Analis Sebut Tren Dedolarisasi Jadi Tantangan Baru, Ini Dampaknya ke Stabilitas Rupiah
Dedolarisasi adalah proses penggantian dolar Amerika Serikat (AS) sebagai transaksi mata uang, termasuk untuk perdagangan minyak dan komoditas lainnya
Penulis:
Yanuar R Yovanda
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
Analis Sebut Tren Dedolarisasi Jadi Tantangan Baru, Ini Dampaknya ke Stabilitas Rupiah
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, dedolarisasi dan berakhirnya sistem petrodolar menjadi tantangan baru.
Seperti diketahui, dedolarisasi adalah proses penggantian dolar Amerika Serikat (AS) sebagai transaksi mata uang, termasuk untuk perdagangan minyak dan komoditas lainnya atau petrodolar.
"Kesepakatan penjualan minyak dengan harga diskon di tengah tren penguatan harga minyak dengan menggunakan kesepekatan penggunaan mata uang lokal, di mana juga memicu dedolarisasi. Tren dedolarisasi yang terjadi saat ini memang dipicu oleh kekuatan ekonomi China yang juga mendominasi," ujar dia melalui risetnya, Senin (12/9/2022).
Baca juga: China Sepakat Bayar Gas Rusia dalam Yuan dan Rubel
Selain itu, hal ini juga dampak Rusia yang dikeluarkan dari sistem keuangan SWIFT, dan ketidaksepakatan antara AS dan Saudi Arabia untuk meningkatkan pasokan minyaknya.
Di mana, memang saat ini terlihat gangguan dari sisi suplai atau timpang terhadap konsumsi yang tinggi di tengah peningkatan aktivitas masyarakat.
Sementara dengan adanya kesepakatan pembelian migas dengan penggunaan mata uang lokal atau local currency, turut mengindikasikan munculnya petroyuan yang berpotensi meningkatkan ketegangan antara AS dan China.
"Namun, kami lihat adanya petroyuan masih kecil kemungkinannya muncul sebagaimana negara tersebut bukan penghasil minyak, dan tentunya akan berdampak penggunaan cadangan dolar untuk memiliki akses dalam pembelian minyak mentah. Sementara, istilah petrodolar yang sering digunakan sebagai mata uang untuk pertukaran transaksi minyak, pun berpotensi ditinggalkan secara jangka panjang," kata Nico.
Apalagi, AS dan negara Arab sebagai sumber penghasil minyak belakangan ini sering tidak bertemu dalam hal kesepakatan mengenai produksi minyak.
Hal yang juga membuat pergerakan harga cenderung fluktuatif, sebenarnya bagi pengekspor minyak, petrodolar ini dapat meningkatkan impor dan menjadi stimulasi ekonomi lokal.
"Bahkan, petrodolar dikelola dan diinvestasikan ke bisnis non minyak melalui Sovereign Wealth Fund (SWF). Secara jangka pendek, penggunaan dolar kami lihat masih akan mendominasi dan penguatannya masih menjadi safe heaven di saat berbagai kondisi anomali seperti kondisi saat ini," tutur Nico.
Terlebih, dolar AS sendiri menjadi mata uang yang dicadangkan untuk sejumlah negara, bahkan memiliki batasan yang dianggap memadai dalam tiga bulan ke depan yang menunjukan ketahanan eksternal.
"Hal ini seiring dengan fungsinya yang digunakan untuk pembayaran internasional seperti impor migas," ujarnya.
Baca juga: Perusahaan India Gunakan Yuan untuk Impor Batubara Rusia
Adapun dari sisi Indonesia, ketahanan eksternal negara melalui cadangan devisa tentunya perlu diperhatikan mengingat profil Indonesia sebagai negara pengimpor minyak, agar hal yang terjadi pada Sri Lanka tidak terulang, di mana cadangan devisa dalam negeri memadai.