Selasa, 12 Agustus 2025

Kelompok OPM Egianus Kogoya ancam 'tembak' pilot Susi Air - tuntut dialog dengan 'utusan resmi Presiden Jokowi'

Mantan negosiator antara pemerintah dengan GAM, Hamid Awaludin, berkata kalau sampai mereka mengeksekusi sandera maka Indonesia akan…

Pemerintah Indonesia diminta segera mengambil langkah negosiasi 'secepat mungkin' untuk membebaskan pilot Susi Air menyusul ancaman dari Egianus Kogoya bahwa kelompok TPNPB-OPM akan menembak Philip Max Mehrtens jika Indonesia tetap menolak berdialog.

Mantan negosiator antara pemerintah dengan GAM, Hamid Awaludin, berkata kalau sampai mereka mengeksekusi sandera, maka Indonesia akan dicap buruk oleh dunia internasional dan hubungan bilateral Indonesia dengan Selandia Baru bakal rusak.

Merespon ancaman itu, Kabid Humas Polda Papua, Ignatius Benny menyebut pihaknya masih memaksimalkan upaya negosiasi dengan menggandeng banyak pihak termasuk Dewan Gereja dan Uskup.

Kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) merilis video terbaru terkait penyanderaan pilot Susi Air, Philip Max Mehrtens, yang diculik 7 Februari lalu.

Di video tersebut, Philip yang duduk bersebelahan dengan Egianus Kogoya berkata bahwa TPNPB-OPM memberi waktu dua bulan kepada Indonesia dan Selandia Baru untuk berdialog soal kemerdekaan Papua.

Jika tidak terjadi negosiasi, sambungnya, kelompok OPM akan menembaknya.

"Mereka [OPM] kasih waktu dua bulan lagi untuk semua negara untuk bicara dengan Indonesia soal Papua merdeka. Kalau sudah dua bulan tidak ada dialog, mereka akan menembak saya," ujar Philip.

Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengatakan tenggat waktu dua bulan itu adalah tawaran terakhir Egianus Kogoya kepada pemerintah Indonesia.

Kalau sudah lewat, dia tak bisa menjamin keselamatan pilot.

Sebab Egianus Kogoya, menurut Sebby, termasuk orang yang tidak bisa diajak kompromi.

"Egianus itu tidak bisa kompromi. Dia bilang bunuh, akan dibunuh. Serang akan diserang. Kami juga khawatir, makanya kami akan kirim pesan ke Egianus untuk jelaskan untung dan ruginya kalau [mengeksekusi] pilot," ujar Sebby Sambom kepada BBC News Indonesia, Minggu (28/05).

"Pemerintah Indonesia jangan alergi [negosiasi]. Mekanismenya harus melalui negosiasi, kecuali sanderanya hilang di hutan, silakan kirim TNI/Polri mencari. Tapi sandera ada bersama kami, maka negosiasi dengan kami," sambungnya.

Pemerintah harus segera rumuskan negosiasi

Hamid awaludin, eks Menteri Hukum dan HAM, yang juga mantan negosiator Indonesia dalam perundingan dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 2005 mengatakan, ancaman kelompok penyandera itu tak bisa dianggap sepele.

Pemerintah Indonesia, menurut dia, sudah harus merumuskan langkah negosiasi lantaran situasinya yang disebutnya makin genting.

Tak bisa lagi mengandalkan operasi militer yang disebutnya "tidak menampakkan gelagat kesuksesan" dan hanya akan menimbulkan persoalan baru.

Karena kalau sampai mereka mengeksekusi pilot asal Selandia Baru tersebut, maka konsekuensinya sangat besar.

Indonesia akan dicap tak becus mengurus masalah dalam negerinya sendiri dan hubungan bilateral Indonesia dengan Selandia Baru bakal memburuk.

"Ini [negosiasi] harus dirumuskan secepatnya, begitu mereka eksekusi [sandera] akan ribut dunia internasional. Karena kita dianggap tidak serius menghadapi persoalan penyanderaan," jelas Hamid Awaludin.

Sepanjang pengalamannya mengawal kesepakatan damai antara Indonesia dengan GAM, ruang dialog harus dibuka selebar mungkin.

Dan salah satu pihak harus ada yang mengalah untuk mencapai titik temu.

"Namanya dialog, satu maju, satu mundur untuk ketemu di tengah."

Dalam negosiasi itu, pemerintah Indonesia bisa memberikan tawaran realistis yang akan diberikan kepada kelompok penyandera.

"Kalau Indonesia kan jelas minta pilot dibebaskan. Lalu apa yang ditawarkan ke mereka? Kan tidak ada yang gratis?"

"Kalau tuntutan merdeka tidak mungkin, apa bisa misalnya melepaskan tahanan?"

Soal siapa negosiator atau mediator untuk pembebasan sandera, Hamid tidak menyebut secara spesifik. Dia hanya berpesan agar orang tersebut haruslah yang memahami persoalan di Papua.

Mulai dari pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, hingga kekerasan yang menimpa warga sipil.

Sebab penyanderaan pilot Susi Air ini merupakan satu rangkaian konflik yang telah berlangsung puluhan tahun.

Polda Papua siapkan tim khusus kawal negosiasi

Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri, mengatakan pihaknya masih memaksimalkan upaya negosiasi untuk membebaskan pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Max Mehrtens.

Termasuk dengan menggandeng Dewan Gereja serta Uskup. Selain itu, Polri juga membuka pintu untuk Komnas HAM.

Mathius menambahkan, Polda Papua juga sudah mengirim tim khusus yang akan mengawal proses negosiasi.

Kendati dia tidak menerangkan lebih lanjut kapan proses negosiasi akan dilakukan.

"Saya berbicara dengan berbagai pihak tentang proses negosiasi ini termasuk dengan pihak Gereja yang di dalamnya ada Dewan Gereja dan Uskup yang akan semaksimal mungkin melakukan negosiasi dengan kelompok Egianus Kogoya untuk bisa melepas pilot yang dibawanya," jelas Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri kepada wartawan.

"Saya berharap negosiasi tersebut menghasilkan yang baik. Kita memberikan kesempatan kepada kelompok Egianus bisa membebaskan mengembalikan pilot melalui jalur negosiasi secara baik," tambahnya.

Keputusan menempuh jalan negosiasi ini diambil usai lima prajurit TNI tewas dalam baku tembak dengan TPNPB-OPM di Kabupaten Nduga yang sedang melakukan operasi penyergapan ke lokasi penyanderaan.

Insiden pada akhir April lalu itu membuat Panglima TNI Yudo Margono memerintahkan anggotanya menggelar operasi siaga tempur darat di beberapa wilayah yang dianggap rawan di Papua.

Sejauhmana progres negosiasi?

Mantan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Pendeta Benny Giay, mengatakan perwakilan gereja dan uskup belum bisa bernegosiasi dengan salah satu pimpinan TPNPB-OPM, Egianus Kogoya karena tak adanya dukungan dari pemerintah.

Untuk bisa bernegosiasi dengan Egianus, kata Pendeta Benny Giay, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan.

Pertama, menarik pasukan tentara dan polisi dari Kabupaten Nduga demi mengurangi ketegangan dan tensi kekerasan.

Kedua, memulihkan kondisi masyarakat Nduga yang kini hidup di pengungsian.

"Masalah pembebasan sandera harus dilihat secara utuh. Tidak bisa perwakilan gereja pergi ke sana minta lepaskan sandera. Karena dalam pandangan Egianus, gereja bukan bagian dari sejarah perjuangan dia," imbuh Pendeta Benny Giay kepada BBC News Indonesia.

"Kalau ada perubahan setidaknya Egianus bisa melihat sesuatu yang positif dari pemerintah Indonesia," sambungnya.

"Kalau Egianus tanya soal masyarakat Nduga yang mengungsi dan kami tidak bisa jawab, bagaimana?"

Untuk diketahui, penduduk di 32 distrik di Nduga memilih mengungsi menyusul operasi militer pada awal Desember 2018 yang digelar untuk menangkap kelompok TPNPB-OPM.

Kondisi mereka di pengungsian pun memprihatinkan. Banyak dari keluarga bergantung pada bantuan kerabat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jumlah warga yang mengungsi diperkirakan mencapai 5.000 orang.

Karena itulah kata Pendeta Benny Giay, dirinya sangat berharap dukungan dari pemerintah jika betul-betul ingin bernegosiasi dengan Egianus Kogoya.

Soal tawaran negosiasi dari perwakilan gereja dan uskup, Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengatakan TPNPB-OPM akan menolak kedatangan mereka.

"Kami ini berjuang bukan untuk gereja, tapi hak penentuan nasib sendiri. Jadi kami tidak ada urusan dengan gereja," ujar Sebby Sambom.

Ruang dialog, kata dia, baru akan dibuka jika ada perwakilan resmi yang diutus Presiden Joko Widodo.

Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan