Pengamat: Polwan Terpapar Radikalisme, Indikasi Tanda Bahaya Nyata
Dalam wawancara dengan DW Indonesia, Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengatakan bahwa keterpaparan aparat terhadap paham…
Bripda Nesti Ode Samili, seowang polwan yang sebelumnya berdinas di Polda Maluku Utara akhirnya dipecat. Polisi menyebut Nesti punya keterkaitan dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi. Nesti yang sudah terpapar paham radikal disebut-sebut sedang dipersiapkan untuk menjadi pengantin alias eksekutor bom bunuh diri.
Nesti diduga terpapar paham radikal meski awalnya mempelajari paham radikal secara otodidak lewat media sosial. Dia juga disebut pernah berinteraksi dengan pimpinan JAD Bekasi, Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghuroba.
Sudah separah apa infiltrasi paham radikalisme di tubuh aparatur negara baik itu TNI maupun Polri? Lembaga apa lagi yang menjadi sasaran penyebaran paham radikalisme di Indonesia? Deutsche Welle Indonesia mewawancarai Halili, Direktur Riset Setara Institute, terkait masalah ini
Deutsche Welle : Apakah ada data berapa banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah terpapar radikalisme?
Halili: Kita tidak punya penelitian spesifik tentang keterpaparan anggota polisi, tapi indikasi awalnya sebenarnya sudah kami sampaikan sekitar April 2019 bahwa ASN dan para penyelenggara negara ini merupakan salah satu target strategis yang disasar oleh kelompok-kelompok radikal jaringan sel-sel teror untuk penyebaran wacana narasi dan gerakan radikalisme.
Sudah segawat apa kondisi ini?
Saya tegas mengatakan bahwa ini tanda bahaya yang sangat nyata. Ini sudah alert saya kira karena selain ASN dan kepolisian itu juga konfirmasi dari paling tidak Kementerian Pertahanan (menyatakan) tentara juga sudah mulai diinfiltrasi. Cerita tentang seorang calon TNI/Polri atau sekolah tentara yang di Magelang itu juga cerita tentang bagaimana juga tentara potensial (untuk direkrut). Selain itu yang juga menarik adalah infiltrasi di kalangan BUMN, artinya mereka sisi itu sudah menguasai paling tidak tiga fokus strategis untuk sumber daya radikalisme dan terorisme.
Yang pertama adalah locus pendidikan sumber daya manusianya artinya lembaga pendidikan. Sudah banyak lembaga yang menegaskan bahwa lembaga pendidikan terpapar (radikalisme) kemudian yang kedua birokrasi pemerintahan. Riset Setara Institute sendiri sudah menegaskan sejak awal bahwa mekanisme dan instruksi pengawasan di ASN itu tidak memiliki kemampuan dan daya jangkau yang memadai untuk mencegah dan memberikan sanksi penanganan atas merebaknya radikalisme dan terorisme di birokrasi pemerintahan. Itu menciptakan lingkungan yang memungkinkan penyebaran terorisme.
Yang ketiga adalah soal aparat keamanan baik TNI maupun Polri artinya mereka sebenarnya sudah semacam menguasai potensi atau jaringan pemerintahan yang memiliki akses langsung terhadap persenjataan baik dari sisi informasi maupun dari sisi materil. Ini 'kan tentu merupakan sinyal bahaya yang berat.
Yang lain adalah suplai sumber dana. BUMN kita tahu merupakan salah satu "ATM” yang diincar juga oleh kelompok radikal ini dan secara nyata mereka mulai melakukan penguasaan paling tidak dari diagnostic search yang dilakukan oleh Setara Institute ada indikasi BUMN merupakan sasaran penyebaran terorisme. Saya kira riset-riset lain misalnya ketika menyebut misalnya masjid-masjid BUMN merupakan salah satu locus penyebaran narasi-narasi keagamaan yang radikal itu merupakan sinyal lebih awal yang juga ditangkap Setara Institute.
Seperti apa yang Anda maksudkan dengan 'adanya penguasaan' ini?
Kalau kita melihat misalnya bagaimana strategi kelompok-kelompok ini, kita bisa baca secara umum bagaimana ilusi negara Islam yang dibayangkan oleh mereka. Tentu yang pertama dimulai dari bagaimana menyebarkan kekerasan dan itu dilakukan melalui lembaga pendidikan. Paling tidak ada tiga riset yang Setara bisa kemukakan untuk memberikan argumentasi jelas bahwa lembaga pendidikan merupakan locus critical atau locus yang sudah kritis terpapar terror.
Yang pertama adalah lembaga pendidikan menengah. Saya kira sudah sejak lama beberapa penelitian mengkonfirmasi ini. Survey kami di 171 SMA Negeri pada tahun 2016 sudah menjelaskan itu. Yang kedua riset di 10 kampus yang kami rilis pada bulan April lalu juga menegaskan situasi serupa bahwa perguruan tinggi itu merupakan salah satu sasaran strategis bagi penyebaran paham paham keagamaan ekslusif. Kemudian kami juga punya survei tentang geopolitik keagamaan di 10 perguruan tinggi. Riset ini kuantitatif jelas dan ada sekitar 8,1 persen kelompok keagamaan formalis yang menginginkan agar doktrin kegamaan itu menjadi institusi formal bagi kelembagaan. Ini menandakan bahwa sebenarnya penyebaran gagasan melalui lembaga pendidikan hampir bisa kita katakan sempurna dilakukan oleh mereka di tengah kelalaian kita dalam dua dekade terakhir melakukan screening melakukan pencegahan pemaparan ini di lingkungan pendidikan
Kemudian bergeser ke yang lain yaitu pada sisi akses. Tadi saya katakan akses terhadap informasi, jaringan pembuatan misalnya bom atau senjata yang bisa diindikasikan dengan mulai terkuaknya keterpaparan polisi dan tentara. Ini menegaskan bahwa mereka tidak hanya menyasar lembaga pendidikan tetapi juga menggunakan instrumen-instrumen negara yang secara spesifik berkaitan dengan penguasaan alat-alat kekerasan seperti senjata untuk menyebarkan apa yang sering kita sebut sebagai ekstrimisme kekerasan atau teror.