Jumat, 10 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Kongres IV PDI Perjuangan

Kongres IV PDIP 2015 Dibonsai oleh Rakernas PDIP September 2014 di Semarang

Kongres IV PDIP kali ini sesungguhnya telah kehilangan rohnya sebagai "Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai"

Editor: Gusti Sawabi
TRIBUN BALI/RIZAL FANANY
Seorang pengendara melintas didepan spanduk yang bertuliskan tentang dukungan Walikota Surabaya Tri Rismaharini di Jalan Hang Tuah Sanur, Denpasar, Rabu (8/4/2015). Orang Nomor satu Surabaya ini digadang-gadang akan menjadi calon ketua Umum PDI Perjuangan dalam kongres IV PDI Perjuangan di Bali. TRIBUN BALI/RIZAL FANANY 

Oleh Petrus Selestinus

Kongres IV PDIP kali ini sesungguhnya telah kehilangan rohnya sebagai "Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai" karena agenda penting yaitu pemilihan Ketua Umum Partai telah dibonsai oleh forum Rakernas PDIP pada bulan September 2014 yang lalu di Semarang. Keputusan Rakernas PDIP yang secara hirarki berada pada dua tingkat dibawah Kongres Partai bisa mendaulat kewenangan Kongres sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik.

Karena itu harapan kader-kader dan masyarakat agar Kongres IV PDIP kali ini yang seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi sejumlah sukses dan kegagalan Megawati Soekarnoputri dalam memperjuangkan visi misi strategis Partai dan persoalan kebangsaan lainnya, tidak dapat terlaksana hanya karena faktor psichologis internal dan budaya mono loyalitas yang dikembangkan oleh DPP. PDIP telah berhasil membungkam kader-kader Partai untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka dan bertanggung jawab.

Secara umum sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada satupun kader dalam kongres PDIP yang punya nyali untuk mengangkat sejumlah kegagalan Megawati untuk dikoreksi, padahal mengungkap sejumlah kegagalan Megawati Soekarnoputri dalam forum Kongres kali ini sesungguhnya sebuah kebutuhan mendesak, mengingat 5 tahun ke depan merupakan masa berakhirnya Megawati Soekarnoputri memimpin PDIP karena faktor usia dan kebutuhan regerasi menghendaki demikian.

Publik sesungguhnya menaruh harapan agar Kongres PDIP kali ini mau mengagendakan sesie khusus untuk mengevaluasi kegagalan-kegagalan kepemimpinan Megawati, sekaligus untuk menentukan langkah strategis Partai dalam menghadapi tantangan 10 tahun ke depan ketika posisi Megawati diperkirakan sudah tidak lagi berada dalam struktur puncak sebagai Ketua Umum.

Kenyataan Kongres kali ini minus acara pemilihan Ketua Umum, karena memang sudah didaulat dalam acara Rakernas Partai di Semarang. Padahal agenda pemilihan Ketua Umum seharusnya dibuka agar kader-kader muda potensial mendapat kesempatan unyuk berkompetisi secara sehat, sekalipun peluang untuk memenangkan pemilihan sangat kecil. Oleh karena itu sangat sulit diharapkan PDIP pasca Megawati Soekarnoputri akan lahir/muncul kader yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang baik, kharismatik, dan memiliki kemampuan organisatoris sesuai dengan kebutuhan Partai ke depan.

Kini semua harapan untuk melahirkan sosok pengganti Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin masa depan sulit didapatkan. Begitu juga kesempatan untuk mengevaluasi kegagalan Megawati Soekarnoputri selama 15 tahun memimpin Partai pupus sudah, padahal kesempatan dan kemampuan Megawati menjadi Ketua Umum PDIP hanya pada Kongres kali ini saja, karena itu budaya mengevaluasi Kepemimpinan Megawati harus dijadikan sebagai bagian dari revolusi mental untuk mengikis gaya kepemimpinan Megawati yang feodal, yang selama ini selalu menutup pintu bagi kader-kader muda potensial dari Partai untuk ikut dalam kompetisi sebagai calon Ketua Umum pada setiap Kongres.

Jika sikap membuka diri terhadap kritik dari kader-kader, untuk mengoreksi hal-hal yang merupakan kegagalan Megawati selama memimpin PDIP tidak dimulai pada Kongres PDIP saat ini, maka sulit diharapkan PDIP pasca Megawati akan menjadi lebih baik, karena Kongres PDIP saat ini akan menjadi Kongres pertama yang mengantarkan Megawati untuk mengakhiri kepemimpinannya dalam 5 tahun mendatang.
Karena itu semua kader PDIP harus menjadikan Kongres kali ini sebagai momentum untuk menumbuhkan tradisi baru yaitu tradisi untuk saling membuka diri terhadap kritik dan koreksi terutama dari kader-kader terhadap Ketua Umumnya.

Jika tradisi baru untuk saling membuka diri terhadap kritik berhasil dibuka dan diterapkan, maka tradisi itu akan menjadi modal sosial bagi kader-kader PDIP dan bagi PDIP sendiri untuk mensukseskan program revolusi mental Presiden Jomowi-JK yang juga menjadi tanggung jawab PDIP terhadap publik.

Selama ini TPDI mencatat sejumlah kegagalan yang dialami PDIP dan kegagalan-kegagalan itu tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP dengan segala predikat lain yang melekat dalam dirinya. Kegagalan itu antara lain, sbb. :

1. Gagal meraih kemenangan ketika pemilihan Presiden oleh MPR pada tahun 1999, dimana PDIP ketika itu sebagai pemenang pemilu.

2. Gagal menyelamatkan Pulau Sipadan dan Ligitan sewaktu Megawati menjadi Ketua Umum Partai dan Presiden tahun 2001-2004.

3. Gagal memenangkan Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun 2004, saat itu Megawati menjabat sebagai Presiden RI menggantikan Gusdur.

4. Gagal memenangkan sengketa Pilpres tahun 2004 dimana Megawati sebagai Capres 2004 bertindak sebagai Penggugat di MK.

5. Gagal memenangkan Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun 2009.

6. Gagal memperjuangkan UU MD3 yang memberi peluang kepada Partai peraih suara dan kursi terbanyak di DPR menjadi Ketua DPR dan Ketua-Ketua Komisi di DPR.

7. Gagal memperjuangkan Undang-Undang Pemilukada dengan sistim pemilihan langsung pada akhir tahun 2014.

8. Gagal dalam memperjuangkan ka-kadernya dalam mengisi kursi Ketua DPR dan MPR 2014- 2019 sebagai akibat gagalnya PDIP memenangkan perkara uji materil UU MD3 tahun 2014 terhadap UUD'45.

9. Gagal menuntaskan kasus 27 Juli 1996, yang terkatung-katung penyidikan dan penuntutannya sejak tahun 1996 hingga saat ini.

9 (sembilan) kegagalan ini merupakan kegagalan Megawati Soekarnoputri/"Nawa Gagal" Megawati sejak menjadi Ketua Umum PDIP tahun 1999 sampai sekarang, ketika menghadapi issue-issue nasional yang strategis tentang kebangsaan, kenegaraan dan NKRI.

Karena itu NAWA CITA yang menjadi visi misi Presiden Jokowi-JK, visi miisi KIH dalam perjuangannya akan berhadapan dengan 9 kegagalan Megawati Soekarnoputri atau NAWA GAGAL MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, yang selama ini tidak pernah dievaluasi dalam setiap Kongres PDIP termasuk Kongres PDIP kali ini.

Padahal idealnya, Kongres PDIP kali ini bukan saja harus mampu menumbuhkan sikap berani dari kader-kader Partai untuk mengevaluasi Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, akan tetapi juga Megawati Soekarnoputri harus membuka diri terhadap kritik dari kader-kader termasuk memberi kesempatan kepada kader-kader muda potensial seperti; Pramono Anung, Ganjar Pranowo, Teras Narang, Eva Kusuma Sundari dll. untuk mengambil bagian dalam pertarungan menuju kursi Ketua Umum PDIP sebagai langkah awal membangun demokrasi yang sehat, tidak loe lagi-loe lagi atau Mega-Mega yes, tetapi demokrasi dua arah secara timbal balik. (Petrus Selestinus, Koordinator TPDI).

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved