Rabu, 17 September 2025

Virus Corona

Media Asing Sebut Tes Covid-19 di Indonesia Telah Menjadi 'Ladang Bisnis'

Keputusan menerapkan 'new normal' diambil pemerintah untuk memutar kembali roda ekonomi meski pandemi belum berakhir.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/Jeprima
Foto ilustrasi. 

"Presiden yang memimpin langsung, kemudian semua Kementerian bergerak sesuai tupoksinya," kata Pandu.

Pandu mencontohkan, dalam kasus rapid test, Gugus Tugas mungkin bisa membuat regulasi, tapi tidak bisa mengontrol kualitas rapid test di Indonesia.

"Yang punya sistem dan bisa mengontrol sesuai tupoksi semua alat kesehatan di Indonesia itu Kemenkes," jelasnya.

Sementara Alvin Lie menilai, karena presiden sudah mencanangkan pandemi ini sebagai kondisi bencana dan kedaruratan nasional, presiden harus langsung menjadi penanggungjawabnya.

"Perkara Presiden mau membentuk task force, itu sifatnya hanya membantu, tapi penanggungjawabnya harus presiden karena ini isu nasional, bukan sektoral lagi."

"Contohnya, kebijakan ekonomi saja, kan nggak mungkin ditangani Gugus Tugas," tambah Alvin.

Ia menambahkan, meskipun ada unsur Kementerian Kesehatan dalam Gugus Tugas, tapi kewenangannya tidak seperti kalau mereka membuat kebijakan sendiri.

Kurva terus naik, tes PCR harus digenjot
Sampai Senin (13/07) jumlah kematian di Indonesia akibat COVID-19 jika dihitung dengan cara hitung WHO menurut catatan Kawal COVID-19 adalah sebanyak 12.419 orang.

Artinya, Indonesia berada di urutan ketiga negara dengan angka kematian tertinggi di Asia setelah India (23.727) dan Iran (13.211).

Sementara jika dilihat dari jumlah kasus akumulatif, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia saat ini adalah 78.572 kasus, hampir mendekati China yang mencatat 83.611 kasus.

Sampai berita ini diturunkan, angka rata-rata pengetesan harian di Indonesia menurut data Kawal COVID-19 masih di angka 11.344 dengan 'positive rate' keseluruhan 12.24 persen, masih jauh di bawah syarat WHO yakni 40.000 orang tes per hari.
Berdasarkan laporan terbaru WHO tanggal 8 Juli, hanya DKI Jakarta yang memenuhi syarat minimum pengetesan WHO, sementara jumlah tes PCR di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan DIY masih di bawah 0,5 per 1.000 penduduk per pekan.

Jumlah 'positivity rate' atau rasio antara temuan kasus dengan tes PCR di Jawa, tertinggi adalah Jawa Timur mencapai 30 persen, kemudian Jawa Tengah sekitar 20 persen.

Melihat angka tes PCR yang rendah, dikhawatirkan kondisi penularan di masyarakat sebenarnya tinggi tapi tidak terdata karena belum dites.

Salah satu cara untuk memaksimalisasi kapasitas tes harian menurut Elina Ciptadi dari Kawal COVID-19 adalah dengan memprioritaskan tes untuk mereka yang berstatus OTG dan ODP.

Ini karena mereka yang PDP, apalagi yang menunjukkan gejala, umumnya sudah dirawat dan kecil kemungkinannya masih beraktivitas di luar rumah, sementara OTG dan ODP masih bisa.

"Kalau nggak dites, mereka nggak tahu mereka sakit dan berpotensi menularkan. Apalagi positivity rate antara PDP, ODP, dan OTG nggak berbeda jauh," kata Elina.

Sementara menurut Pandu, jika PCR tidak memungkinkan, isolasi menjadi mutlak.

"Nggak ada maaf untuk mengatakan tes PCR kita kurang. Kalau memang nggak bisa PCR, ya sudah, isolasi."

"Jangan kemudian dijadikan alasan lagi, karena PCR kita kurang, kemudian rapid test saja lagi," pungkas Pandu.

Artikel ini telah tayang di situs abc.net.au dengan judul bahasa Indonesia "New Normal Indonesia: Kasus Penularan Naik, Tes Corona Jadi Ladang Bisnis" 

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan