mulai dari menyaksikan rumah adat Osing, belajar menyeduh kopi tradisional, hingga mencicipi kuliner khas berbahan lokal seperti pecel pitik, tahu walik, dan uyah asem.
Pengunjung juga bisa menikmati suasana desa dengan menginap di homestay warga, yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 40 unit.
Menariknya, Desa Kemiren meraih juara 2 Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024 dalam kategori Kelembagaan dan SDM. Desa ini dinilai berhasil memberdayakan masyarakat, terutama perempuan, dalam pelestarian budaya dan pengembangan wisata berkelanjutan.
Wisatawan bisa mengunjungi Pasar Kampoeng Osing, mencicipi masakan tradisional di Pesantogan Kemangi, hingga menyaksikan seni dan budaya masyarakat Osing secara langsung. Desa ini juga telah tersertifikasi sebagai Desa Wisata Berkelanjutan oleh Kemenparekraf sejak 2021.
Harga tiket masuk ke Desa Wisata Kemiren saat ini berkisar Rp10.000-Rp15.000 per orang, tergantung paket wisata yang diambil, dan dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti kegiatan adat atau atraksi budaya yang sedang digelar.
Baca juga: Menggali Rasa Banyuwangi lewat 4 Kuliner dari Alam dan Tradisi Indonesia
Kearifan Adat yang Menjaga Alam
Di balik bentangan alam yang memukau di desa-desa adat, aturan tak tertulis yang diwariskan turun-temurun menjadi pelindung bagi hutan, sungai, gunung, hingga sumber mata air. Masyarakat adat meyakini bahwa alam bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dihormati.
Dari pantangan menebang pohon sembarangan, ada upacara syukur saat panen tiba, dan ada keyakinan bahwa mengambil dari alam harus sesuai kebutuhan, bukan keserakahan.
Nilai-nilai itu bukan sekadar simbol budaya, tetapi menjadi sistem pelestarian yang terbukti menjaga ekosistem tetap lestari.
Warga menjadi penjaga alami bumi, di mana mengawasi batas hutan, merawat mata air, menanam kembali pohon, dan hidup dengan ritme alam.
Wisatawan pun diharapkan turut menghormati nilai-nilai tersebut. Saat berkunjung ke desa adat, kenakan pakaian sopan, jaga sikap, dan jangan sembarangan mengambil foto, apalagi menyentuh benda sakral.
Dengarkan arahan warga lokal, ikuti tata cara yang berlaku, dan jangan membawa pulang apapun dari alam kecuali cerita dan pengalaman.
Dengan begitu, wisata berbasis adat tak hanya menjadi perjalanan mata, tetapi juga perjalanan jiwa untuk mendekatkan diri pada filosofi hidup yang penuh keselarasan.
Bersama Lokal Asri, Tribunnews, dan Tribun Network, mari rawat alam Indonesia dengan lebih bijak. Dengarkan suara masyarakat adat, hormati tradisi mereka, dan belajarlah dari cara hidup yang mengutamakan keseimbangan.
Karena menjaga bumi bukan tugas segelintir orang, tapi tanggung jawab kita semua—dimulai dari cara kita berkunjung, bertutur, dan bersikap.
Artikel ini merupakan bagian dari inisiatif Lokal Asri yang berfokus pada lokalisasi nilai-nilai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pelajari selengkapnya!
5 Etika Dasar Mendaki Gunung demi Menjaga Alam Indonesia |
![]() |
---|
Dari Tumpeng hingga Papeda, Inilah Kuliner Nusantara yang Lahir dari Alam Indonesia |
![]() |
---|
Aksi Bergerak Serentak Sukses Digelar di Kupang dan Malang |
![]() |
---|
Dari Lokal Asri untuk Alam Indonesia: Gerakan Kolektif dan Inisiatif Menjaga Keberlanjutan |
![]() |
---|
5 Gunung Berbalut Kisah Mistis di Balik Keindahan Alam Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.