Rabu, 3 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Memahami Puncak maqāmāt Sufi: Ittihad, Hulul, Wahdat Al-Wujud, Wushul dan Insan Al-Kamil

Bagi kaum Sufi itu dapat terjadi dengan melalui beberapa jalan yang panjang dan berliku, yang cukup melelahkan

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon. 

3. Wahdat al-Wujud

Wahdat al-Wujud adalah kesatuan wujud, paham ini dibawa oleh lbnu Arabi, nama lengkapnya Abu Bakn Muhammad ibnu li ibn Ahmad ibn Abdullah al-Thai al-Hatimi, lahir di Muncia Andalusia Tenggara, tahun 560 H. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek.

Aspek luar merupakan ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain, dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.

Dalam teorinya tentang wujud, lbnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi, yaitu Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Ibnu Arabi menafsirkan wujud segala yang ada sebagai teofani abadi yang tetap berlangsung dan tertampaknya yang Maha Besar di setiap saat dalam bentuk-bentuk yang terhitung bilangannya. (lbnu Arabi, Fushush al-Hikam, pendahuluan. Dalam Abu al-Wafa at-Ghanimi 2003, hal. 202)

4. Wushul

Wushul secara bahasa adalah telah sampai. Maksudnya adalah dalam perjalanan yang panjang seseorang sampai pada tujuan terakhirnya, yaitu Allah. Pengusung terma wusuhul ini adalah Imam Hujjatul Islam al-Ghazali, sebagaimana yang tertuang dalam karyanya Misykat al-Anwar. Al-Ghazâlî lahir pada tahun 450 H./1058 M. di Thus, salah satu kota di Khurasan.

Menurutnya, dengan dzauqnya (seganap jiwanya) seorang bisa sampai kepada Allah, dan pengalaman-pengalaman itulah yang membuat seorang hamba bisa menyatu dengan Allah, tetapi penyatuan ini bukan dua dzat yang berbeda menjadi satu dzat, melainkan penyatuan secara maknawi akan perjumpaan (Al-Ghazali, Misykat Al-Anwar, 291-292).

Bagi al-Ghazali pengalaman penyatuan itu bersifat majazi. Karena manusia memang dirancang oleh Allah secara sempurna, baik secara shurah (bentuk), maupun an-nafs-nya (sifat). Setelah memperhatikan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang, al-Ghazâlî, merasa perlu mengagaris bawahi, bahwa ilmu itu tergolong pada dua hal, yaitu al-hissiyat (yang diperoleh melalui indera maupun imajinasi) dan al-dharuriyyat (yang sifatnya priori, logika dan aksiomatis). (Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, hal. 7).

5. Insan al-Kamil

Konsespi insan al-Kamil (manusia paripurna) dikenalkan oleh Abdul Karim Al-Jilli. Menurut Al-Jilli, pengertian insan al-Kamil adalah Ruh Nabi Muhammad yang terkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad Saw, para wali dan orang-orang shalih terpilih, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas namaNya dan refleksi dari gambaran dari asma-asma dan sifat-sifatNya. (Abdul Karim Al-Jilli, Insan Al-Kamil, jilid II, hal. 58, 74, 78)

Tauhid sebagai konsep pokok tasawuf dipahami sebagai pemusnahan dari ketidaktahuan akan identitas manusia yang hakiki dan tak tergoyahkan dengan satu-satunya yang nyata, bukan lagi kesatuan kehendak, akan tetapi pengungkapan selubung-selubung ketidaktahuan. (Abdul Karim Al-Jilli, Insan Al-Kamil, jilid II, hal. 78)

Ajaran tentang Insan al-Kamil al-Jilli tak bisa dilepaskan dari ittihad al-Bustami, hulul diri al-Hallaj dan Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi, dimana pengalaman penyatuan manusia, mengandung penyatuan ruh manusia dan ruh Tuhan akan bertajalli karena keduanya sama-sama sempurna. Proses tajali tesebut melalui tiga tahapan tanazul (turunan); huwawiyah, ahadiyah dan inaniyah.(Al-Jilli, Syahr Musykilat Futuhat, hal. 8)

Meski Al-Jilli mengaku mendapat inspirasi dari al-Bustami, al-Hallaj dan Ibnu Arabi, menurutnya ada perbedaan antara ittihad al-Bustami dengan hulul al-Hallaj, yaitu dalam hulul diri al-Hallaj tidak melebur atau hilang, sementara dalam ittihad diri Abu
Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan.

Jadi dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh. Dalam teorinya tentang wujud, Ibnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi, yaitu Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Filosofi dari ketiga konsep di atas (ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud) adalah bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar dirii-Nya. Sehingga dijadikan-Nya alam ini yang merupakan cermin bagi Allah dikala ingin melihat diri-Nya.

Titik-Temu

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan