Kontroversi JHT
Tafsir Permenaker 19 Tahun 2015: Korban PHK Tak Masuk Kategori Peserta BPJS, JHT Berhak Diambil
Pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK) tidak lagi masuk dalam kategori ‘peserta’, karena ia sudah tidak bekerja
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kontroversi tentang kapan buruh berhak menarik dana Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan terus bergulir.
Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menegaskan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 sesungguhnya tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004, dengan pertimbangan.
Yakni pada Pasal 1 ayat 8; Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Pasal 1 ayat 9; Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya. Pasal 1 ayat 10; Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU No 40 Tahun 2004 di atas, tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Peserta’ adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
Baca juga: ASPEK Indonesia: 50 Persen Pekerja yang Ambil JHT Adalah Korban PHK
“Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK) tidak lagi masuk dalam kategori ‘peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran," ujarnya.
"Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT,” terang Mirah Sumirat.
Baca juga: Tolak Permenaker, KSPI: Jangan-Jangan Anggaran Negara Habis, Mau Ambil Dana JHT?
Mirah mengatakan, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.

“Dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari Pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk Pemerintah “menahan” dana JHT dimaksud,” ujar Mirah.
Mirah menuturkan, kondisi faktual saat ini, banyak korban PHK dengan berbagai penyebab, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.
Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Aspek Indonesia menilai tidak ada alasan yang mendasar untuk menunda pembayaran JHT sampai usia 56 tahun, bagi pekerja yang mengundurkan diri maupun terkena PHK.

“Perubahan persyaratan klaim JHT, yang hanya dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun, sangat mencederai rasa keadilan bagi pekerja yang menginginkan untuk mencairkan Jaminan Hari Tua setelah mengundurkan diri atau setelah PHK,” imbuh Mirah.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program Jaminan Hari Tua (JHT).
Dalam beleid ini, pekerja baru bisa mencairkan JHT saat mereke masuk usia 56 tahun.