Tribunners / Citizen Journalism
Perspektif Baru Memahami Konstruksi Sejarah, Asas, Ciri, dan Doktrin Partai Golkar
Terlalu kecil jika Partai Golkar dinarasikan hanya di awal-awal Orde Baru dan mempertentangkannya dengan era sebelum Orde Baru.
Editor:
Willem Jonata
Hal ini bertumpu pada konsepsi Revolusi Fungsionil yang digagas Soekarno dan dijabarkan Mohamad Yamin pada Seminar Pancasila 16-20 Februari 1959 di Yogyakarta. Adapun Pancasila sebagai asas dimaksud, adalah: tidak terlepas dari kelahiran Pancasila sebagai sebuah “konsepsi materiil” dan “konsepsi formeel”, ialah; Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea 4 dalam Sidang Pleno I PPKI 18 Agustus 1945, yang “berangkai berturut-turut" bila ditarik ke belakang ialah: Proklamasi 17 Agustus 1945; Sidang Pleno Ke 2 BPUPK 10-17 Juli 1945; Panitia Sembilan dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan; Sidang Pleno Pertama BPUPK 29 Mei-1 Juni 1945 Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu sebagai “konsepsi materiil” dimana Soekarno
sebagai Penggali Pancasila; Ketua Panitia Sembilan; Yang Melaporkan Hasil Kerja Panitia
Sembilan ke Sidang Pleno Ke II BPUPK 10-17 Juli 1945; Ketua Tim Perancang UUD; Proklamator RI bersama Moh Hatta, Ketua PPKI (Wakil Ketua PPKI Moh Hatta) dan; Soekarno menjadi Presiden Pertama RI dan Moh Hatta Wakil Presiden Pertama RI, yang dipilih secara Aklamasi oleh PPKI sebagai badan pendiri negara (A.B Koesoema: 2013) Pidato Sukarno 1 Juni 1945 tentang Pancasila adalah puncak maha-karya intelektual dan ideologis Soekarno Tahap I sepanjang 1926-1945 (DBR; Jilid I, 1963).
“Konsepsi- materiil” Pancasila itu disampaikan Soekarno, yang intisaripokoknya adalah: Gotong-Royong merupakan sumber “konsepsi materiil” dari Asas, CiriKhusus dan Doktrin Sekber Golkar sebagai bagian dari Revolusi Fungsionil yang digagas Sukarno dan dijabarkan oleh Moh Yamin, Roeslan Abdulgani, J.K. Tumakaka, Brigjen Djuhartono, Imam Pratignyo dan lain-lainnya antara lain dalam Seminar Pancasila 10-17 Februari 1959 di Yogyakarta.
Dalam konteks itu secara konstitusional, keberadaan gololongan-golongan fungsional, terlahir dari “rahim” UUD negara RI, ialah UUD 1945 asli. Pancasila suatu hogger op trakking setingkat lebih tinggi daripada idologi-ideologi lain di dunia ini (Soekarno: 1960).
Dalam Dewan Nasional RI, yang didirikan Presiden Sukarno 1952 untuk mengimbangi Kabinet RI yang berorientasi pada “politik-dagang sapi” era demokrasi liberal, “diakomodasi-lah” kelompok golongan fungsional yang tersinggkir, karena berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950 serta tidak berlakunya lagi UUD 1945 pada tanggal 27 Desember 1949, dimana unsur golongan-golongan itu, tersingkir.
Dalam Dewan itu, ditetapkan kriteria dan pengelompokan golongan fungsional yang merupakan “cikal-bakal” Sekber Golkar. Pada 21 Februari 1957 Pukul 20.05 melalui RRI, Presiden Sukarno mengumumkan “Konsepsi Presiden” yang mengkritik habis sistem
demokrasi liberal dan membangun konsep baru untuk Indonesia berkepribadian dengan
semangat Gotong Royong.
Salah satu implemnetasi dari Konsepsi Presiden tersebut di bidang politik, adalah konsolidasi golongan-golongan fungsional mulai 1952 hingga menjadi Sekber Golkar 20 Oktober 1964 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan RI meninggalkan UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945, pembentukan DPRGR/MPRS dan DPAS, yang diisi golongan-golongan fungsional, pada 20 Oktober 1964 didekalerasikan menjadi Sekber Golkar.
Kemudian di dalam Feith (1995) dikonstrukan sistem Demokrasi Terpimpin dimana keberadaan golongan fungsional itu, dimasukkan secara resmi ke dalam DPRGR dan MPRS berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, khususnya pasca dibubarkannya Maysumi dengan Keppres No. 200 tahun 1960 dan PSI dengan Keppres No. 201 tahun 1960 sebagai pelaksanaan Penpres No. 7 tahun 1959 tentang Syarat-Syarat Penyederhanaan Kepartaian.
Konstruksi sistem Demokrasi Terpimpin terdiri atas badan-badan eksekutif dan pertimbangan; badan-badan perwakilan/permusyawaratan dan; organisasi massa (Feith: 1995). Sejak itulah golongan fungsional di dalam level masyarakat-pun terus dikonsolidasikan sejalan dengan pengkonsolidasian-nya dalam struktur-negara hingga pada level masyarakat lahir Kosgoro, MKGR, Soksi, Gakari dan lainlainnya, yang dideklarasikan 20 Oktober 1964 sebagai Sekber Golkar.
Deklarasi itu oleh beberapa Deklarator Utama selain Deklarator lainnya, yaitu: JK Tumakaka, Brigjen Djuhartono dan Drs. Imam Pratignyo. Sekber Golkar menjadi Anggota Front Nasional yang didirikan lebih dulu dengan Perpres No. 13 tahun 1959 tentang Front Nasional pada 31 Desember 1959.
Ketua Umum Front Nasional adalah Pemimpin Besar Revolusi Indonesia (PBR)/Presiden
Soekarno dan Sekjen Front Nasional, adalah JK Tumakaka merangkap Menteri Negara RI.
Sedangkan Ketua Umum Sekber Golkar yang Pertama adalah Brigjen Djuhartono (seorang
perwira tinggi Soekarnois dan Ketua Tim Penyususn Buku “Wejangan-Wejangan Revolusi” Bung Karno) menjadi Wasekjen I Front Nasional dan Wakil Ketua Umum Pertama Sekber Golkar Drs. Imam Pratignyo sebagai Wasekjen 2 Front Nasional. PBR/ Presiden Soekarno menjadi Ketua Dewan Pembina Pertama Sekber Golkar 1964-1968. Mayjen Suharto menjadi Anggota Dewan Pembina di urutan terakhir. PBR/Presiden RI/Ketua Dewan Pembina Sekber Golkar telah memerintahkan Letjen A Yani mengadakan dan mengurus pelaksanaan Apel Raksasa Sekber Golkar/golongan fungsional, yang harus terselenggara 20 Oktober 1965, “satu tahun sesudah” Deklarasi Sekber Golkar. Apel Raksasa itu tidak terjadi, lantaran Peristiwa G-30S PKI 1965 (JK Tumakaka; 293-295) dan Letjen A Yani yang ditugasi Presiden Soekarno mengurus persiapan Apel Raksasa itu, gugur dalam Tragedi Nasional 1965.
Sesudah Letjen Soeharto memegang Surat Perintah 11 Maret 1966 dan berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XLIX/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966 sebagai Presiden RI, yang dimana Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 itu,
adalah Surat Perintah Presiden Panglima Tertinggi ABRI/ PBR/ Mandataris MPRS, maka
Presiden Suharto memerlukan basis politik sipil penopang kekuasaannya. Saat itu Presiden
Suharto menolak usulan Mohamad Hatta Wapres Pertama RI tentang pendirian Partai
Demokrasi Islam Indonesia (PDII) dengan alasan bertentangangan dengan penyederhanaan
Kepartaian (Hatta: 1978; h. 177-180).
Namun Presiden Suharto, melakukan langkah bertentangan dengan alasan itu, dengan mengeluarkan Keppres RI No. 70 tahun 1968 tentang Pendirian Partai Muslimin Indonesia, yang dianggap Presiden Suharto sebagai upaya mengakomodir aspirasi kelompok Masyumi yang telah dibubarkan tahun 1960 pasca Pemberotakan PRRI/ Permesta.
Meski demikian, kelompok Masyumi “garis keras” menolak dan tidak mengakui
Parmusi sebagai wadah baru mereka.
Parmusi tetap berjalan dipimpin Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dan dikemudian hari oleh Mintareja, S.H dan Jaelani Naro, S.H hingga terjadinya fusi dalam PPP tanggal 5 Januari 1973 sebagai Kelompok Spiritual-Material (NU, Parmusi, PSII dan Perti) dan fusi Kelompok Material-Spiritual pada 10 Januari 1973 menjadi PDI (PNI, Partai Katholik, Parkindo, Murba dan IPKI) yang diteruskan sesudah Reformasi 1998 menjadi PDI Perjuangan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bahlil Lahadalia Pilih Bungkam soal Bebas Bersyarat Setya Novanto, Fokus ke HUT RI |
![]() |
---|
Golkar: RAPBN 2026 Bukti Komitmen Prabowo Turunkan Kemiskinan dan Pengangguran |
![]() |
---|
Gelar Rangkaian HUT ke-80 RI, Golkar Tekankan Semangat Soliditas dan Kekaryaan |
![]() |
---|
DPR Dukung Hilirisasi dan Pemberantasan Tambang Ilegal, Cek Endra: Sesuai Visi Prabowo |
![]() |
---|
Silfester Matutina Belum Dieksekusi oleh Kejaksaan, Kubu Roy Suryo Duga Ada Intervensi Politik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.