Jumat, 31 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Komodifikasi Bahasa Daerah dalam Logika Pasar Linguistis

Bahasa daerah jadi komoditas digital: eksotik, emosional, dan strategis dalam pasar linguistik postmodern.

Editor: Glery Lazuardi
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
PERPUSTAKAAN - Bahasa daerah menjelma strategi dagang: dari akar tradisi menuju papan reklame digital yang eksotik dan emosional. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN 

Angga T Sanjaya 

Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD

Aktif dalam berbagai komunitas intelektual

Tempat Lahir/Domisili 

Lahir di Wonosari Gunungkidul/Daerah Istimewa Yogyakarta

Riwayat Pendidikan

Lulusan S1 Sastra Indonesia dari Universitas Ahmad Dahlan (Tahun Lulus 2013)

Lulusan S2 Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Yogyakarta (Tahun Lulus 2020)

TRIBUNNEWS.COM - Jika modernitas memperlakukan tradisi secara ambivalen dan kontradiktif: di satu pihak dimaknai sebagai entitas yang kuno dan ketinggalam zaman; sedangkan di lain hal, diposisikan sebagai suatu mekanisme kekuatan emansipatoris. Maka, posmodernisme mencoba keluar dari binerisme tersebut. 

Penetrasi arus tersebut dalam anasir Faruk melalui Beyond Imagination (2001:15) menjadikan postmodern justru memberikan ruang yang cukup bagi tradisi yang sebelumnya ditepikan; tradisi bukan saja dirangkul, namun selebihnya, ia diutamakan sebagai ritus persentuhan dan siasat bertahan hidup menghadapi modernitas dan globalisasi.

Logika ini juga bekerja terhadap bahasa daerah. Bahasa daerah dan segala simbolisasi, sebagai salah satu produk dari tradisi, cenderung mengatasi situasi biner yang serupa. Jika dulu bahasa daerah dianggap kampungan dan tak elitis, maka hari ini dalam logika pasar linguistik, kita mendapati suatu ritus yang baru: bahasa daerah dikemas dan dijual ulang dalam suatu jargon-jargon dagang.  Akhirnya, bahasa daerah kembali menyatu dalam ruang publik, ia menjelma iklan, musik Jawa, humor, hingga meme romantis yang semuanya bergerak dalam mekanisme algoritma digital.

Meski demikian, kita seperti berdiri dalam suatu persimpangan. Bisa saja kita bangga melihat bahasa daerah seperti kapal-kapal yang mengapung di lautan digital. Sebaliknya, realitas ini juga menyimpan ironi yang mendalam.  Bahasa daerah dapat muncul ke permukaan sebagai bagian dari sistem penanda yang unik, eksotik, dan kultural. Di tangan pasar, ia digenggam sebagai mini narasi slogan pariwisata, merek pakaian, hingga nama-nama kafe yang mencoba menyerap dan menyatukan identitas modern dan tradisional. 

Meramunya sebagai mekanisme dagang yang elegan namun sekaligus memiliki aroma lokal. Hal ini tentu saja akan menjadi paket lengkap bagi jerat konsumsi masyarakat kapital.

Padahal, situasinya sungguh berjalan begitu dilematis. Ingat bahwa masyarakat kita bukanlah kelompok komunal yang homogen. Mereka yang masih basah dalam arus modernitas dipaksa oleh kemajuan untuk segera mentas memasuki kolam logika budaya postmodern dan kapitalisme akhir.

Inilah pintu masuk menuju asosiasi ironi tersebut. Para pemakai bahasa tidak seluruhnya menjadi subjek yang telah kering dari asetisisme modernisme. Perasaan minder dan menepikan bahasa daerah masih sering muncul dalam komunikasi sehari-hari. Hal ini menemukan korespondensinya ketika kita melihat dalam komentar dan unggahan media sosial; bahasa daerah berada di baris paling akhir dari elitisme bahasa Inggris dan ekspansi bentuk baru register digital.

Dari Warisan ke Barang Dagangan

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved