Studienkolleg di Indonesia dan Gelar Pertama Kedokteran di Jerman dengan Beasiswa Jerman
Dari dulu ia memang ingin kuliah di luar negeri. Kebetulan, ia dapat beasiswa dari PASCH untuk Studienkolleg di Indonesia, dan selanjutnya…
Yang terakhir adalah satu tahun praktisches Jahr, atau tahun praktek. Isinya adalah magang di rumah sakit. Bidangnya tiga, yaitu bidang penyakit dalam dan bedah. Sedangkan bidang ke tiga boleh pilih sendiri. "Nah waktu itu, udah ngikutin dokter, emang kaya dokter juga. Jaga malam juga, dan weekend [akhir minggu]," kata Mary. Setelah itu ada Staatsexamen atau ujian negara.
"Jadi ada tiga kali Staatsexamen," dijelaskan Mary. Yang pertama ujian tertulis dan lisan, yang ke dua hanya tertulis. Sedangkan ujian ke tiga, langsung berbicara dengan pasien di rumah sakit. Jadi biasanya ada seorang pasien yang sudah diminta persetujuannya terlebih dahulu. "Jadi mulai anamnesis, dia sakit apa, diagnosis dan lapor ke Oberarzt [dokter kepala]," demikian dijelaskan Mary.
Ia bercerita, sejak awal kuliah, dia sudah merasa syok berat. Karena ujian pertama sudah diadakan hanya dua minggu setelah kuliah semester pertama dimulai. Jadi mahasiswa memang sejak awal dituntut untuk belajar sendiri. "Kalau di minggu itu hanya datang untuk ikut Vorlesung [bentuk kuliah di mana hanya dosen yang berbicara], ga bisa lulus ujian," kata Mary sambil mengenang situasi ketika itu. "Karena semester pertama isinya hanya anatomiii aja." Jadi hanya hafalan saja.
Tapi bagi Mary itu terapi syok yang bagus, karena kedokteran bidang yang sangat luas. Oleh sebab itu ada spesialisasi pula. "Dan kita ga mungkin baca semuanya, jadi harus pinter-pinter menentukan mana yang relevan untuk sekarang," begitu dijelaskan Mary.
Karena pelajaran yang sangat banyak, Mary juga pernah bertanya ke kakaknya yang dokter, apakah pernah merasakan beban yang berat sampai bertanya kepada diri sendiri, mengapa dulu memilih kuliah untuk jadi dokter. Kakaknya, menjawab, setiap kali ujian, dia selalu merasa begitu. "Waah berarti ini universal," kata Mary sambil tertawa.
Ia menambahkan pula, "Dulu sebenarnya jadi dokter itu panggilan, tapi sekarang lebih merasa ada tanggungjawabnya." Ketulusan hati tetap ada dan ditambah tanggungjawab. "Jadi harus aware [sadar] dengan situasi di sekitar, bahkan di luar jam kerja," kata Mary.
Dia menjelaskan, dalam situasi darurat, dokter harus tetap mampu tenang dan mengambil tindakan yang tepat. "Di rumah sakit harus ada satu orang yang tugasnya ngasi perintah," kata Mary. Tapi untuk bekerja menjadi Notarzt, atau dokter yang khusus dipanggil untuk keadaan darurat, tentu butuh latihan. Dia bercerita, salah satu arahan yang sudah pernah dia dapatkan sebagai calon dokter adalah, "Pastikan, kalian ga pingsan duluan."
Mengingat profesi sebagai dokter kerap bersentuhan erat dengan nasib seseorang, tapi jasanya dibutuhkan banyak orang, Mary menarik kesimpulan, "Belajar kedokteran berarti belajar untuk bersimpati dan meregulasi emosi agar tidak terlalu attach [terikat] pada pasiennya." Tapi dia menilai, banyak pekerjaan lain yang juga mulia. "Jadi orang tua juga mulia," kata Mary.
Menata hidup di negeri orang sambil berkuliah
Bagi Mary tantangan terbesar saat kuliah adalah mengatur mana saja yang sebaiknya dipelajari saat ini, dan mana yang bisa dipelajari nanti. Sedangkan dalam hidup sehari-hari, tantangan yang ia hadapi adalah bagaimana mengemukakan pendapat dan mempertahankan haknya. Yang kedua, bagaimana belajar mandiri di negeri orang.
Dia mengungkap, di Indonesia, kita diajarkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tua dan orang yang lebih tua. Mungkin karena ada faktor kebiasaan sebagai orang Indonesia, ia merasa cenderung menghindari perdebatan, jika berhadapan dengan orang yang dituakan atau atasan. "Padahal di sini [di Jerman], kalau kita menjelaskan mengapa kita melakukan itu, mereka nerima, bukan kita dianggap ngeles." Begitu diungkap Mary.
Dia mengambil contoh misalnya orang punya keluhan yang disampaikan ke customer service, atau pelayanan pembeli. "Di Indo kalo digalakin customer service, kita jadi oh, ya udah. Di sini kita belajar lebih galak lagi, karena itu hak kita," kata Mary. Jika tetapi tinggal di Indonesia, kemungkinan kebiasaan itu tidak akan ia ubah. Tapi karena di Jerman, dia jadi belajar berani. "Mengemukakan pendapat dan tahu hak kita, dan mempertahankannya."
Ia bercerita pernah mengalami pengalaman kurang enak saat magang di rumah sakit. Waktu itu dia belum lama tingal di Jerman, jadi segalanya masih baru bagi dia. Ketika terjadi salah paham dengan salah seorang perawat di sana, dia tidak berusaha membela diri dan memberikan penjelasan, karena masih merasa malu. "Tapi karena itu, situasi magang jadi jelek. Harusnya langsung konfrontasi aja. Jadinya, ya aku learning the hard way [belajar lewat cara yang sulit]," kata Mary sambil merasa menyesal. Tapi mengemukakan pendapat yang awalnya jadi tantangan terbesar bagi dia, sekarang juga jadi pelajaran yang paling besar.
Kalau soal mandiri, di Jerman jelas berbeda dengan di Indonesia. "Di sini masak sendiri, nyuci sendiri, bersih-bersih. Mikirin bukan kuliah aja tapi tetek-bengek lainnya supaya hidup normal," kata Mary sambil tertawa.
Bagi orang Indonesia yang ingin berkuliah di Jerman dia menyarankan untuk sebaik mungkin menguasai bahasa Jerman. Walaupun di Jerman sekarang ada kemungkinan kuliah dan bekerja dengan bahasa Inggris, tapi bahasa Jerman tetap penting untuk hal-hal lain, misalnya birokrasi, mengurus surat-surat, atau untuk urusan asuransi.
Selain itu, seperti pepatah, malu bertanya, sesat di jalan. Jadi Mary menyarankan agar orang sering bertanya jika perlu informasi. Dia bercerita, ketika masih di Indonesia dan merasa tidak jelas tetang sesuatu hal di Universitas Heidelberg, dia mengirim email ke orang yang bertanggungjawab, dan emailnya itu dijawab. Sehingga informasi yang ia butuhkan lengkap.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.