Analis: Ekonomi Global 2023 dalam Bayang-bayang Resesi dan Ancaman Stagflasi
harapan pelaku pasar bahwa inflasi Amerika Serikat (AS) akan segera terkendali, dan suku bunga kembali turun telah buyar
Penulis:
Yanuar R Yovanda
Editor:
Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis pasar modal Hans Kwee mengatakan, harapan pelaku pasar bahwa inflasi Amerika Serikat (AS) akan segera terkendali, dan suku bunga kembali turun telah buyar.
Hal tersebut dikarenakan pernyataan Bank Sentral AS atau The Fed yang masih akan tetap agresif dalam penetapan suku bunga acuan ke depan.
"Ekonomi global tahun 2023 di bayang-bayangi resesi global dan ancaman stagflasi," ujar dia melalui risetnya, Senin (3/10/2022).
Baca juga: Ekonomi Global Terkontraksi, Sejumlah Negara Ini Terancam Masuk ke Jurang Resesi
Diketahui, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps), sehingga kini suku bunga acuan AS yaitu Federal Fund Rates (FFR) berada di level 3,25 persen.
Namun, lanjut Hans, yang mengejutkan adalah proyeksi dan arah suku bunga ke depan yang dirilis oleh Komite Pengambil Kebijakan (FOMC).
"FFR diperkirakan bisa sampai 4,4 persen akhir tahun 2022, naik dari proyeksi pada Juni sebesar 3,4 persen. Apabila menganut proyeksi tersebut berarti dalam dua pertemuan terakhir, Fed akan menaikkan suku bunga acuan 100 bps atau masing-masing 50 bps pada setiap pertemuan," katanya.
Kemudian, The Fed diperkirakan akan mendorong kisaran target suku bunga acuan menjadi antara 4,75 persen dan 5 persen pada kuartal I 2023.
Adapun proyeksi suku bunga untuk akhir tahun 2023 tetap pada 4,6 persen, sedangkan pada akhir tahun 2024 naik menjadi 3,9 persen dari 3,4 persen.
"Sementara, prospek suku bunga acuan jangka panjang tetap pada 2,5 persen. Hal ini membuyarkan harapan pelaku pasar yang memperkirakan Fed akan mulai memangkas suku bunga acuan di tahun 2023," pungkas Hans.
Apa itu Stagflasi yang Diwanti-wanti Bank Dunia? Berikut Pengertian, Penyebab dan Dampaknya
Melansir dari Investopedia, stagflasi adalah situasi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan tingkat pengangguran yang tinggi disertai dengan inflasi. Pembuat kebijakan moneter menemukan kombinasi ini sangat sulit untuk ditangani, karena upaya untuk memperbaiki salah satu faktor dapat memperburuk faktor lainnya.
Istilah stagflasi pertama kali disebutkan oleh politisi Inggris Iain MacLeod di hadapan parlemen Inggris pada tahun 1965. "Stag" berasal dari suku kata pertama "Stagnasi", yang merujuk pada menurunnya kondisi ekonomi, sementara "flasi" diambil dari kata "inflasi", yang merujuk pada naiknya harga barang-barang secara umum dan terjadi secara terus menerus.
Istilah ini dihidupkan kembali di Amerika Serikat selama krisis minyak tahun 1970-an, yang menyebabkan resesi selama lima kuartal berturut-turut dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) menuju ke zona negatif.
Efek stagflasi diilustrasikan melalui misery indeks, yang mengukur tingkat inflasi dan tingkat pengangguran serta melacak dampak nyata dari stagflasi bagi penduduk di suatu negara.
Penyebab Stagflasi
Belum ada kesepakatan nyata di antara para ekonom mengenai penyebab stagflasi. Mereka telah mengajukan beberapa pendapat untuk menjelaskan bagaimana stagflasi dapat terjadi.
1. Kenaikan Harga Minyak
Salah satu teori menyatakan bahwa stagflasi disebabkan oleh kenaikan tiba-tiba harga minyak.
Krisis minyak tahun 1970-an adalah contoh utamanya. Pada bulan Oktober, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengeluarkan embargo terhadap negara-negara Barat. Hal ini menyebabkan harga minyak dunia meningkat secara drastis, sehingga meningkatkan biaya barang dan berkontribusi pada peningkatan pengangguran.
Naiknya biaya transportasi karena melonjaknya harga minyak, mendorong kenaikan biaya produksi dan harga barang-barang di tengah banyaknya orang yang diberhentikan dari pekerjaan mereka.
2. Kebijakan Ekonomi yang Buruk
Teori lainnya menyebut kebijakan ekonomi yang buruk dapat menimbulkan stagflasi. Regulasi pasar, barang dan tenaga kerja yang keras dalam lingkungan inflasi disebut-sebut sebagai kemungkinan penyebab stagflasi.
Beberapa ekonom memberikan contoh yaitu kebijakan ekonomi semasa pemerintahan Presiden AS Richard Nixon, yang diyakini menjadi penyebab resesi pada tahun 1970. Nixon mengenakan tarif impor serta membekukan upah dan harga selama 90 hari dalam upaya untuk mencegah kenaikan harga. Begitu kontrol harga dilonggarkan, kenaikan harga yang cepat menyebabkan kekacauan ekonomi.
3. Hilangnya Standar Emas
Standar emas atau gold standard adalah sistem moneter di mana mata uang suatu negara memiliki nilai yang terkait langsung dengan emas. Artinya, satu dolar atau mata uang lainnya dapat ditebus dengan jumlah emas yang sudah ditentukan.
Baca juga: Prediksi Pasar Saham di Kuartal Keempat, Inflasi Global Masih Perlu Diwaspadai Investor
Teori lain menunjukkan penghapusan sistem moneter ini berkontribusi menyebabkan stagflasi. Nixon menghapus sisa-sisa dari sistem moneter standar emas, yang banyak digunakan di awal abad ke-20, menjatuhkan sistem Bretton Woods yang telah mengendalikan nilai tukar mata uang.
Keputusan ini menghapus dukungan komoditas untuk mata uang dan menempatkan dolar AS serta sebagian besar mata uang dunia lainnya atas dasar fiat, mengakhiri sebagian besar kendala praktis pada ekspansi moneter dan devaluasi mata uang.
4. Gangguan Rantai Pasok
Ini adalah kejadian yang tidak terduga, seperti gangguan pasokan minyak atau kekurangan suku cadang penting. Gangguan ini terjadi selama pandemi Covid-19 dengan terganggunya pengiriman semikonduktor yang memperlambat produksi dari mulai smartphone, laptop hingga mobil.
Dampak Stagflasi
Munculnya stagflasi jelas akan menimbulkan berbagai dampak seperti penurunan daya beli masyarakat. Berikut ini berbagai dampak yang disebabkan oleh terjadinya stagflasi:
1. Penurunan daya beli masyarakat
Stagflasi secara umum diawali dengan adanya lonjakan inflasi yang mendorong harga kebutuhan pokok seperti bahan pangan dan bahan bakar melonjak. Kenaikan harga akan menyebabkan penurunan daya beli masyarakat yang kemudian akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lambat.
2. Jatuhnya pendapatan berbagai perusahaan
Agar tetap kompetitif dan dapat bersaing dengan produsen lainnya, perusahaan-perusahaan harus menurunkan harga. Dengan keadaan ini, maka keuntungan sektor bisnis yang mencakup industri, manufaktur, perdagangan, perumahan dan jasa akan merosot tajam. Pada akhirnya, mereka juga bisa mengalami kerugian bahkan kegiatan bisnis mereka bisa terancam gulung tikar.
3. Anjloknya Nilai Investasi
Karena banyak perusahaan yang merugi, tentu saja harga saham perusahaan tersebut ikut terseret turun dan merosot ke level terendah. Efek domino ini akan berlangsung dengan cepat hingga indeks harga saham di suatu negara anjlok. Alasan inilah yang membuat para investor menjual sahamnya dan mengalihkan ke aset keuangan lainnya.
Stagflasi dalam Sejarah
Kompleksitas ekonomi modern dan sistem perdagangan global yang saling berhubungan, menciptakan lingkungan di mana stagflasi mungkin terjadi.
Melansir dari USNews, pada tahun 1970-an, setelah embargo minyak diberlakukan ke Amerika Serikat oleh beberapa negara pengekspor minyak, menyebabkan biaya minyak naik lebih tinggi yang memicu terjadinya inflasi. Pengurangan pasokan energi yang cepat dan signifikan mengakibatkan hilangnya pekerjaan dan mengganggu produksi barang-barang.
Ada ancaman stagflasi saat dunia dihantam pandemi Covid-19 pada tahun 2020, yang menyebabkan gangguan rantai pasokan dan naiknya biaya bahan baku hingga memaksa sejumlah bisnis berhenti beroperasi. Namun ekonomi global mulai bangkit kembali pada tahun 2021, karena vaksin diluncurkan dan dilonggarkannya pembatasan pandemi Covid-19.
Baru-baru ini, perang di Ukraina telah mengakibatkan gangguan pasokan dan stagflasi khususnya di Eropa, di mana sanksi ekonomi terhadap Rusia telah membatasi pasokan minyak dan gas.
Bisakah Stagflasi Dicegah?
Pemerintah dan bank sentral dapat menerapkan kebijakan yang dapat mengurangi kemungkinan stagflasi atau keparahan dari situasi tersebut. Pengambilan risiko yang diperhitungkan merupakan kunci dari menghadapi situasi ekonomi yang sulit, karena mengarah pada peningkatan pengeluaran dan pertumbuhan ekonomi.
1. Memotong Upah Tenaga Kerja
Dengan melakukan pemotongan upah tenaga kerja, maka perusahaan bisa memproduksi lebih banyak barang. Dengan begitu, kegiatan ekspor bisa terus dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Namun pemotongan upah ini harus diikuti dengan pemberian subsidi dari pemerintah. Sehingga daya beli masyarakat meningkat serta jumlah uang yang beredar dapat terjaga.
2. Melakukan Revaluasi
Revaluasi adalah suatu upaya untuk menaikkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing. Ini dianggap sebagai salah satu solusi jangka pendek untuk mengatasi stagflasi, khususnya pada bagian inflasinya. Namun cara ini dapat menghabiskan devisa negara. Untuk itu, cara ini tidak dapat dilakukan secara terus-menerus karena dapat membebani keuangan negara.