Senin, 24 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Beberapa Catatan dalam Menyongsong Pengesahan RUU Pengelolaan Ruang Udara

Ruang udara di atas negara kepulauan memiliki karakteristik yang khusus karena pengaturannya tidak saja melandaskan pada Konvensi Chicago 1944.

Editor: Hasanudin Aco
Istimewa
I WAYAN SUDIRTA - Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH, Anggota Pansus Pengelolaan Ruang Udara DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan dan pengajar pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. 

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH
- Anggota Pansus Pengelolaan Ruang Udara DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan
- Pengajar pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

TRIBUNNEWS.COM - Pada hakekatnya, wilayah kedaulatan negara meliputi ruang udara di atas wilayah negara yang bersangkutan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Indonesia yang menyatakan “every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. 

Menariknya, jauh sebelum pemberlakuan Konvensi Chicago, dalam tradisi hukum Romawi sudah dikenal adagium klasik “cuius est solum eius est usque ad coelum et ad sidera”.

Ungkapan tersebut dapat dimaknai “siapapun yang memiliki tanah maka memiliki hak di atasnya sampai ke langit dan bintang-bintang".

Sejalan dengan itu, Indonesia menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Ruang udara di atas negara kepulauan memiliki karakteristik yang khusus karena pengaturannya tidak saja melandaskan pada Konvensi Chicago 1944, namun juga mempertimbangkan beberapa sumber hukum internasional lainnya seperti Outer Space Treaty 1967 dan United Nations Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982).

Masalahnya, konsep ruang udara di atas negara kepulauan belum diimplementasikan dalam praktik sehingga berpotensi merugikan kepentingan nasional mengingat terdapat beberapa objek vital yang terletak di luar wilayah kedaulatan yang memerlukan pengamanan dari ancaman yang datang melalui ruang udara.

Oleh karena itu, diperlukan suatu undang-undang untuk mengatur lingkup ruang udara di atas  negara kepulauan, termasuk batas-batasnya yaitu wilayah udara, ruang udara internasional di atas objek vital nasional, dan ruang udara negara lain.

Sekilas Pengaturan tentang Pengelolaan Ruang Udara RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara merupakan RUU usul inisiatif Pemerintah yang terdapat dalam Program Legislasi Nasional Prioritas DPR RI Tahun 2023, 2024, dan 2025.

Pembahasan tentang RUU Pengelolaan Ruang Udara dimulai dengan pembentukan Panitia Khusus DPR RI Periode 2019-2024 dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 10 September 2024 yang dilanjutkan dengan Rapat Kerja Pansus dan Rapat Panitia Kerja DPR RI dengan Pemerintah pada 25 September 2024.

Prolegnas DPR RI Tahun 2025 memasukkan RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara sebagai RUU carry over (operan) dan pembahasannya dilanjutkan oleh DPR RI Periode 2024-2029. 

Pembahasan dalam tingkat Panja dilakukan pada 21 Juli, 22 Juli, dan 4 September 2025. Kalau tidak ada aral melintang, hari selasa, 25 November 2025 RUU tersebut, rencananya akan diputuskan dalam pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Beberapa pengaturan penting dalam RUU PRU, antara lain:

Pertama, pengelolaan ruang udara dilaksanakan melalui tahapan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan pengawasan yang terukur dengan memerhatikan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pengelolaan ruang udara dilaksanakan untuk menjamin agar ruang udara dapat mengakomodasi kepentingan penerbangan, pertahanan dan keamanan negara, perekonomian nasional, sosial budaya, serta lingkungan hidup dapat berlangsung secara berkesinambungan dan harmonis.

Kedua, ruang udara baik di wilayah udara, ruang udara internasional, maupun ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada Pemerintah Indonesia perlu dikelola secara arif dan bijaksana dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) guna mewujudkan dan meningkatkan keamanan (security) di ruang udara maupun ancaman yang menggunakan ruang udara dan mengancam keselamatan warga negara/penduduk yang berada di permukaan bumi.

Ketiga, ruang udara internasional merupakan ruang udara yang terletak di luar wilayah udara sehingga pengaturan ini tidak dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara tetapi ditujukan untuk menjamin kepentingan negara khususnya objek vital nasional yang berada di zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.

Pengamanan lepas pantai (offshore security) perlu diatur guna menjamin tindakan pengamanan yang dilakukan. Kawasan udara keselamatan perlu ditetapkan guna menjamin keselamatan
jiwa tenaga kerja, keberlangsungan operasional, serta aset negara pada objek vital nasional.

Keempat, kawasan udara keselamatan dimaksudkan juga untuk melengkapi kawasan keselamatan di laut (safety zone) pada instalasi atau pengeboran minyak lepas pantai (offshore oil rig) sebagaimana diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Karena alasan operasional, Pemerintah Indonesia dapat menerima delegasi dari negara lain untuk memberikan pelayanan navigasi penerbangan di ruang udara negaranya.

Delegasi ini tidak dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara Indonesia sehingga pemberian pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia hanya terbatas untuk pengaturan lalu lintas udara guna menjamin keselamatan penerbangan di ruang udara yang didelegasikan tersebut. 

Di samping menerima delegasi pelayanan navigasi penerbangan dari negara lain, Pemerintah Indonesia juga menerima dan menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan di ruang udara internasional di atas laut bebas (high sea) atau yang disebut oceanic flight information region (FIR).

Beberapa Catatan terhadap RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara

RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara hadir sebagai instrumen hukum yang diharapkan mampu memberikan kepastian, arah kebijakan, dan kerangka kerja yang jelas dalam pemanfaatan ruang udara nasional.

Sebagai ruang strategis yang bernilai ekonomi, politik, pertahanan, dan ilmu pengetahuan, ruang udara tidak hanya perlu diatur dari sisi kedaulatan negara, tetapi juga harus membuka ruang bagi peran serta masyarakat, kerja sama antar pemangku kepentingan, serta kepastian hukum dalam pelaksanaan riset.

Namun, menurut hemat penulis draf awal RUU masih menyisakan sejumlah kelemahan substansial, terutama terkait pengaturan peran masyarakat, mekanisme kerja sama, dan riset, yang saat ini hanya dituangkan dalam bentuk ayat sehingga belum sepenuhnya komprehensif. 

A. Peran Serta Masyarakat

Draf awal RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara belum mengatur secara komprehensif mengenai peran serta masyarakat.

Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan ruang udara hanya pada tahap perencanaan pengelolaan ruang udara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2)
RUU yang menyatakan “penyelenggaraan perencanaan Pengelolaan Ruang Udara mengikutsertakan pemerintah daerah dan masyarakat”.

Pengaturan peran serta masyarakat dalam pengelolaan ruang udara sesungguhnya merupakan bentuk perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI yang mengamanatkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ruang udara akan mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Pengawasan oleh masyarakat akan memastikan pemanfaatan ruang udara yang adil dan merata, serta memantau aktivitas di ruang udara untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. 

Selain itu, pengawasan oleh masyarakat penting untuk memastikan pemanfaatan ruang udara dilakukan secara adil dan merata sehingga dapat mencegah dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.

Urgensi pengaturan peran serta masyarakat secara komprehensif dalam RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara tersebut menunjukkan materi muatan ini perlu diatur dalam bab tersendiri.

Namun kesepakatan yang tercapai dalam Panja, peran serta masyarakat diatur dalam bentuk ayat yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Sinergi dalam pengelolaan ruang udara dengan masyarakat diwujudkan dengan:

a. masyarakat menyampaikan pendapat terhadap kegiatan Pengelolaan Ruang Udara yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan;

b. masyarakat ikut menjaga ketertiban, keselamatan dan keamanan dalam pemanfaatan Ruang Udara;

c. masyarakat melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan atau kejadian terhadap pesawat udara dan wahana udara; dan/atau

d. memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis Pengelolaan Ruang Udara.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat menindaklanjuti masukan, pendapat, dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat.

Pengaturan dalam bentuk ayat tersebut sesungguhnya belum cukup komprehensif memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut berperan dalam pengelolaan ruang udara.

Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut peran serta masyarakat sebagai materi muatan dalam Peraturan Pemerintah dapat menjadi salah satu solusi untuk memastikan adanya kepastian hukum, memperkuat legitimasi kebijakan, serta membuka mekanisme partisipasi publik yang transparan dan akuntabel dalam menjaga kedaulatan serta pemanfaatan ruang udara secara berkelanjutan.

B. Kerja sama Pengelolaan Ruang Udara

RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara telah mengatur mengenai pelaksanaan penguasaan dan pengembangan teknologi melalui kerja sama di tingkat nasional dan internasional. Namun, RUU belum mengatur detil mengenai kerja sama pengelolaan ruang udara tersebut.

Kerja sama
pengelolaan ruang udara antara lain dilakukan dalam rangka penggunaan kawasan udara lainnya yang digunakan untuk kepentingan nasional dan internasional secara terbatas.

Yang dimaksud kepentingan nasional dan internasional secara terbatas adalah kepentingan yang lahir dan diamanatkan dalam konvensi internasional atau perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain, seperti hak lintas bagi pesawat udara asing di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Perjanjian Kerja Sama Pertahanan antara Indonesia dan Singapura; dan perjanjian pemberian hak akses di koridor Malaysia Timur-Barat kepada Pemerintah Malaysia.

Berbagai kepentingan tersebut menunjukkan pengaturan kerja sama pengelolaan ruang udara perlu diatur secara lebih detil, baik itu kerja sama nasional maupun kerja sama internasional. Kerja sama yang perlu diatur, meliputi kerja sama dalam pelayanan udara; peningkatan pertahanan regional; dan penegakan hukum bersama.

Kebutuhan untuk mengatur kerja sama pengelolaan ruang udara secara menyeluruh dalam RUU Pengelolaan Ruang Udara menegaskan pentingnya materi ini ditempatkan dalam satu bab khusus.

Akan tetapi, hasil kesepakatan dalam Panja memutuskan bahwa ketentuan mengenai kerja sama
pengelolaan ruang udara cukup dituangkan dalam bentuk ayat dengan rumusan yang menyatakan kerja sama antar pemangku kepentingan di tingkat internasional harus mengutamakan kepentingan nasional.

C. Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pengaturan riset menurut penulis juga penting diatur secara tersendiri mengingat ruang udara merupakan kedaulatan negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 “Every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”.

Artinya, setiap pesawat, wahana, atau instrumen penelitian yang masuk ruang udara Indonesia, wajib tunduk pada izin negara. 

Tanpa pengaturan eksplisit dalam ayat tersendiri, pemerintah bisa kehilangan pijakan hukum kuat untuk menyetujui atau menolak riset asing, mengawasi data yang boleh dikumpulkan, dan menentukan zona terbatas untuk alasan keamanan nasional.

Kegiatan penelitian ilmiah di ruang udara, seperti untuk observasi atmosfer, cuaca, penginderaan jauh, maupun eksperimen aeroangkasa, memiliki dua kemungkinan, untuk tujuan ilmiah terbuka atau untuk tujuan tersembunyi seperti untuk kepentingan militer, pengintaian, dan pemetaan
wilayah strategis.

Oleh karena itu, apabila tidak diatur secara eksplisit, negara rentan menjadi ladang eksperimen atas nama riset yang sebetulnya punya misi tersembunyi.

Salah satu contoh kasus balon riset Tiongkok yang dituding sebagai alat spionase oleh Amerika Serikat pada tahun 2023.

Selain itu, beberapa UU mengatur secara rinci terkait perizinan untuk riset yang dilakukan oleh lembaga asing, seperti UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dan UU No. 16 Tahun 2023 tentang Landas Kontinen.

Urgensi pengaturan riset ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh dalam RUU Pengelolaan Ruang Udara mengindikasikan bahwa ketentuan tersebut selayaknya dimuat dalam bab tersendiri. Namun demikian, Panja melalui kesepakatannya menetapkan bahwa pengaturan Riset Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi hanya dituangkan dalam bentuk ayat yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Dalam hal riset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dilakukan oleh perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing wajib mendapatkan perizinan dari menteri/kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Riset sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus bermitra kerja dengan penyelenggara penelitian dan pengembangan dalam negeri serta mengikutsertakan peneliti Indonesia.

Ketentuan dalam ayat tersebut rasanya belum cukup memadai untuk mengakomodasi pengaturan riset dalam rangka pengelolaan ruang udara.

Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah diperlukan agar tersedia kepastian hukum, legitimasi kebijakan, serta menyediakan mekanisme riset yang transparan, akuntabel, dan partisipatif demi mendukung kedaulatan serta pemanfaatan ruang udara secara
berkelanjutan.

Secara keseluruhan, RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara memerlukan penguatan materi muatan agar dapat menjawab tantangan strategis pengelolaan ruang udara Indonesia.

Urgensi pengaturan peran serta masyarakat, kerja sama nasional maupun internasional, serta riset menunjukkan bahwa ketentuan ini idealnya ditempatkan dalam bab tersendiri, bukan hanya dalam bentuk ayat. 

Dengan pengaturan yang lebih komprehensif melalui Peraturan Pemerintah, diharapkan tercipta kepastian hukum, legitimasi kebijakan yang kokoh, serta mekanisme partisipasi publik dan riset yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan nasional.

Pada akhirnya, langkah tersebut akan memperkuat kedaulatan negara sekaligus menjamin pemanfaatan ruang udara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

 

Sumber: Tribunnews.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved