Beda Pandangan Bappenas dan Kemenkeu soal Target Pertumbuhan Ekonomi, Ini Kata CELIOS
Bhima Yudhistira Adhinegara mengkritik target pertumbuhan ekonomi tahun 2026 yang dinilai terlalu tinggi dan tidak realistis.
Penulis:
Dennis Destryawan
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengkritik target pertumbuhan ekonomi tahun 2026 yang dinilai terlalu tinggi dan tidak realistis.
Bhima menilai seharusnya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
"Bappenas seharusnya bisa berkoordinasi dulu, khususnya dengan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Karena dengan menargetkan target pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi, itu kan nanti akan menjadi pertimbangan dalam perumusan RAPBN 2026, terutama dalam asumsi makro,” ujar Bhima di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Baca juga: Bappenas Bidik Pertumbuhan Ekonomi RI Pada 2026 Sebesar 6,3 Persen
Menurutnya, kondisi saat ini tidak mendukung pertumbuhan tinggi. Harga komoditas ekspor sedang turun, sehingga jika target pertumbuhan terlalu tinggi, akan menimbulkan potensi shortfall penerimaan negara dari sumber daya alam.
“Padahal kondisi sekarang komoditas ekspornya sedang turun, artinya kalau menargetkan terlalu tinggi nanti akan terjadi shortfall penerimaan dari sisi sumber daya alam,” tambahnya.
Bhima juga menyinggung situasi geopolitik global yang penuh ketidakpastian. Meski eskalasi konflik sedikit menurun, perang Rusia-Ukraina masih berlangsung dan bisa memengaruhi kinerja ekspor serta investasi langsung.
“Kondisi geopolitik ini kan juga konflik eskalasinya meskipun sedikit turun, tapi masih banyak ketidakpastian. Perang di Rusia, Ukraina juga masih terjadi. Nah itu juga harusnya menjadi pertimbangan,” jelasnya.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 Jadi 4,7 Persen-5 Persen
Tak hanya itu, Bhima menyoroti lemahnya kontribusi program pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Program seperti Makan Bergizi Gratis, Food Estate, dan Kopdes Merah Putih dinilai belum mampu menjadi motor penggerak ekonomi karena anggarannya besar namun dampaknya minim.
“Hampir tidak ditemukan motor pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari program pemerintah. Khususnya Makan Bergizi Gratis, food estate misalnya, atau Koperasi Desa Merah Putih, itu memakan anggaran yang besar tapi tidak bisa mendorong atau me-leverage pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi,” kata Bhima.
Apalagi, kata dia, pemerintah tengah melakukan efisiensi anggaran yang membuat pertumbuhan ekonomi di daerah melambat. Belum ada pula kebijakan konkret untuk mendorong konsumsi rumah tangga—padahal itu merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Belum ada kebijakan yang bisa mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga, padahal sebagian besar motor ekonomi sumbernya dari konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Bhima pun mengingatkan pentingnya koordinasi lintas kementerian agar asumsi makro dan target pertumbuhan tidak melenceng jauh dari realitas.
“Kalau tidak ada kebijakan yang mendasari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di 2026, maka seharusnya dibuat lebih realistis pertumbuhan ekonominya. Jadi ini masalah koordinasi yang masih kurang juga antar lintas kementerian, sehingga masing-masing lembaga mempunyai asumsi pertumbuhan ekonomi yang tidak rasional,” jelasnya.
Ia mengkhawatirkan jika hal ini dibiarkan, akan berdampak pada target penerimaan pajak, penciptaan lapangan kerja, dan program-program pemerintah lainnya.
“Dikhawatirkan nanti akan berpengaruh ke target penerimaan pajak, berpengaruh terhadap penciptaan lapangan kerja, program-program pemerintah mana yang menjadi fokus,” pungkas Bhima.
Sebelumnya, Kepala Bappenas Rachmat Pambudy angkat bicara terkait perbedaan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2026 antara Bappenas dan Kemenkeu.,
Rachmat menyebut proyeksi Bappenas sebesar 6,3 persen merupakan angka yang moderat, namun tetap disusun dengan penuh kehati-hatian.
“Terus terang, angka 5,8 sampai 6,3 (persen) itu sebenarnya moderat juga. Karena kesempatan kita untuk angka lebih tinggi dari itu, ya tapi kan kita harus hati-hati juga,” kata Rachmat dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR membahas RKA/RKP 2026 di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (3/7).
Rachmat mengatakan pendekatan perencanaan yang digunakan Bappenas berbeda dari Kemenkeu yang berbasis penganggaran.
“Jadi, kalau Menteri Keuangan, ini berdasarkan penganggaran. Kami berdasarkan perencanaan,” ucapnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.