Sustainable Housing: Tren Sementara atau Kebutuhan Masa Kini?
Sustainable housing merujuk pada desain, pembangunan, dan operasional rumah yang dirancang untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan.
TRIBUNNEWS.COM – Tak bisa dipungkiri bahwa suhu udara saat ini terasa semakin panas dari hari ke hari. Kenyataannya, hal tersebut bukan sekadar perasaan. Berdasarkan data NASA/GISS, suhu rata-rata Bumi telah meningkat 1,28 derajat Celcius, dan tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah.
Selain suhu yang semakin sulit dikendalikan, pola cuaca kini juga semakin tidak bisa diprediksi. Hari yang dimulai dengan terik menyengat dapat berubah menjadi hujan deras hanya dalam waktu singkat.
Situasi ini menegaskan bahwa pemanasan global bukan lagi konsep yang hanya dibahas di buku pelajaran, melainkan kenyataan yang sudah terjadi di depan mata dan harus kita hadapi setiap hari.
Di tengah kondisi tersebut, gaya hidup berkelanjutan mulai banyak diadopsi masyarakat dunia. Laporan Healthy & Sustainable Living 2023 dari GlobeScan mencatat adanya peningkatan kesadaran global untuk hidup lebih ramah lingkungan.
Perubahan ini terlihat dari kebiasaan sederhana seperti membawa tumbler, berbelanja tanpa plastik sekali pakai, mendaur ulang sampah, hingga memilih produk organik. Kini, kesadaran tersebut merambah ke aspek yang lebih besar, termasuk cara masyarakat memilih hunian.
Sustainable Housing: Hunian Masa Depan yang Lebih Bertanggung Jawab
Sustainable housing atau hunian berkelanjutan merujuk pada desain, pembangunan, dan operasional rumah yang dirancang untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan. Prinsip utamanya mencakup efisiensi energi, pengelolaan air, pengurangan sampah, pemilihan material ramah lingkungan, serta penggunaan teknologi hijau.
Green Building Council Indonesia (GBCI) menetapkan sejumlah kriteria untuk menilai suatu bangunan sebagai bangunan hijau. Kriteria tersebut meliputi pemanfaatan lahan secara bijak, efisiensi energi melalui optimalisasi cahaya alami atau penggunaan panel surya, serta penghematan air.
Material yang digunakan juga harus memperhatikan siklus hidup dan potensi daur ulang. Aspek kesehatan dan kenyamanan penghuni pun menjadi bagian penting, sementara pengelolaan lingkungan bangunan harus berlangsung secara berkelanjutan.
Namun ketika seluruh kriteria tersebut diterapkan dalam pembangunan hunian, muncul pertanyaan penting: apakah sustainable housing benar-benar dapat dijangkau dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat?
IG-AHP: Upaya Pemerintah Menghadirkan Hunian Hijau yang Terjangkau
Pada dasarnya, hunian ramah lingkungan seharusnya dapat diakses oleh semua kalangan. Karena itu, pemerintah mengembangkan Indonesia Green Affordable Housing Program (IG-AHP), program yang mencakup adaptasi, mitigasi, sertifikasi, hingga skema pembiayaan rumah hijau.
Baca juga: Program 3 Juta Rumah, Bisakah Orang dengan Gaji UMR Punya Rumah Sendiri?
Melalui Kementerian PUPR, program ini menargetkan pembangunan satu juta rumah hijau pada 2030 serta mewujudkan 100 persen hunian bebas emisi karbon pada 2050. Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah menyiapkan berbagai instrumen pembiayaan, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Hijau, subsidi pemasangan panel surya, insentif pajak untuk pengembangan perumahan hijau, hingga penerbitan Surat Berharga Efek Beragun Aset (EBA) khusus perumahan hijau.
Langkah-langkah ini diharapkan mampu memperkuat ekosistem perumahan hijau di Indonesia, serta membuka peluang lebih luas bagi masyarakat untuk memiliki hunian berkelanjutan. Namun di tengah meningkatnya tren keberlanjutan, muncul pula tantangan baru, salah satunya praktik greenwashing.
Greenwashing: Ketika Istilah “Eco-Friendly” Hanya Jadi Tempelan
Banyak perusahaan kini menggunakan label seperti “green”, “eco-friendly”, atau “natural” untuk menarik minat konsumen, meski sering kali tidak disertai bukti nyata. Klaim yang tidak dapat diverifikasi inilah yang dikenal sebagai greenwashing.
Praktik ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari pernyataan ramah lingkungan tanpa data pendukung, iklan yang tidak sesuai kenyataan, penggunaan istilah material yang terdengar hijau tetapi ambigu, hingga penempelan label “eco-friendly” tanpa standar yang jelas.
Karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai klaim keberlanjutan. Memahami rekam jejak produsen, memilih produk secara bijak, dan menerapkan pola konsumsi yang lebih sadar menjadi langkah awal untuk menghindari praktik menyesatkan seperti ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.