Jumat, 21 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Purbaya, Palu Kematian KONI? 

Kenjelang akhir 2025, dunia olahraga Indonesia belum lepas dari keresahan. Bukan karena prestasi atlet tapi justru karena sengkarut KONI

Editor: Dodi Esvandi
ist
Algooth Putranto, Community Director Evident Institute 

Oleh: Algooth Putranto
Community Director Evident Institute

Menjelang akhir 2025, dunia olahraga Indonesia belum lepas dari keresahan.

Bukan karena prestasi atlet tapi justru karena sengkarut organisasi yang bertanggungjawab pada pengelolaan olahraga. 

Pekan lalu, seorang kawan mengungkapkan keresahannya perihal tunggakan piutangnya yang menyelip bersama tunggakan utang negara sekitar Rp400 miliar kepada vendor Pekan Olahraga Nasional (PON) XX 2021 dan Pekan Paralimpiade Nasional (Perpanas) XVII Tahun 2021.

Keduanya dihelat di Papua dan sampai kini belum terbayarkan.

Kawan itu menuturkan uang tim vendor sekitar Rp59 miliar, sementara uang pribadinya yang nyangkut sekitar Rp15 miliar. 

Jumlah utang Rp400 miliar tidak sedikit, sekaligus menggambarkan pengelolaan olahraga dalam negeri yang karut marut.

Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa sudah menegaskan akan membereskan hal tersebut. 

Janji yang yah lumayan membuat Indonesia Congress and Convention Association (INCCA) dan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) sedikit terhibur.

Nah bicara soal sengkarut utang PON dan Perpanas yang diselenggarakan KONI, ini bisa menjadi pembuka rumitnya pengelolaan olahraga di Indonesia karena kita juga menerima saksi Komite Olimpiade Internasional (IOC) karena menolak visa atlet gimnastik Israel bertanding di ajang Artistic Gymnastics World Championship 2025 di Jakarta. 

Soal sanksi IOC ini bukan kali pertama, kita pernah mengalami situasi serupa sebagai konsekuensi Indonesia menolak atlet Taiwan dan Israel dalam Asian Games 1962 di Jakarta yang membuat IOC melarang keterlibatan Indonesia dari Olimpiade Tokyo 1964.

Agar paham, Presiden Soekarno mengambil sikap tegas kepada Taiwan dan Israel karena dua alasan. 

Pertama, Taiwan terlibat pengeboman pesawat Kashmir Princess milik Air India pada 11 April 1955. 

Seharusnya, pesawat itu ditumpangi Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai beserta  delegasi Tiongkok ke Jakarta untuk menghadiri KTT Non Blok di Bandung. 

Pesawat meledak di atas Laut Tiongkok Selatan, menewaskan 16 dari 19 orang yang berada di dalamnya. Beruntung, PM Zhou Enlai batal terbang.

Kedua, sikap terhadap Israel? Ah ini tak perlu dibahas. 

Sejarah mencatat, timnas sepak bola kita yang lolos babak kedua kualifikasi Piala Dunia 1958 menolak bertanding dengan Israel karena dukungan dan solidaritas terhadap rakyat Palestina. 

Untuk konsekuensi itu Sukarno lantas menggagas Olimpiade tandingan atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO) di 1963 yang sukses sekaligus membuat manajemen olahraga Indonesia ruwet sampai saat ini.

Ruwet karena pengelolaan olahraga kita lantas terjebak dalam dualisme organisasi yang bertanggung jawab atas nasib olahraga nasional dan karier para atlet Indonesia hingga mengharumkan nama Indonesia di tingkat dunia?

GANEFO melahirkan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), lembaga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai payung besar olahraga nasional, tetapi—maaf--semakin kehilangan relevansinya.

Jadi sebagai organisasi warisan kolonial Belanda, setelah Indonesia merdeka, organisasi ini berkali mengalami transformasi, seperti Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) pada 1946 yang lalu dilebur oleh pemerintah dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sebagai KONI pada 1951. 

Pada 1967, Presiden Soeharto mengukuhkan KONI melalui Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1967 sebagai badan mandiri dan non-pemerintah di bidang olahraga dengan semangat mengonsolidasikan organisasi olahraga, membina atlet di tingkat nasional, dan menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON). 

Namun seiring perkembangan sistem olahraga dunia, pembagian tugas pun berubah total sejak terbit UU Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan memecah KONI jadi Komite Olahraga Nasional (KON) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI).

Pemerintah lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 3 Tahun 2005 disusul keputusan Musyawarah Olahraga Nasional Luar Biasa (Musornaslub) pada 30 Juli 2007.

Keputusannya (Musornaslub) ada beberapa a.l membentuk Komite Olimpiade Indonesia (KOI), menyerahkan fungsi sebagai NOC Indonesia dari KONI kepada KOI. Nama KONI dipertahankan dan tidak diubah menjadi KON.

Sejak KOI diakui IOC pada 2011 maka urusan olahraga internasional—termasuk Olimpiade, Asian Games, dan hubungan dengan federasi olahraga dunia—jadi wewenang KOI. 

Artinya, seiring pembentukan KOI atau NOC maka KONI tak lagi punya fungsi strategis dalam puncak karier atlet ke tingkat dunia yakni Olimpiade, karena di situlah nama Indonesia bisa berkibar. 

Karena jalur ke tingkat internasional bukan lagi urusan KONI, maka orientasi KONI ya hanya berhenti di level domestik. 

Sebatas PON, Porprov, atau event lokal. 

Sementara semua hal seperti seleksi, kualifikasi, dan pengiriman atlet ke ajang dunia ada di tangan KOI. 

Baca juga: Achmad Azran Dapat Sinyal Hijau Pramono Anung untuk Maju Ketua Umum KONI DKI Jakarta 2026/2030

KONI yang Usang

Jadi sejak 2011 sebetulnya sudah ada tembok besar antara pembinaan atlet di dalam negeri dan karier mereka di kancah global. 

Tak banyak yang tahu bahwa KONI hanya hidup di ruang administratif, sementara atlet berjuang sendiri menembus dunia.

Saat KONI mengejar sukses PON dan kejuaraan lokal, maka KOI mengejar medali Olimpiade dan memenuhi standar internasional. 

Dua target berbeda ini menciptakan benturan kebijakan yang imbasnya pada atlet dan pelatih terjepit di antara dua sistem pembinaan yang tak nyambung. 

Sudah umum, pelatih dan pengurus cabor harus memilih—ikut struktur KONI untuk kebutuhan daerah yang kerap tak berujung ke kancah yang lebih tinggi, atau sebaliknya ikut KOI dan federasi internasional demi peluang kompetisi global. 

Akibatnya, sistem olahraga Indonesia gamang melangkah dan kusut apalagi jika sudah bicara soal pendanaan. 

KONI mengelola dana hibah dari APBN dan APBD, tetapi laporan keuangan KONI kerap jadi sorotan dan ujungnya bikin mumet siapa pun Menteri Keuangan.

Bukan rahasia lagi, sejumlah temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kepolisian perihal kejanggalan dalam penggunaan dana hibah, termasuk aliran ke pihak-pihak yang tidak relevan dengan pembinaan atlet. 

Transparansi entahlah, sementara efektivitas program sulit diukur. 

KONI yang obsolete atau usang karena umumnya selalu diurus pensiunan lebih sibuk menjaga struktur, jabatan, dan acara seremonial ketimbang memikirkan masa depan atlet.

Bandingkan dengan KOI yang harus prudent (hati-hati) dalam mengelola setiap rupiah di hadapan Komite Audit IOC dan federasi olahraga internasional. 

Setiap program, setiap biaya perjalanan, dan setiap pelatnas harus diaudit dan dilaporkan sesuai standar global. 

Jadi jelas ada gap antara KOI harus bekerja dalam sistem akuntabilitas dunia dan KONI yang nyaman dalam pola lama birokrasi. 

Ini jelas paradok di tengah tuntutan agar seluruh federasi internasional menangguhkan kegiatan olahraga di Indonesia, struktur olahraga nasional ternyata selama ini belum siap menghadapi konsekuensi dari keinginan mendunia.

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang kini dipimpin Erick Thohir pun berada dalam posisi sulit karena jadi sumber utama pendanaan bagi KONI dan KOI. 

Saat keputusan politik menciptakan dampak internasional, yang terkena imbas adalah KOI dan para atlet, sementara KONI tetap sibuk dengan rutinitasnya. 

Jika melihat realitas hari ini, KONI sudah tak relevan. 

Fungsinya sebagai pengelola olahraga nasional telah kehilangan makna, sebab orientasi utamanya bukan lagi prestasi dunia melainkan acara domestik yang penuh kepentingan daerah dan politik lokal. 

KONI tak menghasilkan atlet Olimpiade, tak berperan dalam diplomasi olahraga, alih-alih jadi beban anggaran negara. 

Membubarkan KONI jelas langkah radikal, tetapi justru itulah langkah logis. 
Dengan dibubarkannya KONI, sistem olahraga kita bisa lebih ramping dan efektif. 

Sementara KOI dapat mengambil alih pembinaan elite dan hubungan internasional dengan dukungan penuh dari federasi olahraga nasional. 

Kemenpora cukup jadi regulator dan pengawas kebijakan, bukan operator lapangan. 

Dana publik bisa disalurkan langsung ke Pelatnas, klub pembina, dan federasi cabang olahraga dengan mekanisme audit yang terbuka bahkan bisa dikawal secara aktif oleh masyarakat secara real time. Kurang detail apa netizen kita?!

Bagi mereka yang khawatir pembinaan di daerah akan terhenti, jawabannya sederhana: pembinaan bisa dan harus dilakukan oleh pengurus cabang olahraga serta klub, bukan birokrat KONI daerah. 

Dengan sistem berbasis kinerja, hibah dan bantuan akan diberikan kepada pihak yang berkomitmen menghasilkan atlet berprestasi, bukan kepada struktur organisasi yang tak produktif karena orientasinya hanya duit. 

Indonesia juga tak butuh lembaga yang hanya sibuk mengatur upacara pembukaan PON dan merancang baju seragam kontingen. 

Serahkan saja pada event organizer (EO) profesional. 

Indonesia lebih butuh sistem yang menempatkan atlet sebagai pusat, bukan pejabat. 

KONI jelas sekadar simbol masa lalu, bukan masa depan. 

Sanksi IOC terhadap Indonesia sebetulnya alarm keras yang menegaskan bahwa tata kelola olahraga kita yang sudah usang karena enggan kencang melaju ke depan. 

Mungkin sudah waktunya kita berani mengakui satu hal: olahraga Indonesia tak akan maju selama KONI masih ada. 

Jika mengubah UU Olahraga butuh negosiasi di Parlemen, bisa jadi Menteri Purbaya bernyali ketok palu menghentikan pasokan dana ke KONI. Selesai itu barang!

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved