Bertemu Anies di Pasar Rau Serang, Tito Karnavian Ajak Bahas Beras SPHP
Anies Fuad yang nama depannya mirip mantan Gubernur DKI Jakarta, tersebut sehari-harinya berdagang beras di Pasar Rau.
Penulis:
Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, SERANG - Ada momen menarik ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melakukan inspeksi mendadak (sidak) di Pasar Rau, Serang, Banten, siang tadi, Rabu, 20 Agustus 2025.
Saat itu melakukan sidak bersama Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani, Tito bertemu pedagang beras bernama Anies.
Anies Fuad yang nama depannya mirip mantan Gubernur DKI Jakarta, tersebut sehari-harinya berdagang beras di Pasar Rau.
Saat rombongan Tito menyambangi kios Anies dan mereka menanyakan perkembangan harga beras SPHP, Anies Fuad menyatakan kondisinya aman. Sampai obrolan ini Tito dan rombongan tidak tahu siapa nama pedagang yang diajaknya mengobrol.
Kemudian, setelah membahas seputar beras, Arief Prasetyo Adi bertanya siapa nama dari pedagang tersebut.
"Pak, siapa namanya?" Penjual berbaju merah itu menjawab, "Anies Fuad." Arief pun merespons dengan guyon.
"Waduh, mantan Gubernur DKI berarti."
Tito tak ketinggalan berkelakar. "Saudara satu nenek moyang," katanya sambil tersenyum.
Dalam kesempatan tersebut, mereka juga berbincang mengenai polemik beras oplosan yang sedang ramai di masyarakat.
Di situ, Arief menjelaskan bahwa beras yang tidak boleh dioplos adalah beras SPHP dengan jenis beras lain. Praktik mencampurkan beras yang boleh itu seperti mencampur beras antar varietas, di mana ini tak merugikan konsumen.
Anies menjelaskan, para pedagang mencampur beras bukan hanya demi meraih keuntungan, tetapi juga untuk mendapatkan harga sekaligus rasa yang pas.
Ia mencontohkan ketika membeli beras dari Karawang dan Indramayu yang masing-masing memiliki ciri khas berbeda.
"Ini beras dari Karawang terlalu pulen, (makanya dicapir beras) dari Indramayu biar pas. Jadi, enggak semata-mata mengoplos itu buat keuntungan," ujarnya.
Tito sepakat dengan Anies dengan menyebut rasa beras itu kembali lagi ke preferensi masyarakat.
Anies kemudian melanjutkan dengan menyebutkan bahwa permintaan pengoplosan beras itu terkadang juga datang langsung dari masyarakat.
Ia bercerita memiliki pelanggan yang berjualan nasi padang. Pelanggan tersebut protes jika dikasih murni beras yang dibeli dari Indramayu atau Karawang.
"Dia kalau dikasih beras dari Karawang ngomel (karena) kepulenan, (protes) dari Indramayu terlalu keras. Sudah diinikan (dicampur) saja," kata Anies menirukan permintaan konsumennya.
Arief yang saat itu berdiri sebelah Tito pun menimpali bahwa konsumen juga kadang kerap ingin beras yang wangi, sehingga perlu dicampur.
Mereka pun sepakat bahwa praktik mengoplos beras antar varietas bisa dilakukan, tetapi tidak dengan beras SPHP yang dikeluarkan Perum Bulog.
Sebelumnya, anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika pernah menyebut praktik pengoplosan atau pencampuran beras sebenarnya adalah hal yang wajar dan sudah berlangsung sejak lama.
Yeka mengaku kurang setuju dengan penggunaan istilah “oplos” yang belakangan ramai digunakan untuk menyebut beras campuran.
Ia mencontohkan bagaimana pencampuran beras antarvarietas itu tidak masalah selama tidak merugikan konsumen. Contohnya seperti antara varietas Inpari 32 dengan Ciherang.
Kemudian contohnya lagi percampuran antara beras Pandan Wangi dan Cilamaya.
Beras Pandan Wangi yang memberi aroma wangi, kalau dicampur dengan beras Cilamaya disebut tetap saja aroma wanginya akan muncul.
Baca juga: Mendagri Temukan Harga Tomat di Pasar Rau Serang Anjlok dan Stok Migor Menipis
"Beda varietasnya, tapi sama-sama bentuk berasnya itu panjangan. Boleh enggak dicampur? Boleh. Bentuk fisiknya kalau sudah jadi beras enggak bisa dibedakan, bentuk rasanya juga nggak bisa dibedakan," katanya kepada wartawan di Jakarta, dikutip Sabtu (9/8/2025).
Selain itu, mencampur beras antar mutu fisik berasnya juga dinilai tak bermasalah.
"Jadi butir patah, butir utuh, itu boleh dicampur. Terus juga proses pencampuran antara beras lama dengan beras baru," ujar Yeka.
"Terus juga kalau saya main ke Bulog, pencampuran antar beras dalam dan luar negeri itu sah-sah saja. Selama itu diperdagangkan, itu aman konsumsi," lanjutnya.
Yeka menilai praktik mencampur beras justru menguntungkan masyarakat karena menciptakan variasi harga.
Dia bilang, adanya harga beras yang bervariasi mulai dari Rp 12.000 hingga Rp 16.500 itu akibat ada proses pencampuran.
Baca juga: Mendag Sebut Harga Beras Mulai Turun, Stok di Ritel Modern Banyak
"Jadi, oplosan itu praktik yang lazim saja. Pencampuran itu lumrah terjadi dari sejak dulu, mungkin dari sejak saya lahir," kata Yeka.
Ia pun menegaskan bahwa hal yang tidak dibolehkan adalah membohongi konsumen. Yeka menyebut pencampuran beras yang tidak boleh itu jika melibatkan beras SPHP.
Beras SPHP yang sudah dikemas oleh Bulog tidak boleh dibuka, dicampur, lalu dijual kembali dengan harga komersial.
Berikutnya yang tidak boleh lagi adalah pemalsuan label. Contohnya beras Rojolele, tapi ternyata di dalamnya bukan. Ini berarti membohongi konsumen.
Pemalsuan label itu juga seperti misalnya yang dicantumkan adalalah campuran pandan wangi 70 persen dan cilamaya 30 persen, tetapi kenyataannya 50-50.
Bulog Baru Salurkan Beras SPHP 45 Ribu Ton dari Target 1,3 Juta Ton Juli-Desember 2025 |
![]() |
---|
Mendagri Temukan Harga Tomat di Pasar Rau Serang Anjlok dan Stok Migor Menipis |
![]() |
---|
Mendagri Bersama Kepala Bapanas-Dirut Bulog Sidak Harga Bahan Pokok di Pasar Rau Serang Banten |
![]() |
---|
Anggota DPR Khawatir Pembangunan Daerah Mandek Akibat Penurunan Anggaran TKD |
![]() |
---|
Ketua Koperasi Pegadang PIBC Sebut Harga Beras Sudah Mulai Turun di Cipinang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.