Jumat, 7 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Antara Stabilitas Koersif dan Supremasi Sipil, Pertahanan Rakyat sebagai Titik Temu

Negara di persimpangan: stabilitas koersif atau keadilan sipil? Pertahanan rakyat jadi arah baru kekuatan berbasis kesadaran.

Editor: Glery Lazuardi
istimewa
ARVINDO NOVIAR- Di tengah tarik-menarik dua logika kekuasaan, Presiden berdiri di persimpangan antara ketertiban koersif dan keadilan sipil. 

Arvindo Noviar

  • Tokoh Politik dan Organisator Muda Indonesia
  • Ketua Umum Partai Rakyat sejak 2020
  • Ketua Umum Relawan PRABU (Prabowo Budiman Bersatu) 

Relawan PRABU adalah gerakan persatuan nasional yang kemudian dilembagakan sebagai organ taktis pemilihan presiden. 

Aktivitasnya banyak beririsan antara politik kerakyatan dan gerakan relawan yang menegaskan nasionalisme sipil serta Pancasila sebagai fondasi ideologis perjuangan. 

Di media sosial, aktif mengartikulasikan gagasan tentang kemandirian rakyat, politik kebangsaan, dan solidaritas lintas kelompok

TRIBUNNEWS.COM - Di sekitar Presiden, kini berlangsung tarik-menarik dua watak kekuasaan: yang satu ingin menegakkan ketertiban secepat mungkin, yang lain menginginkan pemerintahan yang tumbuh dari partisipasi rakyat. 

Di satu sisi, terbentang logika ketertiban yang menjanjikan keteraturan melalui disiplin dan kepatuhan. 

Di arah lain, terbentang logika keadilan yang menuntut partisipasi, transparansi, dan supremasi hukum.

Persimpangan ini memperlihatkan perbedaan pandangan tentang hakikat kekuasaan dan manusia di dalamnya: apakah rakyat dilihat sebagai kekuatan negara atau sekadar objek yang harus dijaga ketat. 

Dalam wacana hari-hari ini, istilah stabilitas sering dikumandangkan seolah menjadi kunci tunggal bagi kemajuan.

Stabilitas ditempatkan di atas segalanya, bahkan di atas keadilan sosial itu sendiri.

Padahal di dalam kata stabilitas tersembunyi beberapa paradoks: ia menenangkan sekaligus mengendalikan, ia menjanjikan keteraturan namun sering menunda koreksi.

Dan bila stabilitas dijadikan tujuan, maka rakyat akan diarahkan untuk diam. 

Paradigma koersif sering lahir dari ketakutan terhadap perbedaan. Ia percaya bahwa negara akan kuat bila suara tunggal bisa ditegakkan agar kebijakan dapat dijalankan tanpa banyak perdebatan.

Dalam sistem seperti ini, ketaatan selalu menjadi ukuran moral, dan loyalitas dianggap lebih penting daripada nalar.

Kekuasaan dipelihara dengan menjaga keseragaman, bukan dengan membuka ruang koreksi. Rakyat tidak dilibatkan dalam keputusan, lalu dijaga agar tidak terlalu banyak bertanya.

Namun di sisi lain terdapat jalan yang berbeda, yaitu jalan supremasi sipil. Di sini negara dipahami bukan sebagai mesin penertib, melainkan sebagai ruang deliberatif yang mengorganisir kehidupan bersama melalui hukum dan akuntabilitas.

Supremasi sipil menuntut kedewasaan politik, sebab ia bekerja melalui proses. Ia lamban di awal, tetapi berakar pada legitimasi. Ia mengizinkan kritik karena sadar bahwa kritik adalah cara paling jujur untuk memperkuat struktur kekuasaan.

Kedua logika ini kini hidup berdampingan di tubuh negara. Yang satu mengandalkan kecepatan, yang lain menekankan transparansi. Yang satu mengejar keteraturan segera, yang lain mengupayakan ketepatan arah.

Hasilnya sering paradoksal: negara terlihat tegas di permukaan namun rapuh di dalam, stabil di pusat kekuasaan tetapi gelisah di lapisan rakyat.

Ketika stabilitas koersif dan supremasi sipil belum menemukan keseimbangannya, kebijakan negara berjalan di atas garis yang rapuh antara keteraturan administratif dan ketidakpuasan sosial.

Dalam sejarah bangsa-bangsa, dilema semacam ini selalu muncul di masa transisi menuju kematangan nasional.

Negara yang memilih ketertiban semata memperoleh ketenangan singkat tetapi kehilangan vitalitas. 

Sebaliknya, negara yang menempuh keadilan, meski harus menanggung guncangan, pada akhirnya akan menemukan stabilitas yang lebih kokoh.

Ketertiban yang dibangun tanpa keadilan hanya akan menciptakan ketegangan tanpa suara, sementara keadilan yang ditegakkan dengan konsistensi akan melahirkan keteraturan yang lestari.

Bahasa kekuasaan adalah medan ideologi. Setiap istilah yang diucapkan penguasa mengandung arah kebijakan. Maka ketika stabilitas dijadikan mantra, pertanyaan mendasarnya bukan hanya bagaimana, tetapi untuk siapa.

Apakah ketenangan sosial yang dijanjikan merupakan hasil pemerataan atau hasil pengendalian. Dalam supremasi sipil, stabilitas tidak dihapus, tetapi ditempatkan kembali di bawah keadilan.

Sebab stabilitas sejati adalah buah dari keadilan yang bekerja. Negara yang benar-benar kuat tidak perlu menenangkan rakyat dengan larangan yang terlampau banyak.

Namun bangsa ini tak bisa terus berada di persimpangan. Ia perlu arah yang bukan hanya sekadar kompromi, bangsa ini memerlukan sintesis ideologis.

Maka Di sinilah konsep pertahanan rakyat menemukan maknanya. Pertahanan rakyat bukanlah militerisasi masyarakat dan bukan pula pelemahan institusi pertahanan negara. Ia adalah gagasan tentang kekuatan yang berpangkal pada kesadaran.

Ia menyatukan disiplin koersif dengan rasionalitas sipil tanpa membiarkan yang satu menelan yang lain. Dalam pertahanan rakyat, negara menjadi kuat karena rakyatnya sadar. 

Pertahanan rakyat menolak dikotomi palsu antara kekuatan dan kebebasan.

Ia mengambil semangat tanggung jawab dari disiplin koersif, dan semangat keterbukaan dari supremasi sipil.

Ia menjadikan keadilan sebagai strategi pertahanan nasional. 

Sebab tidak ada pertahanan yang kokoh bila rakyat hidup dalam ketimpangan, dan tidak ada pertahanan yang mengakar bila rakyat dipisahkan dari hak untuk bersuara. Keadilan sosial adalah pagar terkokoh dari pertahanan nasional.

Dalam konteks pemerintahan hari ini, arah itu sedang dibangun. Program Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih adalah bentuk konkret dari pertahanan rakyat yang dijalankan melalui kesejahteraan dan kesadaran.

Kalimat ini memperlihatkan bagaimana kebijakan sosial tumbuh menjadi mekanisme pertahanan yang berakar pada kepercayaan rakyat kepada negara.

Sebab pertahanan modern tidak lagi hanya bersandar pada senjata, tetapi soal rasa percaya bahwa negara berpihak, bahwa rakyat berharga, dan bahwa keadilan adalah hak sekaligus kewajiban yang dirawat secara kolektif.

Pertahanan rakyat juga mengubah makna loyalitas. Dalam logika koersif, loyalitas diukur dari kepatuhan kepada komando.

Dalam logika rakyat, loyalitas diukur dari kesetiaan pada keadilan dan kebenaran.

Maka dalam pertahanan rakyat, disiplin bukan semata-mata lahir dari rasa takut, melainkan tumbuh dari kesadaran kolektif bahwa menjaga negara berarti menjaga sesama. Ia adalah komando yang lahir dari kesadaran kolektif. 

Negara yang menegakkan pertahanan rakyat harus terbuka pada pengawasan publik. Kekuatan yang tidak bisa diperiksa akan mudah berubah menjadi penyalahgunaan.

Partisipasi rakyat adalah fondasi bagi stabilitas yang berkelanjutan dan menjadi sumber legitimasi bagi rasa aman nasional. 

Lembaga-lembaga pertahanan hadir di tengah rakyat, menjaga, melindungi, dan belajar bersama mereka tentang makna keadilan yang hidup dalam keseharian.

Pertahanan rakyat pada akhirnya adalah bentuk paling tinggi dari demokrasi yang matang. Ia menolak stabilitas yang dibangun di atas ketakutan, dan menolak kebebasan yang tak mampu menanggung tanggung jawab.

 Ia menjembatani disiplin dan kebebasan, mengubah keteraturan menjadi kesadaran, dan menjadikan rakyat bukan sekadar penerima keamanan, tetapi pencipta keamanan itu sendiri.

Negara di persimpangan ini hanya akan menemukan arah ketika berani menempatkan keadilan sebagai pusat pertahanannya.

Pertahanan sejati tumbuh dari kemampuan bangsa mengatasi ketimpangan di dalam dirinya sendiri, sebelum menghadapi ancaman dari luar. 

Bangsa yang menegakkan keadilan tidak mudah dipecah, dan rakyat yang hidup dalam kepercayaan tidak mudah diguncang. Keadilan menjadi tembok pertahanan yang paling kokoh, sementara kesadaran menjadi kekuatan yang paling lama bertahan dalam sejarah bangsa.

Jalan pertahanan rakyat adalah strategi kesadaran yang menuntun bangsa untuk menegakkan kekuatan bersama di atas dasar keadilan.

Di tengah tarik-menarik antara stabilitas koersif dan supremasi sipil, arah ini melahirkan keseimbangan baru bagi kehidupan bernegara.

Melalui pertahanan rakyat, kekuasaan tumbuh dalam disiplin yang sadar tujuan, rakyat berdaya dalam kebebasan yang terarah, dan negara berdiri tegak dalam makna yang utuh. 

Negara kuat karena berpihak, tenang karena adil, dan kokoh karena bersandar pada kesadaran kolektif segenap jiwa bangsa.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved