Warga Papua kelaparan hingga jadi pengungsi tapi Presiden Jokowi hadiri peluncuran olahraga, pengamat: ‘Kunjungan yang tak bermakna’
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua sebanyak belasan kali disebut sebagai upaya ‘mercusuar dan selebrasi’ yang tidak memiliki makna
Valentinus menegaskan, pembahasan aturan pemekaran Papua Barat Daya telah berjalan lebih dari setahun di DPR, mulai dari konsolidasi di Komisi II hingga pembahasan DIM.
“Kunjungan kerja ke Sorong dalam rangka menyerap aspirasi 25 Agustus 2022 dan diagendakan pengambilan keputusan tingkat satu pada lima September mendatang. Jadi tahapan sebenarnya sudah terlewati semua dan pola penyusunan RUU Papua Barat Daya juga mengikuti tiga UU sebelumnya,” katanya.
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, kepada media, kemarin, mengakui bahwa pembahasan RUU berlangsung sangat cepat.
Alasannya, karena sudah memiliki pengalaman membentuk tiga undang-undang daerah otonomi baru Papua sebelumnya dan juga ingin mengebut persiapan Pemilu.
Proses pemekaran ‘tidak mendengar mereka yang menolak’
Namun, menurut I Ngurah Suryawan, keinginan pemekaran dari bawah merupakan kesalahan besar dari pemerintah dalam memahami Papua.
“Pemekaran tidak masalah jika melalui kajian, dialog dan keinginan rakyat Papua. Yang bermasalah adalah pemaksaan kehendak dan ini sejarah yang terus berulang,” katanya.
Senada, peneliti dari BRIN, Cahyo Pamungkas, mengatakan, pembahasan UU tentang pemekaran di Papua ditandai dengan kurangnya partisipasi publik Papua.
“Pemekaran yang dilakukan secara sepihak. Seharusnya mengkaji siapa-siapa yang membutuhkan pemekaran, dan mendengar kelompok yang menolak,” katanya.
Beberapa bulan lalu, muncul beragam aksi demonstrasi penolakan DOB baru yang melibatkan ribuan orang di beberapa tempat di Papua.
Rangkaian aksi itu setidaknya menyebabkan sekitar 20 orang terluka, dua orang tewas, dan belasan orang ditangkap.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk tidak menerima judicial review UU Otsus Papua yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP), Rabu (31/08).
MK menilai pemohon MRP tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan peninjauan kembali.
Terkait keputusan itu, peneliti BRIN Cahyo Pamungkas, mengatakan, “Otsus Jilid 2 akan berlanjut, pemekaran akan berlanjut, di sisi lain ketidakpuasan dan ketidakpercayaan orang Papua meningkat."
"Ini menjadi benih konflik yang mungkin akan tumbuh besar di masa depan, di tengah upaya pemerintah yang stagnan merangkul orang Papua,” katanya.