Studienkolleg di Indonesia dan Gelar Pertama Kedokteran di Jerman dengan Beasiswa Jerman
Dari dulu ia memang ingin kuliah di luar negeri. Kebetulan, ia dapat beasiswa dari PASCH untuk Studienkolleg di Indonesia, dan selanjutnya…
"Dari TK memang pengen jadi dokter," katanya, karena dia dulu mengira pekerjaan sebagai dokter mudah. Waktu kecil, kalau sakit dan pergi ke dokter, biasanya dia kemudian diperiksa dokter. "Terus dokter ngomong lima menit dengan orang tua, terus udah, dapet duit," katanya sambil tertawa.
Ketika di tahun akhir sekolah dan IPA dicabangkan menjadi fisika dan biologi, dia memang merasa lebih suka biologi. Dari situlah perasaan tertariknya pada bidang kedokteran jadi tambah kuat.
Patricia Mary Elizabeth lahir di Surabaya, tapi besar di Tangerang. Nama panggilannya Mary. Dia mengaku bisa berbicara dalam bahasa Jerman. "Tapi kelancaran dan ketepatannya fluktuatif," katanya sambil tertawa. Tergantung bahasa apa yang banyak digunakannya sebelumnya.
Mary menjelaskan, jika berkuliah kedokteran di Jerman, diploma pertama yang diperoleh bukan S1 seperti di Indonesia, atau Bachelor, melainkan Staatsexamen, yang artinya ujian negara. Regelstudienzeit, atau lamanya kuliah untuk mahasiswa yang akan menempuh ujian negara biasanya enam tahun. Tapi menurut Mary, waktu selesai kuliah bisa lebih fleksibel. Tepatnya, waktu kuliah bisa diperpanjang. Dia sekarang sedang meminta perpanjangan selama satu semester. Sekarang dia sudah di tahun ke lima kuliahnya.
Kalau sudah selesai dengan tahap pertama, dia ingin mengambil kuliah untuk menjadi spesialis di Jerman. Tapi dia belum tahu di bagian apa. "Sepertinya mau ke arah penyakit dalam," katanya. Dia menjelaskan, sebetulnya kalau di Jerman, dokter umum pun ada spesialisasinya. Misalnya, dokter yang di Jerman disebut Hausarzt, atau dokter rumah, berbeda dengan dokter umum di Indonesia.
Mary bercerita, dia dari dulu memang bercita-cita kuliah di luar negeri. Tapi awalnya dia berpikir, akan mulai berkuliah kedokteran di Indonesia, kemudian spesialisasinya di luar negeri. Karena dia dulu mengira, dengan cara itu, ia tidak perlu melewati penyetaraan jika kembali ke Indonesia. Tapi ternyata perlu, dan prosesnya sangat rumit, kata Mary.
Biar bagaimanapun ia tetap pergi ke Jerman. Awalnya karena tahun 2017 tidak ada pintu terbuka bagi dia untuk berkuliah kedokteran di Indonesia. Baik lewat jalur undangan, SBMPTN, maupun jalur mandiri. Tapi di hari yang sama setelah pengumuman keluar, beberapa jam kemudian ia memperoleh pemberitahun dapat beasiswa dari inisiatif yang bernama Schulen: Partner der Zukunft, artinya sekolah adalah mitra masa depan, dan disingkat PASCH, untuk mengikuti Studienkolleg di Indonesia.
Studienkolleg adalah sekolah khusus yang berfungsi membantu calon mahasiswa untuk menjembatani dunia persekolahan di negara asal, menuju sistem akademis di Jerman. Setelah selesai Studienkolleg, ia bisa melamar beasiswa dari Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD) untuk berkuliah di Jerman, dan berhasil dapat.
Mary bercerita, sebetulnya dia tidak pernah punya keinginan khusus ke Jerman. "Tapi akhirnya jadi Jerman karena koko yang pertama," kata Mary. Kakaknya dulu kuliah kedokteran di Indonesia, tapi sempat ke Jerman, tepatnya Heidelberg, dalam rangka tukar-menukar mahasiswa. Dialah yang mengatakan, "Jerman kayaknya cocok buat kamu, Mer, soalnya teratur. Kamu kan juga sukanya begitu, yang ga neko-neko gitu."
Ketika itu, dia baru kelas 1 SMP. Tapi dia mulai belajar bahasa Jerman sendiri, lewat aplikasi Duolingo. Ketika SMA, dia minta ke orang tuanya untuk les bahasa Jerman, karena sudah tidak les bahasa Inggris lagi. Ternyata les bahasa Jerman berguna untuk dapat beasiswa. Mary bercerita, untuk dapat tempat di Studienkolleg, butuh minimal pengetahuan bahasa Jerman taraf B1. "Waktu itu aku udah B2," kata Mary, "tapi B2-nya kayak… biasa aja nilainya," katanya lagi sambil tertawa.
Kalau melihat ke depan dari posisinya sekarang, Mary mengatakan, ia ingin menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan kuliah dengan sehat dan selamat. "Kan kalau kerja di rumah sakit, bisa tertular penyakit," katanya sambil tertawa.
Setelah itu dia ingin mengambil spesialis di Jerman dan mungkin ingin menetap. "Karena kalau balik lagi susah penyetaraannya," katanya, "Karena untuk penyetaraan kalau ga salah ada batas umur, selain itu tempat penyetaraan terbatas, dan ujiannya sulit."
Melihat pengalamannya kuliah selama ini, Mary berpendapat, "Nilai tidak mencerminkan usaha seseorang." Kadang masalahnya cocok atau tidak cocok dengan pertanyaan saat ujian pula. Kadang kita merasa sudah belajar semuanya, tapi ketika melihat pertanyaannya, rasanya seperti tidak mengerti materinya. "Hoki-hokian juga," kata Mary, "Mana yang kita baca, mana yang ditanya." Itu tidak mencerminkan pemahaman kita sedalam apa."
Seperti apa kuliah kedokteran di Jerman?
Mary sekarang berkuliah di Universitas Heidelberg, di kampus yang berlokasi di kota itu juga. Dia menjelaskan, sistem kuliah kedokteran ada dua. Yang pertama menggunakan Regelstudiengang. Sistem ini mengatur lamanya dan kuliah apa saja yang harus diikuti seorang mahasiswa sebelum menempuh ujian negara. Sistem ke dua disebut Modelstudiengang. Dalam sistem ini, mahasiswa dihadapkan dengan kasus sejak awal. "Jadi studi kasus sejak awal," kata Mary. Tapi kuliah sistem ini berlangsung di kampus Universitas Heidelberg yang berlokasi di kota Mannheim. Jadi Mary tidak kuliah dalam sistem itu.
Ia menjelaskan lebih lanjut, dalam dua tahun pertama kuliah, yang dipelajari sepenuhnya tentang manusia, dan bagaimana berfungsinya tubuh manusia dari segi kesehatan fisik. Selain itu, orang juga belajar kimia dan fisika, seperti halnya di SMA dan di Studienkolleg. Tahap berikutnya adalah tiga tahun mempelajari penyakit, gejala, diagnosa dan terapi sesuai petunjuk yang ada selama ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.