Kamis, 18 September 2025

Kerusuhan di Mesir

Mubarak dan Soeharto: Pahlawan Jadi Pecundang

MASUK sebagai pahlawan, keluar sebagai pecundang. Itulah kisah berulang kehidupan para pemimpin besar dunia yang terjebak dalam jabatan

Editor: Dahlan Dahi
zoom-inlihat foto Mubarak dan Soeharto: Pahlawan Jadi Pecundang
IST
Presiden Barack Obama bertemu dengan Presiden Mubarak

MASUK sebagai pahlawan, keluar sebagai pecundang. Itulah kisah berulang kehidupan para pemimpin besar dunia yang terjebak dalam jabatan yang disandangnya. Kali ini, kisah itu menimpa Presiden Mesir Hosni Mubarak.

Meski terpisah jarak ribuan kilometer dan memimpin dua negeri yang jauh berbeda di zaman yang berbeda pula, kisah kehidupan Mubarak seperti mengingatkan pada kisah hidup presiden ke-2 RI, Soeharto.

Kedua tokoh itu memiliki latar belakang kehidupan yang hampir sama: meniti karier militer yang gemilang, naik ke pucuk kepemimpinan nasional setelah sebuah tragedi berdarah, berhasil memajukan negara masing-masing secara ekonomi, memerintah dengan tangan besi tetapi menikmati dukungan penuh negara-negara kampiun demokrasi dan penegak HAM dari Barat, serta bahkan terjatuh dari takhta dengan cara yang kurang lebih serupa.

Muhammad Hosni Sayyid Mubarak lahir di kota Kafr El-Meselha, Provinsi Monufia, di kawasan subur Delta Sungai Nil, 4 Mei 1928. Ayahnya pegawai negeri rendahan di Kementerian Kehakiman Mesir waktu itu.

Tak banyak yang diketahui soal masa kecil Mubarak. Mirip seperti Soeharto, kisah kehidupannya seolah dimulai saat ia bergabung dengan militer. Jika Soeharto menempuh jalur Angkatan Darat, Mubarak muda tertarik menjadi pilot pesawat tempur.

Setelah lulus dari Akademi Militer Mesir, 1949, Mubarak masuk Akademi Angkatan Udara Mesir. Ia lulus sebagai perwira pilot pada 13 Maret 1950 dan bergabung dalam skuadron pesawat tempur Spitfire sebelum kembali ke akademi menjadi instruktur pesawat tempur hingga akhir dekade 1950-an.

Di Angkatan Udara inilah karier Mubarak melesat. Memasuki dekade 1960-an, yang merupakan puncak ketegangan Perang Dingin antara blok Barat dan Timur, Mubarak mengikuti beberapa pelatihan penerbang di Uni Soviet (termasuk menjadi pilot pesawat pengebom Ilyushin Il-28 dan Tupolev Tu-16) serta mengikuti pendidikan pascasarjana militer di Akademi Militer Frunze di Moskwa, Rusia.

Pulang ke Mesir, ilmu yang didapat dari Uni Soviet membuat Mubarak dipercaya menjadi komandan skuadron dan kemudian pada Oktober 1966 diangkat sebagai Komandan Pangkalan Udara Kairo Barat lalu dipindah sebagai Komandan Pangkalan Udara di Beni Suef. Kariernya terus menanjak, menjadi Komandan Akademi Angkatan Udara pada November 1967, kemudian menjadi Kepala Staf AU Mesir dua tahun kemudian.

Susanna Kim, dalam laporannya di ABC News (www.abcnews.go.com) 2 Februari lalu, menyebutkan, sebagian besar kekayaan Mubarak, yang totalnya saat ini 40-70 miliar dollar AS (Rp 357 triliun-Rp 625 triliun) diperoleh dari beberapa kontrak militer yang ia buat selama menjabat sebagai perwira tinggi di AU ini.

Pada saat pecah Perang Yom Kippur atau Perang Oktober melawan Israel pada 1973, Mubarak, yang berpangkat mayor jenderal pada waktu itu, sudah menjabat sebagai Panglima Angkatan Udara dan Wakil Menteri Pertahanan Mesir.

Inilah momen penting dalam karier Mubarak, yang serupa dengan momen yang didapat Soeharto saat ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat, 1962.

Dalam perang keempat antara Mesir dan Israel itu, Mubarak berhasil mengorganisasi sistem pertahanan udara yang mampu menahan serangan masif Angkatan Udara Israel. Dalam situs AU Mesir (www.mmc.gov.eg) disebutkan, berkat perencanaan matang, disiplin tinggi, dan kecermatan memilih para pembantunya, Mubarak berhasil menahan gempuran lebih dari 200 pesawat tempur Israel dalam pertarungan udara selama lebih dari 50 menit di atas Pangkalan Udara Mansoura, Mesir, 14 Oktober 1973.

Mubarak pun menjadi pahlawan. Berkat prestasinya ini, pangkat Mubarak dinaikkan menjadi marsekal utama (setingkat letnan jenderal).

Begitu terkesannya Presiden Mesir Anwar Sadat waktu itu dengan figur Mubarak sehingga dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Wakil Presiden Mesir dan menjadi salah satu anggota senior Partai Nasional Demokrat (NDP) yang berkuasa. Inilah perkenalan pertama Mubarak dengan dunia politik.

Saat Soeharto naik ke kekuasaan di atas puing-puing tragedi berdarah G30S 1965, demikian juga Mubarak yang menjadi Presiden Mesir dan Ketua NDP setelah pembunuhan Anwar Sadat pada 1981. Entah bagaimana, Mubarak, yang duduk persis di sebelah Sadat dalam sebuah parade militer di Kairo, 6 Oktober 1981, selamat dari serangan granat dan berondongan senapan otomatis para prajurit Mesir yang tak suka dengan kebijakan Sadat membuat perjanjian damai dengan Israel.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan