Tribunners / Citizen Journalism
Membongkar Epistemicide dalam Sistem Hukum Nasional
Di Indonesia, epistemicide dilembagakan, dijustifikasi, dilanggengkan oleh sistem hukum nasional yang berdiri di atas fondasi hukum kolonial.
Dalam sistem modern, tanah adalah objek ekonomi, kepemilikannya harus disertai bukti formil, bukan sekadar klaim suatu warisan spiritual.
Di pengadilan juga kesaksian lisan tanpa disertai bukti formil tidaklah dipertimbangkan.
Kesaksian kultural atau kesaksian lisan berdasarkan penjelasan secara turun-temurun yang sering dilakukan oleh masyarakat adat akhirnya tidak memiliki poin apapun.
Kesaksian itu harus kalah oleh secarik kertas kepemilikan tanah dari lembaga otoritatif.
Pada momen yang lain yakni ketika masyarakat adat menegakkan hukum sendiri seperti melarang budaya modern, melarang tambang masuk dan membatasi wilayah mereka dengan ritual leluhur, mereka malah dituduh sedang melakukan tindakan melawan hukum negara.
Atau dalam momen tertentu seseorang dianggap melakukan persekusi. Padahal sejatinya ia sedang menjalankan sanksi adat yang dianggap wajar oleh masyarakatnya.
Seorang tokoh adat pun dapat dikatakan melakukan tindakan kriminal karena melakukan upaya eksekusi lokal dengan menyita barang milik orang lain dalam kasus sengketa adat.
Semua itu terjadi karena tindakan yang dilakukan oleh mereka itu bertentangan dengan hukum tertulis tanpa terlebih dahulu melihat maksud dan tujuan dari sudut pandang masyarakat hukum adat.
Di sinilah apa yang dikatakan oleh Sousa Santos sebagai epistemicide menemukan wujud konkretnya. Di mana pengetahuan lokal justru dianggap sebagai pelanggaran hukum bukan sebagai sumber keadilan.
Netralitas Hukum Menurut Brian Tamanaha
Menurut Brian Tamanaha sesungguhnya hukum tidaklah netral.
Hukum selalu muncul dan berdiri di tengah tarik-menarik kekuasaan dan kepentingan. Situasi itu lantas memakan korban.
Dalam banyak kasus tentu yang dikorbankan adalah mereka yang tidak memiliki suara di pusat seperti masyarakat adat, komunitas lokal, dan pemilik pengetahuan tradisional.
Secara dokumen memang negara ini telah banyak membuat undang-undang untuk mengakui masyarakat hukum adat.
Akan tetapi dalam praktiknya upaya untuk memberikan pengakuan itu amatlah kompleks, bersyarat, rumit, dan penuh birokrasi.
Seolah-olah, dalam bahasa kekuasaan, negara hanya akan mengakui adat jika adat itu sudah terlebih dahulu tunduk pada sistem hukum negara.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Meski Tak Lagi di DPR, Rahayu Saraswati Dinilai Jadi Teladan Politik Generasi Muda |
![]() |
---|
Jadwal Perempat Final China Masters 2025: Aroma Balas Dendam Fajar/Fikri dari Utusan Malaysia |
![]() |
---|
Garuda Gabung TIACA, Indonesia Kini Punya Suara di Forum Kargo Udara Global |
![]() |
---|
Klasemen Futsal Four Nations Cup 2025 - Indonesia Pertama Berkat Pesta, Belanda Susah Payah 3 Poin |
![]() |
---|
Toyota Luluskan 70 Mahasiswa AKTI, Siapkan SDM Unggul Hadapi Era Elektrifikasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.