Senin, 8 September 2025

Virus Corona

Cerita Lockdown di Xinjiang: Warga Dikurung, Dipaksa Minum Obat Tradisional China, dan Didesinfeksi

Warga Xinjiang dikabarkan mengalami perlakuan tidak menyenangkan akibat lockdown untuk menanggulangi Covid-19 di China.

Penulis: Ika Nur Cahyani
HECTOR RETAMAL / AFP
Ilustrasi - Dipenjara Tujuh Tahun karena Punya Tujuh Anak: Kisah Abdushukur Umar, Warga Uighur di Xinjiang China 

TRIBUNNEWS.COM - Warga Xinjiang dikabarkan mengalami perlakuan tidak menyenangkan akibat lockdown untuk menanggulangi Covid-19 di China.

Dikutip dari Daily Mail, muncul laporan bahwa orang-orang di Xinjiang ditahan hingga dipaksa minum obat tradisional China. 

Pemeritah setempat diduga menggunakan tindakan keras untuk mengurangi penyebaran virus corona.

Otoritas mengunci penduduk di dalam rumah dan menerapkan karantina yang lebih lama bagi warga yang tak patuh.

Bahkan beberapa warga mengaku dipaksa mengonsumsi obat tradisional China.

Padahal pemaksaan seperti itu dinilai ahli sebagai pelanggaran etika medis.

Baca: Sosok Dilraba Dilmurat, Artis Tiongkok Keturunan Suku Muslim Uighur yang Buat Atlet Dunia Terpesona

Baca: Semakin Meningkat, China Laporkan 68 Kasus Baru, Termasuk Dua di Beijing dan 57 di Xinjiang

China dituding mengeluarkan kebijakan kontrol kelahiran yang berat sebelah antara etnis Han dan kaum minoritas, FOTO: Gambar diambil pada 4 Juni 2019 menunjukkan seorang wanita Uighur bersama dengan anak-anak di sebuah jalan di Kashgar di wilayah Xinjiang barat laut Cina. Otoritas China melakukan sterilisasi paksa terhadap perempuan dalam operasi menahan pertumbuhan populasi etnis minoritas di wilayah Xinjiang barat, menurut penelitian yang diterbitkan pada 29 Juni 2020.
China dituding mengeluarkan kebijakan kontrol kelahiran yang berat sebelah antara etnis Han dan kaum minoritas, FOTO: Gambar diambil pada 4 Juni 2019 menunjukkan seorang wanita Uighur bersama dengan anak-anak di sebuah jalan di Kashgar di wilayah Xinjiang barat laut Cina. Otoritas China melakukan sterilisasi paksa terhadap perempuan dalam operasi menahan pertumbuhan populasi etnis minoritas di wilayah Xinjiang barat, menurut penelitian yang diterbitkan pada 29 Juni 2020. (GREG BAKER / AFP)

Seorang wanita Uighur mengatakan dia dijebloskan ke dalam sel bersama puluhan wanita ketika puncak-puncaknya wabah.

Dia mengklaim penjaga memaksanya minum obat yang berefek mual dan lemas.

Dia juga mengaku diminta telanjang sekali dalam seminggu dan menutupi wajah saat disemprot disinfektan.

"Itu mendidih," ujar wanita ini dengan syarat anonim karena takut dengan otoritas.

"Tangan saya rusak, kulit saya mengelupas," tambahnya.

Wanita Uighur ini dibebaskan dan dikunci di dalam rumahnya setelah sebulan ditahan, meskipun tes rutin menunjukkan dia bebas dari Covid-19.

Dia mengklaim bahwa para penjaga memaksanya untuk minum obat tradisional dalam botol putih tanpa tanda sekali sehari.

Mereka mengancam akan menahannya bila tidak patuh.

Etnis muslim Uighur di China. AS menandatangani UU tentang Uighur yang membuat China meradang.
Etnis muslim Uighur di China. AS menandatangani UU tentang Uighur yang membuat China meradang. (AFP)

Otoritas lokal mengatakan langkah-langkah tersebut dilakukan demi kesejahteraan penduduk.

Lockdown di Xinjiang diperbaharui setelah total kasus Covid-19 di sana mencapai 826, terhitung sejak Juli.

Meskipun jumlah kasus di Xinjiang menjadi beban kasus terbesar di China, langkah ketat dan keras sudah berlaku sejak nol infeksi di sana.

China tepatnya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei merupakan pusat penyebaran Covid-19 pertama kali.

Akibatnya kota itu dikunci hingga berbulan-bulan lamanya.

Meskipun Wuhan bergulat dengan lebih dari 50.000 kasus, jauh lebih banyak dari Xinjiang, penduduk tidak dipaksa sebagaimana dilakukan di Xinjiang.

Walaupun lockdown di Wuhan terbilang ketat, tapi warga diizinkan keluar dan tidak dipaksa minum obat tradisional.

Foto yang diambil pada 31 Mei 2019 ini memperlihatkan sebuah menara kawal di fasilitas berkeamanan tinggi dekat tempat yang dipercaya sebagai kamp re-edukasi yang menahan minoritas Uighur. Fasilitas ini berada di pinggiran Hotan, Xinjiang barat laut, China. Amerika Serikat pada 31 Juli 2020 menjatuhkan sanksi kepada organisasi paramiliter Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) karena diduga memiliki kaitan dengan pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur.
Foto yang diambil pada 31 Mei 2019 ini memperlihatkan sebuah menara kawal di fasilitas berkeamanan tinggi dekat tempat yang dipercaya sebagai kamp re-edukasi yang menahan minoritas Uighur. Fasilitas ini berada di pinggiran Hotan, Xinjiang barat laut, China. Amerika Serikat pada 31 Juli 2020 menjatuhkan sanksi kepada organisasi paramiliter Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) karena diduga memiliki kaitan dengan pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur. (GREG BAKER / AFP)

Baca: Rahasia Donald Trump Diungkap Mantan Pejabat, Xi Jinping, Uighur hingga Digosipin Staf Gedung Putih

Baca: Video Warga Uighur Diikat dan Dipaksa Naik Kereta, Dubes Tiongkok: Itu Bukan di Xinjiang

Bahkan reaksi pemerintah pada 300 kasus di Beijing pada Juni lalu lebih santai lagi.

Otoritas hanya menutup beberapa lokasi yang dinilai berbahaya dalam beberapa minggu.

Sebaliknya, sekitar setengah dari 25 juta warga Xinjiang di pelosok menjalani lockdown padahal lokasinya jauh dari pusat wabah di Ibukota Urumqi, sebagaimana diberitakan media pemerintah.

Lockdown di Xinjiang diawasi aparat yang nampaknya telah mengubah wilayah tersebut menjadi negara polisi.

Selama tiga tahun terakhir, otoritas menyapu satu juta atau lebih orang Uighur, Kazakh, dan etnis minoritas lainnya ke dalam berbagai bentuk penahanan.

Mereka dimasukkan ke dalam kamp dan dilatih dengan kekerasan.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan