CSIS: Gejolak Demokrasi Mesir Mirip Reformasi 1998
Philips Jusario Vermonte mengatakan gejolak demokrasi yang terjadi di Mesir hampir sama dengan fenomena gerakan reformasi 1998 di Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Jusario Vermonte, mengatakan gejolak demokrasi yang terjadi di Mesir hampir sama dengan fenomena gerakan reformasi 1998 di Indonesia.
Namun menurutnya, Indonesia lebih beruntung lantaran pascareformasi 1998 kondisi Indonesia berangsur normal, dan tidak ada kudeta lagi sampai saat ini.
Usai reformasi 1998, Indonesia melakukan pemilu terlebih dahulu, baru mengubah konstitusi atau mengamandemen. Hal itu berbeda dengan Mesir, politisinya lebih mengutamakan mengubah konstitusi dulu baru menggelar pemilu.
"Indonesia sangat beruntung karena pascareformasi langsung melakukan Pemilu 1999 terlebih dahulu, bukan mengubah konstitusi. Sehingga kita bisa berjalan berkesinambungan dalam pemerintahannya hingga saat ini," kata Philips dalam diskusi bertema 'Gejolak Timur Tengah dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia' di Megawati Institute, Jakarta, Kamis (18/7/2013).
Lebih lanjut Philips menyatakan, langkah para politisi Mesir yang ingin mengubah konstitusi terlebih dahulu ketimbang memilih presidennya melalui pemilu akan sangat sulit dilakukan.
"Karena mengubah konstitusi membutuhkan waktu yang panjang untuk menyamakan ideologi dalam sebuah konstitusi. Dan itu akan sangat sulit dilaksanakan daripada menggelar pemilu atau memilih presidennya terlebih dahulu," tuturnya.
Tak hanya itu, pola perpolitikan di Indonesia, menurut Philips, lebih dewasa ketimbang di Mesir. Perbedaanya, para elite politik di Mesir tidak bisa melakukan negosiasi di antara para petinggi petinggi politik di negaranya, sehingga sulit menemukan pemikiran bersama dalam membangun negaranya ke depan.
"Masa depan pluralisme di Indonesia itu tidak perlu dikhawatirkan, karena budaya di Indonesia berbeda dengan yang di Mesir," jelas Philips.