Rodrigo Duterte Ditangkap
Duterte Diseret ke ICC, Pengamat: Sekarang Giliran Netanyahu
Penangkapan Duterte mendorong beberapa pengamat untuk mendesak ICC agar segera menangkap tokoh lain yang juga menghadapi dakwaan serupa.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM – Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte ditangkap oleh otoritas setempat di Bandara Internasional Manila pada Selasa (11/3/2025) setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penangkapan ini mendorong beberapa pengamat untuk mendesak ICC agar segera menangkap tokoh lain yang juga menghadapi dakwaan serupa, termasuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Menurut opini dari The New York Times, kasus Duterte akan menjadi ujian bagi ICC, terutama setelah dalam enam bulan terakhir pengadilan tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, serta pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing.
Menanggapi penangkapan Duterte, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, sebuah lembaga pemikir AS, Trita Parsi, menulis:
"Mungkin Netanyahu dan Gallant akan menjadi yang berikutnya."
Sementara itu, Danny Shaw, profesor di City University of New York, mengunggah video penangkapan Duterte dan mempertanyakan:
"Mengapa mereka tidak menangkap Netanyahu?"

Wim Zwijnenburg, seorang pemimpin proyek di organisasi perdamaian Belanda PAX, turut menyuarakan dukungannya terhadap langkah ICC:
"Kerja bagus, ICC. Sekarang lakukan hal yang sama pada Netanyahu. Bawa dia ke Den Haag atas kejahatan perang dan pembunuhan ribuan warga sipil."
Pada Selasa malam, Duterte diterbangkan ke Den Haag, markas besar ICC.
Namun, dilansir Reuters, pesawat yang membawa Duterte ke Den Haag mengalami delay, menurut layanan pelacakan Flightradar 24 pada hari Rabu.
Baca juga: Hakim ICC Seret Rodrigo Duterte ke Belanda Untuk Diadili Atas Dugaan Pembunuhan Massal
Pesawat itu awalnya dijadwalkan mendarat di bandara Rotterdam sekitar pukul 06.00 GMT.
Namun, layanan pelacakan Flightradar 24 menunjukkan pesawat itu berada di Dubai dan akan tiba di Belanda pada waktu yang lebih lambat, dengan status yang tidak diketahui.
Dakwaan Terhadap Duterte
ICC menuduh Duterte melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan selama masa jabatannya sebagai presiden (2016–2022) dan saat ia menjabat sebagai Wali Kota Davao.
Di bawah kepemimpinan Duterte, pasukan keamanan Filipina melakukan ribuan pembunuhan yang disebut pemerintah sebagai bagian dari perang melawan narkoba.
Dalam laporan tahun 2017, Human Rights Watch menyoroti kebijakan Duterte sebagai kampanye eksekusi di luar hukum, yang menargetkan masyarakat miskin di Manila dan kota-kota besar lainnya.
Menurut laporan organisasi tersebut, Kepolisian Nasional Filipina telah membunuh lebih dari 7.000 orang sejak awal masa jabatan Duterte hingga perilisan laporan tersebut.
Pada tahun yang sama, Duterte mendapat pujian dari Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang dalam panggilan telepon menyebutnya telah melakukan "pekerjaan luar biasa" dalam menangani masalah narkoba, menurut laporan yang beredar saat itu.
Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, menyambut baik penangkapan Duterte:
"Penangkapan ini memberikan harapan bagi para korban di Filipina dan di seluruh dunia."
"Penangkapan ini menunjukkan bahwa tersangka pelaku kejahatan terburuk, termasuk pemimpin negara, dapat dan akan diadili, di mana pun mereka berada."
"Di saat banyak pemerintah mengabaikan kewajiban mereka terhadap ICC, sementara yang lain justru menyerang atau memberikan sanksi kepada pengadilan internasional, penangkapan Duterte adalah momen penting bagi supremasi hukum internasional."
Sengketa Yurisdiksi ICC
Mantan penasihat hukum Duterte, Salvador Panelo, menegaskan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi di Filipina.
Menurutnya, Filipina telah mengundurkan diri dari ICC sejak 2018, sehingga pengadilan internasional tersebut tidak memiliki kewenangan atas kasus ini.
Namun, ICC menyatakan bahwa kasus Duterte hanya mencakup dugaan kejahatan yang terjadi saat Filipina masih menjadi negara anggota.
Berdasarkan salinan surat perintah yang diperoleh The New York Times, tiga hakim ICC menyatakan bahwa mereka memiliki alasan kuat untuk meyakini bahwa Duterte bertanggung jawab atas pembunuhan dalam perang melawan narkoba.
Baca juga: Mengapa Duterte Ditangkap? Ini 4 Fakta tentang Perang Melawan Narkoba Mantan Presiden Filipina
"Ada cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa serangan ini bersifat luas dan sistematis," bunyi surat perintah tersebut.
Pada tahun 2022, pemerintah Filipina mengakui bahwa lebih dari 6.200 tersangka narkoba tewas selama kebijakan perang terhadap narkoba yang dimulai Duterte sejak 2016.
Namun, kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban jauh lebih tinggi, mencapai puluhan ribu, menurut laporan PBS.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.