TNI-Polri Siap Amankan Pengumuman Hasil Real Count 22 Mei Nanti
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, meski unjuk rasa diperbolehkan dalam undang-undang, tetap ada batasan yang perlu patuhi.
Penulis:
Chaerul Umam
Editor:
Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panglima TNI bersama Kapolri menyatakan siap menjaga dan mengamankan, jika nantinya terjadi mobilisasi massa alias people power yang dilakukan oleh pihak yang tak terima dengan hasil pemilu pada 22 Mei nanti.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, meski unjuk rasa diperbolehkan dalam undang-undang, tetap ada batasan yang perlu patuhi.
Hal itu dikatakannya saat menghadiri rapat evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak 2019 yang digelar oleh Komite I DPD RI, di Ruang GBHN Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2019).
"Batasan itu antara lain tak boleh menggangu ketertiban publik, harus dilakukan dengan etika, tidak mengancam keamanan nasional, dan harus menjaga persatuan nasional. Itu yang harus dipatuhi. Jika itu tak dipatuhi maka bisa dibubarkan," ujarnya.
Tito mengingatkan kepada pihak yang ingin melakukan mobilisasi massa untuk memperhatikan ketentuan pidana yang tak diperbolehkan dalam melakukan demonstrasi.
Baca: Pelaku Gunakan Pisau Lipat untuk Habisi Istri dan Kedua Anak Tiri
Baca: Komentar Anthony Joshua Soal Sang Calon Lawan yang Bakal Dihadapi di Amerika Serikat
Baca: Empat Jenis Laptop untuk Beragam Kebutuhan saat Bulan Ramadan
Satu di antaranya yakni melakukan seruan makar saat demonstrasi.
"Jika ada bahasa untuk menjatuhkan pemerintah yang sah, itu bisa dikatakan makar, dan ada ancaman pidananya. Jadi kalau ada provokasi untuk melakukan makar itu ada ancaman pidananya," katanya.
Tito pun meminta kepada pihak yang ingin melakukan demonstrasi patuh terhadap makanisme peraturan dalam melakukan demonstrasi.
"Misalnya tidak melakukan demonstrasi melebihi jam yang ditentukan oleh undang-undang yakni jam 18.00 jika di ruang terbuka dan jam 22.00 jika diruang tertutup. Jika melebihi itu maka akan kami bubarkan," jelasnya.
Tito mengatakan, jika dalam pembubaran tersebut ada perlawanan, maka massa yang melakukan perlawanan bisa dikenakan pidana.
"Tidak mematuhi aturan petugas yang sah. Hal itu bisa dikenakan pidana itu ada di KUHP," terangnya.
Tito pun berpendapat, mestinya gerakan people power tak perlu lagi dilakukan masyarakat.
Sebab hal itu telah terwujud pada hari pencoblosan 17 April 2019 kemarin.
"Jadi ini pemilu yang menarik partisipasi publik sangat tinggi karena diikuti 81% masyarakat Indonesia, bahkan ini yang paling tertinggi pasca reformasi. Apa yang dimaksud people power itulah yang ada di TPS, dimana masyarakat turun menunjukkan powernya untuk memilih," katanya.