Kamis, 20 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Purbaya, Palu Kematian KONI? 

Kenjelang akhir 2025, dunia olahraga Indonesia belum lepas dari keresahan. Bukan karena prestasi atlet tapi justru karena sengkarut KONI

Editor: Dodi Esvandi
ist
Algooth Putranto, Community Director Evident Institute 

Oleh: Algooth Putranto
Community Director Evident Institute

Menjelang akhir 2025, dunia olahraga Indonesia belum lepas dari keresahan.

Bukan karena prestasi atlet tapi justru karena sengkarut organisasi yang bertanggungjawab pada pengelolaan olahraga. 

Pekan lalu, seorang kawan mengungkapkan keresahannya perihal tunggakan piutangnya yang menyelip bersama tunggakan utang negara sekitar Rp400 miliar kepada vendor Pekan Olahraga Nasional (PON) XX 2021 dan Pekan Paralimpiade Nasional (Perpanas) XVII Tahun 2021.

Keduanya dihelat di Papua dan sampai kini belum terbayarkan.

Kawan itu menuturkan uang tim vendor sekitar Rp59 miliar, sementara uang pribadinya yang nyangkut sekitar Rp15 miliar. 

Jumlah utang Rp400 miliar tidak sedikit, sekaligus menggambarkan pengelolaan olahraga dalam negeri yang karut marut.

Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa sudah menegaskan akan membereskan hal tersebut. 

Janji yang yah lumayan membuat Indonesia Congress and Convention Association (INCCA) dan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) sedikit terhibur.

Nah bicara soal sengkarut utang PON dan Perpanas yang diselenggarakan KONI, ini bisa menjadi pembuka rumitnya pengelolaan olahraga di Indonesia karena kita juga menerima saksi Komite Olimpiade Internasional (IOC) karena menolak visa atlet gimnastik Israel bertanding di ajang Artistic Gymnastics World Championship 2025 di Jakarta. 

Soal sanksi IOC ini bukan kali pertama, kita pernah mengalami situasi serupa sebagai konsekuensi Indonesia menolak atlet Taiwan dan Israel dalam Asian Games 1962 di Jakarta yang membuat IOC melarang keterlibatan Indonesia dari Olimpiade Tokyo 1964.

Agar paham, Presiden Soekarno mengambil sikap tegas kepada Taiwan dan Israel karena dua alasan. 

Pertama, Taiwan terlibat pengeboman pesawat Kashmir Princess milik Air India pada 11 April 1955. 

Seharusnya, pesawat itu ditumpangi Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai beserta  delegasi Tiongkok ke Jakarta untuk menghadiri KTT Non Blok di Bandung. 

Pesawat meledak di atas Laut Tiongkok Selatan, menewaskan 16 dari 19 orang yang berada di dalamnya. Beruntung, PM Zhou Enlai batal terbang.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved