Ricuh Kupang: Empat polisi luka dan mobil patroli dibakar, sampai kapan TNI-Polri bentrok?
Kericuhan di Kupang, NTT melibatkan sejumlah anggota TNI-Polri. Mengapa konflik anggota kedua institusi ini terus berulang?
Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur melaporkan empat anggotanya mengalami luka-luka buntut dari 'kesalahpahaman' anggota Polri dan Polisi Militer Angkatan Darat (POM-AD) yang sedang melaksanakan pengamanan pertandingan futsal setempat.
Kesalahpahaman ini kemudian berujung serbuan sekelompok orang dengan membakar mobil patroli dan sepeda motor polisi, serta pengrusakan sejumlah pos polisi NTT.
Polda NTT dan TNI akan membentuk tim investigasi untuk menghukum kemungkinan anggota mereka yang terlibat dalam serangan tersebut.
Sementara itu, pengamat militer membuatnya lebih jelas: insiden ini "diduga kuat" bentrokan antara anggota TNI-Polri. Bentrokan seperti ini dinilai berpotensi selalu muncul dan hanya bisa dilakukan upaya meminimalisir, karena para anggota kedua institusi dicetak untuk "punya mental juara".
Apalagi dalam dua tahun terakhir, KontraS mencatat terdapat 19 kasus serupa.
Kepolisian juga pernah melaporkan dalam periode 2020 - 2022 terdapat 28 kasus konflik anggota TNI dan Polri, seperti dilaporkan Kompas.
TNI-Polri bentuk tim investigasi
Kapolda NTT, Irjen Pol Johni Asadoma, akan membentuk tim investigasi bersama TNI guna mengusut tindak kekerasan serta pengrusakan pos dan kendaraan polisi.
Setelahnya, berdasarkan hasil investigasi, baik TNI maupun Polri akan menghukum personel masing-masing. Hukuman yang akan diberikan bergantung pada hasil temuan penyelidikan.
Johni Asadoma mengatakan, kepolisian akan memanggil pihak-pihak yang terlibat, mulai dari penyelenggara pertandingan futsal sampai serangan terhadap pos polisi. Diketahui pihak penyelenggara adalah salah satu anggota DPRD Kota Kupang.
Menurut Johni, pertandingan antarinstansi itu tidak mengantongi izin dari Polri.
"Kita akan memproses hukum, memanggil, memeriksa, meminta keterangan pihak panitia penyelenggara yang tidak mempunyai izin dalam penyelenggaraan kejuaraan ini," ungkapnya dalam konferensi pers, Kamis (20/04).
Baca juga:
Pada kesempatan yang sama Kasrem 161/Wira Sakti, Kolonel Cpl. Simon Petrus Kamlasi, yang mewakili Danrem, menegaskan investigasi diperlukan agar penindakan berdasarkan bukti-bukti di lapangan.
"Anggota yang bersalah akan ditindak dan tentunya perlu bukti, tidak saja berdasarkan video-video beredar," kata Simon.
Bagaimana kronologi bentrok TNI-Polri di Kupang?
Peristiwa pengrusakan terjadi setelah kericuhan di salah satu tribun Gedung Olahraga (GOR) Flobamora Oepoi Kupang.
Saat itu berlangsung pertandingan final Marcking Cup II antara Ranaka Polda melawan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yang dimulai sekitar pukul 21.30 WITA.
Polisi Militer (POM) TNI Angkatan Darat yang melakukan pengamanan menegur pendukung tim futsal Polda NTT jelang akhir babak pertama. Pendukung tim futsal Polda NTT sangat penuh di tribun hingga ada yang melompat atau jatuh ke sisi lapangan karena berdesakan.
Johni Asadoma mengatakan hal tersebut menimbulkan selisih paham saat ada anggota polisi yang jatuh dari tribun dan diamankan anggota POM.
Setelahnya, POM yang bertugas mengamankan, meminta panitia menghentikan pertandingan babak pertama itu.
"Terjadi kesalahpahaman di situ dan terjadi bentrokan antar anggota Polri dan POM di dalam GOR," kata dia.
Permasalahan itu, lanjut Johni, sudah dianggap selesai di dalam stadion saat itu. Namun video-video mengenai insiden itu kadung tersebar hingga memicu kejadian krusial di luar stadion.
Apa kata saksi mata yang menyaksikan pertandingan?
Salah satu penonton yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan pertandingan sempat ditunda karena terjadi perselisihan antara suporter dan pihak yang mengamankan pertandingan.
Ia tiba di GOR sekitar pukul 21.00 WITA, Rabu (19/04).
Tim pendukung Ranaka Polda NTT - yang umumnya anggota polisi - kata dia, juga membawa berbagai alat musik seperti drum dan terompet. Jumlah pendukung Ranaka Polda NTT lebih dominan dibandingkan pendukung tim futsal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten TTS.
Posisi babak pertama itu tim futsal Polda NTT unggul 5-4 atas tim futsal Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten TTS.
Keributan terjadi 49 detik jelang usai laga babak pertama.
Saksi yang tengah berada di tribun tim futsal Polda NTT saat itu tidak bisa melihat jelas karena banyaknya jumlah pendukung yang sudah saling dorong.
"Hanya nonton saja sendiri. Aman awalnya, tidak ada masalah apa-apa. Tapi semua merapat di pinggir tribun, kaget-kaget semua sudah baku dorong. Dari Ranaka yang paling banyak," paparnya.
"Tim sebelah hanya tepuk tangan, paling biasa saja, mereka tidak banyak. Bukan datang berkelompok seperti dari Ranaka punya pendukung".
Saat keributan terjadi, terdapat anggota POM yang melakukan pengamanan saat itu.
Kegaduhan yang terjadi berangsur membaik dan pertandingan dihentikan sementara. Ia tidak menduga adanya kejadian lanjutan seperti yang terlihat dalam video, yaitu korban luka dan pengrusakan fasilitas polisi.
"Semua sudah berkerumun di luar untuk ambil motor karena sudah tidak lanjut pertandingan lagi," katanya.
Selang 20 menit kemudian, sisa pertandingan pertama dilanjutkan. Namun ia tidak berniat menyaksikannya lagi, dan mengaku kecewa.
"Untuk panik sebenarnya tidak. Saya pikir sudah bayar karcis tapi pertandingan seperti itu ya tentunya kita kecewa," ungkapnya.
'Empat anggota polisi luka'
Polda NTT dalam rilisnya menyebut empat polisi terluka. Sebanyak tiga orang dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara dan satu lainnya di Rumah Sakit Wirasakti. Ada yang luka cukup berat dan luka ringan.
Kerusakan material berupa tiga sepeda motor dan satu mobil yang dibakar, satu mobil lainnya juga dirusak. Tiga pos pengamanan Idulfitri juga rusak.
Kapolda NTT bantah serangan di rumah jabatan
Johni pun membantah rumah jabatan Kapolda NTT diserang atau dilempar.
Namun, ia tak memungkiri bahwa anggotanya yang sedang piket saat itu terpaksa melepas tembakan ke udara. Alasannya, kata dia, untuk membubarkan kelompok orang yang membuat kegaduhan dengan suara motor.
"Sekitar 20-an sepeda motor yang berputar di persimpangan depan rumah Kapolda. Kita lakukan pengusiran dan mereka langsung meninggalkan tempat," jelas Johni.
Polisi: situasi sudah kondusif
"Sementara ini, situasi kondusif," kata Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Ariasandy, dalam pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Kamis (20/04).
Ariasandy melanjutkan, Polda NTT bersama dengan Korem 161/Wira Sakti, Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal), dan Pangkalan Udara TNI AU (Lanud El Tari) telah melakukan pertemuan "untuk menentukan tindak lanjut."
"Masing-masing berkomitmen untuk mendeteksi adanya keterlibatan anggota, dan akan ditindak sesuai aturan yang berlaku," jelas Ariasandy.
Pihak mana yang paling dirugikan?
Insiden pengrusakan pos dan pembakaran kendaraan milik polisi di Kota Kupang sangat benar-benar disayangkan, begitu kata sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Lasarus Jehamat.
"Kita semua menyayangkan terjadinya insiden ini. Dua institusi yang kita cintai ini bentrok hanya karena hal-hal sepele," kata Lasarus kepada wartawan Putra Firmandus yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (20/04).
Ia menyesalkan persoalan yang disebabkan oleh beberapa orang saja ini menjadi permasalahan besar yang mencekam masyarakat.
"Nah, yang dirugikan, selain oknum, dua lembaga, tetapi juga masyarakat. Yang jelas, elite polisi dan tentara harus duduk bersama," ucapnya.
Lasarus menilai persoalan ini disebabkan oleh anggota dua institusi yang kemudian membesar menjadi konflik antarorganisasi. "Jadi, karena ulah satu dua orang, lembaga kena getah," katanya yang mendukung langkah TNI-Polri membentuk tim investigasi untuk menghukum kemungkinan anggotanya yang terlibat.
Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad mengatakan keberadaan anggota TNI dan Polri sampai pelosok Indonesia sejatinya memberikan rasa aman bagi warganya.
Tapi, ketika anggota dari kedua korps ini berseteru, maka hanya rasa takut yang mereka hadirkan untuk masyarakat, kata Hussein.
"Dia [masyarakat] justru ketakutan dengan adanya dua lembaga negara ini yang dibiayai, diorganisir, dilatih, dipersenjatai untuk melindungi masyarakat, tapi justru bertikai," katanya.
Mengapa konflik anggota TNI-Polri berulang?
Pengamat Militer ISESS (Institute for Security and Strategic Studies), Khairul Fahmi, mengaku tidak kaget dengan konflik anggota TNI-Polri di Kupang.
"Nggak terkejut… Personel TNI dan Polri sama-sama dicetaknya itu dengan mental untuk kompetitif, punya mental juara," kata Fahmi yang mengatakan hal itu menjadikan keduanya cepat tersulut emosi dalam menanggapi persoalan sepele.
"Mereka sama-sama dicetak sebagai juara, merasa punya power, punya kewenangan. Terus tugas dan fungsi mereka dalam konteks di ruang publik sering kali beririsan, sehingga kompetisi, arogansi itu juga menguat."
Baca juga:
- Heboh penembakan TNI di Jatinegara: "Terduga pelaku, anggota TNI AU yang mabuk"
- DPR tolak usul Luhut soal 'perwira TNI bisa jadi pejabat di kementerian'
Kepolisian juga pernah melaporkan dalam periode 2020 - 2022 terdapat 28 kasus konflik anggota TNI dan Polri, seperti dilaporkan Kompas.
Biasanya, kasus-kasus konflik TNI-Polri ini dipicu persoalan sepele seperti tersulut berita bohong, tak terima ditegur pakai helm, cekcok soal harga rokok, dan lain sebagainya.
Salah satu kasus yang diduga melibatkan TNI dan Polri adalah serangan ke Polsek Ciracas, Jakarta Timur pada 2018. Dalam insiden ini kerusakan gedung hampir mencapai 50% dan tiga anggota polisi terluka.
Penyerangan kembali diduga dilakukan anggota TNI ke Polsek Ciracas dalam kasus lainnya pada 2020, karena diduga tersulut kabar bohong.
Dalam insiden penyerangan Polsek Ciracas, Fahmi melihat adanya kemiripan dengan pola serangan yang terjadi di Kupang, NTT. Adanya komando serangan dengan orang-orang bersepeda motor dalam satu waktu, dan cepat.
"Yang tentu saja memperkuat dugaan ini ada kaitan dengan oknum TNI," katanya.
Menurut Fahmi, konflik anggota TNI-Polri selalu berpotensi terjadi ke depannya, yang bisa dilakukan adalah upaya "meminimalisir" melalui pembatasan, pengawasan, dan disertai dengan teladan dari para pimpinan.
"Persoalan ini tak bisa diselesaikan secara instan, apalagi hanya dengan bermaafan dan foto bareng seperti di hari lebaran," jelas Fahmi.
Ia melanjutkan, selain penegakan hukum dan pendisiplinan, diperlukan juga aturan main yang lebih kuat dan rinci soal tugas perbantuan TNI maupun mengenai pelaksanaan operasi militer selain perang (OMSP). Baik yang beririsan dan bersinggungan dengan Polri maupun dengan kementerian dan lembaga lainnya.
Pemahaman jiwa korsa yang keliru
Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, menilai kebanyakan anggota TNI masih keliru memahami konsep Jiwa Korsa alias daya juang dalam militer. Konsep ini ditanamkan pada tentara untuk memiliki perasaan kesatuan, kekitaan, kecintaan terhadap lembaga.
"Semangat itu semestinya hadir dalam medan peperangan ketika menghadapi musuh dari luar negeri yang berbentuk ancaman militer dan bukan justru bukan untuk melakukan serangan dan kekerasan terhadap alat atau lembaga negara," kata Hussein.
Penerapan Jiwa Korsa dalam konflik TNI-Polri selama ini dijadikan seperti cinta posesif di mana satu tersakiti, yang lain juga tersakiti.
Imparsial juga mendorong proses hukum melalui peradilan umum bagi siapa pun yang terlibat dalam tindak kekerasan dan pengrusakan aset milik Polri.
"Tidak boleh ada warga negara yang kebal hukum sekalipun mereka adalah oknum anggota TNI. Sebaliknya, karena mereka adalah bagian dari aparat pertahanan maka seharusnya hukuman yang ditimpakan justru harus lebih berat," tambah Hussein.
Sampai kapan TNI-Polri terlibat bentrok?
"Sampai kiamat pun akan terjadi," kata Hussein sambil memberikan sejumlah catatan yang perlu dipenuhi TNI dan Polri, jika keduanya ingin mengakhiri konflik kambuhan ini.
Pertama, memastikan setiap yang terlibat konflik TNI-Polri mendapatkan hukuman yang semestinya "lebih berat" karena mereka bagian dari aparat pertahanan. Kedua, mereka yang terbukti melakukan pengrusakan dan kekerasan harus diadili di pengadilan umum.
"Kalau setiap orang melakukan kesalahan, termasuk anggota TNI diadili di peradilan umum, atau kalau ada impunitas, maka peristiwa-peristiwa ini tidak akan selesai karena tidak ada efek jera," kata Hussein.
Ketiga, perbaikan pendidikan ketentaraan dalam memahami "Jiwa Korsa", dan yang terakhir adalah pengawasan dari pimpinan terhadap anak buahnya.
"Kalau tidak ada kepemimpinan yang kuat dalam mengontrol anggota, dan pendidikan yang baik dalam mengajarkan Jiwa Korsa yang benar, itu maka ini akan terus berulang," tandasnya.
*Wartawan Putra Firmandus di Kupang, NTT ikut berkontribusi dalam artikel ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.