Jumat, 15 Agustus 2025

Rapat di Jl Teuku Umar 27 Sepakati Penerbitan SKL BLBI untuk Obligor Kooperatif, Kwik Menolak

Kwik menceritakan soal digelarnya tiga kali sidang kabinet hingga Presiden Megawati memutuskan menerbitkan SKL pada obligor yang dianggap koperatif.

TRIBUNNEWS/THERESIA FELISIANI
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Kwik Kian Gie, kembali tampil sebagai saksi dalam sidang lanjutan ‎kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (‎5/7/2018). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sidang lanjutan ‎kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Kamis (‎5/7/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta, mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Kwik Kian Gie, kembali tampil sebagai saksi.

Di sidang kali ini Kwik menceritakan soal digelarnya tiga kali sidang kabinet hingga Presiden Megawati memutuskan menerbitkan SKL pada obligor yang dianggap koperatif.

Jaksa KPK juga membacakan keterangan Kwik Kian Gie dalam BAP. Seluruh keterangan di BAP itu dibenarkan oleh Kwik Kian Gie.

"Rapat di Jl Teuku Umar No 27 Jakarta Pusat, pada saat itu yang hadir adalah Dorodjatun Kuntjorojakti selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menteri Keuangan, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN dan Jaksa Agung," kata Kwik.

"Dalam rapat membahas tentang SKL untuk para obligor yang kooperatif itu, hasil keputusan diberikan SKL kepada obligor yang kooperatif tapi saya menolak," tegas Kwik.

"Saya berpendirian bahwa obligor yang berhak mendapat SKL apabila jumlah uang terhutang kepada negara benar masuk dalam kas negara. Dalam rapat tersebut saya beralasan bahwa rapat di Teuku Umar tidak sah karena tidak ada undangan tertulis tidak dilaksanakan di istana negara sehingga bukan rapat kabinet yang sah dari Megawati selaku presiden RI membatalkan kesepakatan di Teuku Umar tersebut,"

"Pertemuan kedua di Istana Negara yang dihadiri Dorojatun selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menkeu, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN dan Rahman selaku Jaksa Agung membahas pemberian SKL obligor BLBI," beber Kwik.

Baca: Minyak Zaitun Diyakini Bisa Cegah Penyakit Jantung

"Pendapat saya atas putusan tersebut tidak setuju dengan penerbitan SKL kemudian saudari Megawati selaku Presiden RI‎ menutup rapat tersebut dengan tidak mengambil keputusan."

"Pada pertemuan ketiga di istana negara yang dihadiri seingat saya ‎Dorojatun selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menkeu, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN dan Rahman selaku Jaksa Agung dan saudara Yusril selaku Menteri Kehakiman untuk membahas pemberian SKL kepada obligor BLBI," lanjut Kwik.

Baca: Gaya Hidup yang Salah Bisa Memicu Kolesterol dan Serangan Jantung

"Pendapat saya atas keputusan tersebut adalah tetap tidak setuju dengan penerbitan SKL. Rapat tersebut akhirnya Bu Megawati selaku Presiden RI memutuskan untuk tetap menerbitkan SKL kepada para obligor," ungkapnya.

"Apakah berita acara pemeriksaan ini benar? ," tanya Jaksa pada Kwik Kian Gie.

"Memang seperti itu. Bisa saya gambarkan di dalam rapat sidang kabinet yang terakhir di sidang kabinet terbatas saya tidak banyak protes. Tidak banyak mengemukakan pendapat oleh karena saya tidak berdaya," jawab Kwik Kian Gie.

Baca: Jambret yang Bikin Korban Ojek Online Tewas di Cempaka Putih Nangis di Kantor Polisi

"Memang pembicaraan dari para menteri yang langsung saja mengambil inisiatif untuk berbicara bertubi-tubi akhirnya secara senda gurau saya katakan saya dihadapkan kepada total football langsung dihantam semua menteri sehingga saya tidak berdaya untuk bicara apa saja dan akhirnya Presiden Megawati menutup rapat seingat saya menugaskan Pak Yusril sebagai menteri Kehakiman untuk menyusunnya," kata Kwik Kian Gie lagi.‎

Diketahui dalam perkara ini, terdakwa Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.

Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti (mantan Ketua Komite Kenijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang sahan BDNI pada 2004.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan