Pakar Logistik Usulkan Pilot Project Zero ODOL di Wilayah Tertentu
Kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Overloading) dinilai tidak bisa diterapkan serentak di seluruh Indonesia.
Penulis:
Eko Sutriyanto
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Overloading) dinilai tidak bisa diterapkan serentak di seluruh Indonesia.
Menurut Pakar Logistik Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI) Dodi Permadi, pemerintah perlu mengedepankan pendekatan insentif serta memulai penerapan melalui pilot project di wilayah tertentu.
Dodi menilai, selama ini kebijakan transportasi kerap lebih menekankan aspek sanksi, sehingga sulit diterima oleh pelaku usaha.
Baca juga: Kementerian Perhubungan Bentuk Satgas Atasi Persoalan Kendaraan ODOL
“Kalau saya lihat, dalam setiap peraturan pemerintah yang dikedepankan selalu sanksi. Ini yang membuat kebijakan Zero ODOL sulit diterapkan,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih dulu memikirkan insentif, mengingat potensi lonjakan biaya operasional yang harus ditanggung pelaku usaha bila armada ODOL dipaksa langsung sesuai standar.
Sebagai contoh, Dodi menyarankan adanya pemotongan tarif tol hingga 50 persen pada periode tertentu atau subsidi harga bahan bakar untuk armada non-ODOL.
“Jika biaya produksi bisa ditekan, saya yakin para pengusaha juga akan bersedia mengurangi beban truknya,” katanya.
Lonjakan Biaya Hingga 500 Persen
Dari hasil kajian mahasiswa bimbingannya pada sebuah BUMD di sektor pertanian dan pupuk di Bali, Dodi menemukan fakta mengejutkan.
Perusahaan tersebut harus menanggung kenaikan biaya operasional hingga 500 persen jika kebijakan Zero ODOL diterapkan tanpa insentif.
“Di Bali saja biayanya sudah sebesar itu, apalagi di Jabodetabek. Kalau diterapkan serentak, pasti akan sulit dan bisa menimbulkan demo di mana-mana,” ujarnya.
Pilot Project di Wilayah yang Terkendali
Dodi mengusulkan agar kebijakan Zero ODOL dijalankan bertahap dengan uji coba di satu wilayah terlebih dahulu.
“Mungkin bisa dimulai dari daerah yang lebih mudah dikendalikan, seperti Bali atau Jawa Tengah. Biarkan daerah itu jadi contoh, sambil pemerintah memberikan insentif agar para pelaku usaha bisa menyesuaikan diri,” tegasnya.
Menurutnya, jika pilot project berhasil, pengalaman tersebut bisa direplikasi ke wilayah lain secara bertahap.
Baca juga: MTI: Harus Ada Langkah Berani dari Pemerintah untuk Tertibkan Truk ODOL
Insentif sebagai Motor Kepatuhan
Sejalan dengan pandangan Dodi, pemerhati transportasi Muhammad Akbar juga menilai insentif adalah kunci keberhasilan Zero ODOL.
Menurutnya, kebijakan yang hanya menitikberatkan pada sanksi akan timpang dan sulit diterima pelaku industri logistik, terutama dengan margin keuntungan yang tipis.
“Kebijakan transportasi yang efektif tidak bisa hanya bertumpu pada penegakan hukum. Harus ada ekosistem yang mendorong kesadaran kolektif untuk taat aturan,” jelas Akbar.
Ia menyarankan beberapa bentuk insentif yang layak dipertimbangkan, seperti: diskon tarif tol bagi kendaraan non-ODOL, subsidi BBM bagi armada sesuai standar dimensi dan muatan.
Kemudian diskon servis kendaraan di bengkel resmi yang bekerja sama dengan pemerintah, kemudahan pembiayaan berbunga rendah untuk mengganti armada ODOL dengan kendaraan standar.
“Dengan insentif nyata, kepatuhan tidak lagi terasa sebagai beban, tetapi sebagai investasi yang masuk akal,” tutup Akbar.
Menhub Dudy Akui Penerapan Zero ODOL Mundur, tapi Tidak Sampai 2027 |
![]() |
---|
Kakorlantas: Penegakan Hukum ODOL Belum Bisa Dilakukan Sebelum Regulasi Siap dan Terintegrasi |
![]() |
---|
Pilu Slamet Barokah Jual Truk demi Patuh Zero ODOL: Kami Taat, Tapi Negara ke Mana? |
![]() |
---|
Audiensi Zero ODOL dengan Kemenhub dan Kemenko Infrastruktur Buntu, Sopir Truk Ancam Mogok Nasional |
![]() |
---|
Tuntutan Demo Sopir Truk: Tunda Aturan Zero ODOL, Tidak Ada Kriminalisasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.