Selasa, 16 September 2025

Virus Corona

Media Asing Sebut Tes Covid-19 di Indonesia Telah Menjadi 'Ladang Bisnis'

Keputusan menerapkan 'new normal' diambil pemerintah untuk memutar kembali roda ekonomi meski pandemi belum berakhir.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/Jeprima
Foto ilustrasi. 

"Kasus [penyalahgunaan] yang lain adalah syarat rapid test untuk ujian masuk perguruan tinggi di Surabaya atas inisiatif wali kota," tutur Alvin Lie kepada Hellena Souisa dari ABC.

Alvin menduga berbagai persayaratan yang menyertakan 'rapid test' menjadi ladang uang bagi beberapa pihak tertentu.

"Aturan-aturan ini tentu saja telah membuat rapid test menjadi bisnis dan komersil. Yang kami khawatirkan ini adalah siapa importir besarnya, mungkin yang terjadi bukan monopoli, tapi oligopoli," kata Alvin.

Pandu Riono juga sependapat soal komersialisasi 'rapid test' yang menjadi syarat perjalanan dan meminta tes ini dihentikan sebab yang diuji adalah antibodi, bukan virus.

"Ada unsur-unsur lain soal uang di sini. Saya menduga ada unsur ekonominya karena rapid test tidak bisa mendeteksi COVID-19. Enggak ada gunanya," tutur Pandu.

Ia menambahkan, jika 'rapid test' tidak dihentikan, maka masyarakat sendiri yang rugi, karena banyak uang negara yang harusnya bisa dibelanjakan untuk menambah kapasitas tes PCR malah digunakan membeli rapid test.

Baca: Mabuk, Turis Asal Inggris Ini Tiba-tiba Batuk dan Mengaku Terkena Covid-19

Sebelum pemerintah menetapkan tarif tertinggi 'rapid test', Muhammad Sholeh, warga Surabaya, Jawa Timur, mengajukan uji materi atas Surat Edaran Gugus Tugas yang mewajibkan rapid test untuk bepergian ke Mahkamah Agung.

Ia menilai, biaya yang mahal membuat tes hanya bisa diakses orang mampu dan hanya akan menguntungkan rumah sakit.

Merasa pemberlakuan biaya maksimal tidak menyelesaikan masalah, baik Ombudsman RI dan Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi dan Kedokteran Laboratorium Indonesia meminta Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menghapus 'swab' atau 'rapid test' dalam syarat perjalanan.

"Kami akan sampaikan ke Gugus Tugas dan Kementerian Kesehatan. Yang pertama, untuk tidak menggunakan tes, baik rapid maupun PCR sebagai syarat perjalanan maupun berbagai pelayanan publik, kecuali untuk layanan medis," ucap Alvin.

Menurutnya, menjalankan protokol kesehatan seperti cek suhu tubuh, memakai masker dan mengatur jarak, sudah cukup sebagai syarat melakukan perjalanan.

"Apa bedanya orang yang naik bus dan pesawat terbang? Bahkan lebih berisiko mereka yang naik bus karena pesawat menggunakan filter sehingga udaranya sebenarnya lebih baik," tambah Alvin.
Penanganan COVID-19 harus dipimpin langsung presiden

Berangkat dari pengalaman penanganan COVID-19 selama empat bulan terakhir di Indonesia, baik Pandu dan Alvin sama-sama sepakat jika pandemi COVID-19 tidak bisa diselesaikan secara 'ad hoc' dan harus sistematik.

Menurut Pandu, selain peningkatan kapasitas tes dan contact tracing yang agresif, serta pesan yang kuat pada publik, pemerintah harus mawas diri memikirkan mengapa langkah yang diambil selama ini belum berhasil, termasuk mengevaluasi seberapa optimal peranan Gugus Tugas.

Pandu Riono berpendapat, pendekatan yang dilakukan oleh Gugus Tugas selama ini tidak tepat, sehingga sebaiknya penanganan COVID-19 dikembalikan ke sistem penyelenggara pemerintahan.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan