Waktunya Muda Mudi Dapat Wawasan
Jadi Content Creator dan Influencer Harus Punya Ijazah, Kamu Setuju Enggak?
China mewajibkan seluruh influencer yang membahas topik serius dalam kontennya, harus memiliki gelar akademik. Simak selengkapnya!
TRIBUNNEWS.COM - Selama ini, memposting konten apa saja di media sosial sangatlah bebas. Tapi, coba bayangin kalau tiba-tiba kamu diminta untuk menunjukkan ijazah sebelum membuat konten di medsos.
Terdengar agak kaku, tapi itulah yang kini terjadi di China.
Baru-baru ini, pemerintah setempat menerapkan undang-undang baru yaitu mewajibkan seluruh konten kreator daring atau influencer yang ingin membahas topik serius seperti ekonomi, kesehatan, hukum, atau edukasi, untuk memiliki gelar, lisensi, ataupun sertifikasi resmi.
Administrasi Dunia Maya Tiongkok (Cyberspace Administration of China/CAC) menyatakan aturan yang berlaku mulai Sabtu (25/10/2025) ini bertujuan untuk mencegah penyebaran informasi palsu dan konten menyesatkan yang berdampak buruk bagi masyarakat.
Namun, di balik niat baik tersebut, aturan ini memicu perdebatan besar. Banyak yang mendukung karena dianggap bisa menjaga kualitas konten. Namun tak sedikit pula yang menilai kebijakan tersebut bisa membungkam suara-suara independen, terutama dari kalangan muda yang belajar secara otodidak.
Baca juga: Kenapa Scroll Media Sosial Bikin Candu? Ini Alasan Psikologisnya
Melihat dari Dua Sisi
Kebijakan baru yang menerapkan konsep ‘bergelar dulu baru bicara’ ini mengandung sejumlah makna. Di satu sisi, aturan ini bisa menjadi tameng dari maraknya misinformasi.
Tak jarang kita melihat konten yang mengaku edukatif, padahal penuh klaim tanpa dasar. Mulai dari “tips investasi instan” hingga “cara sembuh dari penyakit tanpa obat”.
Dalam konteks ini, memiliki dasar keilmuan memang penting agar informasi yang disebarkan tak semata opini pribadi, tetapi bergerak dari akar wawasan yang valid.
Namun di sisi lain, ide “berwawasan” tidak melulu soal gelar. Banyak anak muda yang belajar dari pengalaman, riset mandiri, dan semangat berbagi yang tulus.
Mereka mungkin tidak punya sertifikat, tapi punya perspektif segar yang justru dibutuhkan publik. Kalau regulasi terlalu ketat, ruang kreativitas dan kebebasan berbagi bisa saja terhambat.
Menariknya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) Indonesia kabarnya tengah meninjau kebijakan serupa.
Meskipun bukan berarti regulasi ini akan langsung diterapkan, Pemerintah tengah mengkaji apakah kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah China tersebut bisa diadaptasi di Indonesia atau tidak.
Entah nanti Indonesia akan menerapkan kebijakan seperti China atau tidak, satu hal yang pasti adalah kualitas dunia digital enggak cuma ditentukan dari aturan pemerintah, tapi juga oleh sikap para penggunanya.
Maka dari itu, sebelum mengunggah, menulis, atau membagikan sesuatu, yuk bertanya dulu pada diri sendiri, ini fakta atau asumsi? Apakah bermanfaat atau cuma sensasi belaka?
Di era pesatnya penyebaran informasi yang datang setiap detik, tantangan terbesar bukan lagi mencari tahu, tapi memilah apa yang layak untuk dipercaya.
Menurut Tribunners, gimana kalau kebijakan baru yang berlaku di China diterapkan di Indonesia nih?
Baca juga: Digital Overload: Ketika Otak Sulit Mencerna Informasi Akibat Sering Scrolling Medsos
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.