Minggu, 9 November 2025

Pengamat: Banyak Ruas Tol Sepi karena Tarif Mahal dan Perencanaan Tak Realistis

Sejumlah ruas tol di Indonesia belakangan menjadi sorotan karen rendahnya volume lalu lintas setelah beroperasi penuh

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Sanusi
dok.Tribunnews/Sapto Nugroho
TRAFIK RENDAH - Jalan Tol Cibitung–Cilincing (JTCC) di kawasan Marunda, Jakarta. Ada 21 ruas jalan tol di Indonesia dengan tingkat trafik di bawah 50 persen dari asumsi yang tercantum dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Data tersebut merujuk pada realisasi tahun 2024. 
Ringkasan Berita:
  • Sejumlah ruas tol yang baru dibangun di Indonesia sepi dari pengguna jalan karena terlalu mahalnya tarif yang diberlakukan.
  • Saat membuat perencanaan, pemerintah dinilai terlalu optimistis terkait volume/trafik kendaraan yang melintas di ruas tol baru.
  • Menteri PU Dody Hanggodo mengungkapkan ada 21 ruas jalan tol di Indonesia dengan tingkat trafik di bawah 50 persen dari asumsi yang tercantum dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dengan merujuk pada realisasi tahun 2024.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Sejumlah ruas tol di Indonesia belakangan menjadi sorotan karen rendahnya volume lalu lintas setelah beroperasi penuh. Mahalnya tarif tol dan kurangnya konektivitas dengan jalur distribusi diduga menjadi penyebab masih rendahnya pengguna sejumlah ruas jalan tol.

Temuan ini mencuat setelah Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengungkapkan ada 21 ruas jalan tol di Indonesia dengan tingkat trafik di bawah 50 persen dari asumsi yang tercantum dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Data tersebut merujuk pada realisasi tahun 2024.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS) M Gibran Sesunan mengatakan, persoalan utama justru terletak pada perencanaan pemerintah sendiri. 

Baca juga: Laba Inti Meningkat 5,02 Persen, Jasa Marga Fokus Kembangkan 5 Proyek Jalan Tol Strategis

Menurutnya, studi kelayakan (feasibility study) yang menjadi dasar pembangunan tol selama ini terlalu optimistis dan tidak realistis terhadap kondisi ekonomi serta pola mobilitas masyarakat.

“Optimisme yang berlebihan membuat proyeksi lalu lintas dalam studi kelayakan tidak sesuai dengan kenyataan. Akibatnya, banyak proyek yang akhirnya merugi dan sulit memenuhi standar pelayanan minimum,” ujar Gibran.

Ia juga menyoroti mahalnya tarif sebagai faktor penghambat utama. Sebagai contoh, tarif kendaraan golongan 1 di Jalan Tol Manado-Bitung mencapai Rp 1.200 per kilometer untuk sekali melintas, angka yang dinilai memberatkan sektor logistik dan transportasi barang.

Kondisi serupa terjadi di Bengkulu–Taba Penanjung, Krian–Legundi–Bunder–Manyar, Kanci-Pejagan dan sejumlah tol lainnya yang juga dilaporkan sepi pengguna.

Beberapa contoh tol yang dibangun dengan orientasi logistik tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur yang telah dihadirkan belum sepenuhnya memberikan nilai tambah untuk rantai pasok nasional. Padahal, peningkatan akses logistik memiliki peran besar sebagai tulang punggung konektivitas ekonomi dan dapat mendorong penguatan pertumbuhan ekonomi.

Potensi ruas tol eksisting yang belum maksimal ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan pengawasan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) di bawah Kementerian PU. 

Hingga kini, belum ada langkah konkret untuk menurunkan tarif atau meninjau ulang desain bisnis tol-tol yang gagal menarik pengguna. Padahal permasalahan rendahnya trafik pada hingga 21 ruas jalan tol ini berpotensi menjadi “bom waktu” seperti kegagalan pengembalian investasi yang dapat menghambat pengembangan dan pembangunan proyek jalan tol baru di masa depan, hingga terhambatnya pertumbuhan ekonomi.

Baca juga: Jalan Tol Bogor-Serpong via Parung Mulai Dibangun Oktober 2026, Telan Dana Rp 12,3 Triliun

Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan, pihaknya mendorong integrasi infrastruktur melalui pendekatan koridor logistik nasional, langkah tersebut dinilai belum menyentuh akar masalah. Banyak tol baru dibangun tanpa koneksi memadai ke kawasan industri, pelabuhan, atau pusat ekonomi.

“Tanpa integrasi wilayah dan kebijakan pentarifan yang berpihak pada pengguna, pembangunan tol hanya menjadi monumen beton,” ujar Gibran.

Pemerintah disarankan mengaudit BPJT dan meninjau ulang asumsi bisnis dalam proyek tol agar investasi triliunan rupiah benar-benar memberikan manfaat ekonomi, bukan sekadar menambah daftar panjang jalan tol yang sepi pengguna. (tribunnnews/fin)

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved